18. Merebutkan Hati Indira

1.1K 168 8
                                    

Cinta itu memang indah, tapi keindahan itu tak selamanya mekar. Semakin kita memeluk cinta itu dengan erat, semakin sakit luka yang harus kita dekap.

—Starla Sasrawijaya—

Hallo, sebelumnya Minal Aidzin Walfaidzin semuanya:)

Tolong maafkan segala khilaf dan dosa yang pernah Mak lakukan baik di sengaja, atau pun tidak di sengaja.

Maaf juga karena Mak sudah menggantungkan cerita ini terlalu lama.

Gimana? Sudah siap patah hati mengarungi kisah cinta yang rumit ini?

Siapkan pelampung kalian, karena kapal kita akan segera berlayar:)

Jangan lupa tinggalkan jejak dan komentar di setiap paragraf:)

Happy Reading 🤗

Indira duduk di kursi halte dengan dua kaki yang ia ayunkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Indira duduk di kursi halte dengan dua kaki yang ia ayunkan. Ia menghela napas berat, karena lagi-lagi sang ayah tidak bisa menjemputnya karena suatu urusan pekerjaan kantor yang tak bisa di tinggalkan. Andai masih ada abangnya, mungkin sekarang Indira sudah dijemput oleh Dika dengan senyuman yang sering kali disuguhkan oleh sang abang setiap kali menjemputnya. Ah, Indira jadi merindukan almarhum Dika.

“Tunggu, lo mau ke mana?” Angkasa menghentikan langkah Langit dengan menyentuh bahunya.

“Mau ke markas Avinash, lah. Mau ngajuin buat gue bisa gabung ke Avanoska, hehe.” Langit menjawab dengan kekehan.

Angkasa mengulurkan satu tangannya, menunjuk jarinya tepat ke sebuah gadis yang tengah duduk di bangku halte. “Lo lihat? Indira sendirian di sana. Lo lebih baik anterin dia pulang, habis itu lo boleh ke markas.”

“Lah, Sa. Tapi, kan—”

“Lo suka sama Indira, kan? Lo juga mau ikut gabung ke Avanoska, kan? Sekarang, lo anterin Indira pulang dulu. Gue tahu di antara lo atau Satria, pasti salah satu dari kalian bisa membahagiakan Indira. Hanya tinggal Indira saja yang harus memilih.” Angkasa tersenyum miris, ia hanya bisa menatap sang pujaan hati dari kejauhan.

Langit mengangguk pasrah. “Ya udah, deh, tapi kalau gue udah sama Indira, lo harus ikhlas, ya,” ucap Langit dan diangguki oleh Angkasa.

Langit meninggalkan Angkasa seorang diri. Ia mengendarai motornya keluar dari parkiran, dan berhenti tepat di mana Indira duduk sendirian. Indira hanya terdiam, saat laki-laki itu membuka helm full facenya dan menyugarkan rambutnya ke belakang.

“Pulang sama gue, Ra. Dari pada lo sendirian di sini, kan? Lagi pula sekolah udah mulai sepi. Kalau ada yang nyulik lo, gimana? Lebih baik gue aja yang nyulik lo dari sekarang.” Ajakan Langit mendapatkan senyuman kecil dari bibir Indira. Entah itu senyuman bahagia, atau senyuman karena ia menyembunyikan rasa sedih.

Thank You Aksa | AngkasarayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang