“Selamat berlayar Kapten!”
—Avinash Avanoksa—
Terhitung sudah 4 hari setelah Indira di nyatakan pulang oleh pihak dokter. Namun, masih tak ada tanda-tanda tentang kesadaran Angkasa hingga kni. Laki-laki itu masih setia dengan mata yang tertutup, tanpa enggan mau terbangun dari segala rasa sakit yang di rasa.
Tak ada kata lelah untuk Indira selalu menemani Angkasa. Setiap hari ia selalu berharap tentang adanya keajaiban Tuhan. Berharap, laki-laki yang sangat ia cintai mampu melewati masa abu-abunya dan bisa kembalinke pelukannya.
“Tante, gimana perkembangan Angkasa?” tanya Libra pada Maya.
Maya menggeleng pelan. “Masih belum ada perubahan. Kita hanya bisa pasrahin sama Tuhan.”
“Ra, gue minta maaf, ya. Gara-gara ulah gue, semuanya jadi kayak gini. Bahkan, banyak sekali korban atas perlakuan gue,” ucap Starla merasa bersalah. “Gue gak tahu, harus dengan cara apa gue menebus kesalahan gue.”
“Gue juga minta maaf, ya, Ra. Gue beneran nyesel. Kalau aja gue gak terobsesi sama Angkasa, kalian semua gak akan seperti ini. Geng Avinash-Avanoska terpecah belah karena gue. Bimo menjadi korban, lalu sekarang Angkasa,” tutur Vania. Setiap hari ia selalu dihantui rasa bersalah yang tak pernah hilang.
Indira menyeka air matanya. “Dira Cuma manusia biasa. Dira Cuma bisa maafin kalian, tanpa bisa menghukum kalian. Dira bukan Tuhan,” ucapnya terisak. “Untuk di sesali pun, percuma. Bimo gak akan bisa kembali ke tengah-tengah kita. Bimo sekarang udah bahagia, karena dia udah berhasil menjaga bidadarinya di bumi. Yaitu, Rara dan gue.”
Rara ikut terisak, saat Indira mengutarakan tentang kepergian Bimo. Ucapan Indira mengingatkan kata-kata terakhir Bimo yang sempat di ucapkan padanya. Kini, tugas Bimo di bumi memang sudah selesai.
“Awalnya gue marah, marah sama kenyataan. Gue gak terima tentang kepergian Bimo. Jujur, kepergian Bimo adalah patah hati terbesar gue. Tapi sekarang, gue lagi belajar untuk ikhlas dan memaafkan,” ucap Rara pada mereka.
“My bear-bear, apa my bear Indira mau maafin kesalahan kita? Aa Ujang nyesel Neng. Jujur, Aa Ujang juga takut kehilangan Angkasa, ketua kita. Takut gak ada akan ada lagi pemimpin Geng Avinash-Avanoska,” ucap Ujang sebagai perwakilan dari teman-temannya.
“Sakit fisik yang kalian kasih, gak sebanding dengan luka hati Indira. Tapi Dira sama sekali gak marah. Karena satu kesalahan kalian gak sebanding dengan seribu kebaikan kalian. Jadi, gak sepantasnya untuk Indira membenci kalian.”
“Ra, makasih. Makasih karena lo mau maafin kesalahan kita. Kita janji, Ra, kita akan memperbaiki diri kita masing-masing,” ucap Satelit begitu senang.
Di sini, di ruangan Angkasa. Semuanya sudah termaafkan. Hanya saja, tinggal menunggu kata maaf yang akan di berikan oleh Angkasa, jika laki-laki itu sudah siuman. Mereka sama sekali tidak akan kabur dari tanggung jawabnya. Mereka akan menyerahkan diri ke polisi atas apa yang sudah mereka perbuat.
Indira, gadis itu mencoba duduk di samping brankar Angkasa, ia membuka Al-Quran-Nya seraya menatap laki-laki itu. Air mata kembali perlahan menetes bersamaan dengan senyuman perih; berharap Angkasa bisa segera siuman.
Hijab panjang pasmina ia kenakan dengan di sampirkan sisiannya ke bahunya tanpa menggunakan pentul dibagian lehernya. Kini ia mulai melantunkan ayat suci Al-Quran yang terdengar merdu di ruangan itu.
Indira hanya bisa mendoakan Angkasa, agar Tuhan mau berbesar hati memberikan mukjizatnya. Lantunan ayat Al Quran itu kini membuat satu tetes air mata mengalir dari mata Angkasa yang terpejam. Perlahan, jari-jari Angkasa tergerak. Mereka masih belum tersadar dengan perkembangan kondisi Angkasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You Aksa | Angkasaraya
Teen FictionSequel Satria Or Angkasa. Memilih antara Satria Or Angkasa tidak sesulit memilih antara cinta manusia, atau Tuhannya. Kini harapannya digantung pada harapan yang tabu. Melangkah untuk maju menata pada masa depan, namun harus terhalang oleh tembok te...