24. Penyelesaian Masalah

988 157 30
                                    

Semanis apa pun cara kamu berpamitan, perpisahan tetaplah menyakitkan.

Indira Allaya—

*Di sarankan untuk mendengarkan lagu Cover Elemet-Cinta tak bersyarat, menggunakan earphone!*

Hati mana yang tak terluka jika cintanya sudah tidak satu tujuan? Indira hanya mampu meratapi nasib yang tidak tahu ujungnya akan seperti apa. Mencintai seseorang di umur yang masih remaja, bisa dikatakan hanya sekedar cinta penuh tipu daya. Namun, bagaimana jika cinta itu penuh keseriusan yang bermakna? Sayang, keseriusan itu sering kali dianggap remeh oleh orang-orang.

Indira duduk terpaku di sebuah taman sekolah yang cukup lengang. Menikmati embusan angin yang menerpa segala rasa sakitnya. Diam-diam, cairan bening perlahan keluar tanpa di minta. Dibalik tangisan itu, ada dua orang wanita yang ikut menyaksikan bagaimana air mata yang menjadi perantara akan hati yang terluka.

Dea dan Tania saling melempar pandangan penuh sendu. Keduanya ingin menghampiri, tapi terhalang oleh ragu. Mungkin, untuk saat ini Indira membutuhkan waktu sendiri.

“De, gue ngerasa bersalah banget sama Indira,” ucap Tania lirih.

“Makanya, kalau punya bacotan tuh dijaga dikit. Mentang-mentang Lambe Turah, tuh mulut main di gas aja,” timpal Dea sewot. “Gue tahu, Tan. Starla itu sahabat lo, tapi lo nggak bisa main hakim sendiri.”

Tania menundukkan wajahnya. “Iya, gue tahu, gue salah. Gue juga enggak akan ngegas, kalau si Bangsat nggak mulai duluan, De. Emosi gue jadi ke pancing, kan?”

“Ya udah, gih, mending lo samperin sahabat lo. Biarin Indira sendiri dulu. Kalau dia udah tenang, lo bisa minta maaf sama dia.”

“Gue cabut dulu. Gue juga harus ngasih tahu fakta ini sama Starla, kalau Indira sama Satria itu nggak balikan.”

“Harus!” jawab Dea mantap. “Yuk, kita pergi dari sini.”

Kedua gadis itu berlalu pergi membiarkan Indira sendiri dalam renungan. Bukan mereka tak peduli, justru mereka memberikan ruang untuknya agar bisa menangkan diri. Mereka tahu, kalau saat ini Indira tidak butuh sekedar ucapan sabar. Yang Indira butuhkan adalah waktu.

Selang kepergian kedua gadis itu, seorang laki-laki berjalan perlahan menghampiri Indira. Ia dapat melihat bagaimana bahu lemah itu bergetar dengan hebat di saat ia berdiri tepat di belakangnya. Tiba-tiba saja, sebuah sapu tangan terulur di depan Indira. Indira mendongakkan wajahnya seketika, menatap sapu tangan itu lamat-lamat. Setelah itu ia menoleh ke belakang, dan menemukan Angkasa yang sudah berdiri di belakangnya.

Angkasa menghela napas pelan, menurunkan tangannya dan berjalan memutari bangku itu untuk duduk di samping Indira. “Jangan nangis,” ucapnya sembari menghapus air mata di pipi Indira.

“Ngapain Kak Aksa ke sini?”

“Mau selesain masalah kita,” ujar Angkasa sangat datar.

Indira menghela napasnya panjang. “Masalah yang mana, Kak? Masalah Kakak dengan Vania? Silakan, Indira nggak marah mau Kakak sama siapa pun, selagi jalan Kakak dengan dia seiring. Lagi pula Indira udah bilang, kan, Indira nggak mau egois di sini.”

Angkasa menatap wajah Indira lamat-lamat. “Kamu nggak cemburu?”

Indira cemburu? Ya iyalah, pakai di tanya lagi, Indira membatin

Thank You Aksa | AngkasarayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang