14

20 3 0
                                    

"Beneran gak mau ketemu? Udah seminggu loh."

Sejak percakapan di telepon seminggu yang lalu, Irena benar-benar susah dihubungi oleh Raihan. Entah benar atau gak, tetapi Raihan merasa dihindari. Selama dekat dengan Irena, baru sekali ini ia gak saling berkomunikasi dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, Raihan gak ingin menyerah begitu saja. Sekalipun kesannya sangat mengganggu, Raihan berusaha menghubungi Irena di waktu luangnya.

Rasanya seminggu tanpa mendengar suara Irena apalagi mendengar omelannya itu mampu membuat Raihan kelimpungan sendiri. Sebelum tidur kepikiran, bangun tidur kepikiran, sebelum makan juga kepikiran, bahkan sebelum mandi juga kepikiran. Ia bertanya-tanya, kira-kira kesalahan apa yang membuat Irena menjauhinya. Atau mungkin selama ini ada perilaku Raihan yang membuat Irena menyerah untuk menghadapinya? Ia terus menduga-duga kemungkinan yang mana yang paling mendekati untuk terjadi.

Untungnya hari ini Irena mengangkat telepon darinya. Karena kalau hari ini belum juga bisa dihubungi, Raihan akan menghampiri Irena langsung ke rumahnya atau bahkan ke kampusnya untuk menemui gadis itu. Tekadnya sudah sekuat itu hanya untuk mendapatkan kabar dari Irena. Ia bahkan sampai berpikir negatif jangan-jangan teman dekatnya itu sakit atau dalam masalah besar hingga gak bisa dihubungi sama sekali. Oleh sebab itu, meskipun rasanya sedikit lega karena mendengar suara Irena, hal itu gak menutup semua perasaan khawatir Raihan. Apalagi setelah mendengar jawaban dari gadis itu.

"Gak. Lain kali aja."

Rasa-rasanya, Raihan seperti mendengar suara Amara dibalik ucapan Irena yang singkatnya sebelas-dua belas itu. Ia menjadi bingung sendiri harus bagaimana. Apalagi posisinya sekarang sedang ada di depan rumah. Kalau dia gak bisa sabar lagi, sudah ditarik keran di depan rumah untuk mengguyur badannya saking frustasinya dia.

"Ren, gue jemput deh. Atau lo rapih kelas jam berapa? Gue bolos deh kalau jam keluar lo pas jam gue masuk."

Mohon jangan ditiru kelakuan Raihan ini. Tapi memang sepengen itu Raihan mengetahui kabar Irena. Dibandingkan sikap Irena yang selalu mengiyakan ajakan jalan Raihan, kali ini justru Irena tolak mentah-mentah bahkan tanpa alasan sedikitpun.

"Gak perlu, Han."

Kalau kalian mengira ucapan yang Irena lontarkan melalui seberang telepon sana penuh ketegasan dan dingin, maka kalian salah. Irena mengucapkan itu pelan-pelan seolah ingin Raihan mengerti bahwa saat ini dia memang gak ingin ditemui.

Raihan tetaplah Raihan. Mana mungkin menyerah begitu saja apalagi soal Irena. Kalau masalahnya sederhana dan terkesan biasa untuk Raihan dengar, Raihan mungkin akan memberikan Irena waktu sampai tenang. Namun kali ini, sepertinya masalahnya lebih rumit dari biasanya karena bahkan sampai seminggu Raihan membiarkan Irena sendiri pun, gadis itu gak menunjukkan tanda-tanda untuk menghubunginya. Jangankan hendak menghubungi, membaca pesan Raihan saja gak.

"Ren, ini bukan lo banget. Kasih tau jam berapa?"

Bodo amat soal tingkahnya saat ini yang terkesan memaksa. Tetapi berkat hal itu akhirnya Irena menurut dengan menjawab, "gue kelas pagi. Selesai siang. Mungkin jam satu siang gue keluar kampus."

"Oke, nanti gue jemput, ya? Gue tungguin di depan kampus lo," ujar Raihan lagi.

"Sore aja ya? Jam tiga deh lo jemput gue di rumah."

Mendengar jawaban Irena, Raihan rasanya ingin membenarkan pemikirannya kalau Irena memang sedang ada masalah. Ia pada akhirnya mengiyakan Irena. Paling gak, Irena yang menuruti ajakan Raihan untuk menemuinya saja sudah cukup baginya merasa lega.

"Oke, Ren. Sampai ketemu," ujar Raihan.

"Sampai ketemu, Han."

Telepon dimatikan oleh Irena lebih dulu.

Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang