Epilog

759 89 210
                                    

Niat hati revisi cerita ini akan ada perubahan ending. Tapi pas di pikir-pikir, males ah:v

Btw, ada yang sudah bisa menebak tentang siapa itu AKSARA?

Mari, setelah ini kita sama-sama melupakan Angkasa dan belajar mengenal AKSARA.

KAPAL ANGKASARAYA KARAM!!!

• • •

Hari ini, hari di mana menjadi duka bagi semua orang. Dengan keadaan lemah, mereka mengantarkan jenazah Angkasa ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Tangis mereka menjadi saksi, bahwa ada hati yang tak kuasa melepaskan. Ya Tuhan, bolehkah kita semua mengharapkan mukjizatmu?

Prosesi pemakaman kini di pecahkan alunan isak tangis yang begitu lirih. Tanah demi tanah kini menimbun peti jenazah Angkasa. Seorang gadis yang memakai baju serba hitam, tak henti-hentinya menangis histeris dengan tubuh yang selalu di rangkul oleh sang ayah. Tidak, ia tidak mau kehilangan Angkasa-nya. Tapi, kenapa Tuhan berkehendak lain?!

Tubuh Indira kini merosot. Beberapa orang menaburkan bunga di pusara itu. Indira hanya menangis lirih dengan kedua tangannya mengusap batu nisan yang berbentuk salib. Rasanya masih tak percaya, bahwa nama kekasihnya tertera di batu nisan itu.

“Kak ... kenapa Kakak jahat sama Indira? Kenapa Kakak pulang gak ajak Dira? Dira juga mau ketemu sama Tuhan. Dira mau bilang sama Tuhan, kalau Dira cinta sama Kak Aksa. Tapi kenapa, Kak? Kenapa Kakak tega ninggalin Indira?! Apa salah Indira?!”

“Kita udah janji, kita akan mati sama-sama, kalau kita memang tidak di takdirkan bersama. Tapi kenapa Kakak pergi duluan?! Kakak tinggalin Indira dengan segala rasa sakit. Kakak jahat sama Dira ... Tuhan juga jahat sama Dira. Semua orang jahat sama Dira!”

“Indira, ikhlasin Angkasa, Sayang. Angkasa gak salah, kita yang salah. Kita yang terlalu menaruh harapan lebih.”  Nita ikut berjongkok, mengelus punggung putrinya perlahan. “Kamu harus kuat, Sayang.”

Indira tersenyum miris dengan mata yang berembun. “Kuat Bunda bilang?! Gimana Indira bisa kuat, jelas-jelas penyemangat Indira udah pergi! Gimana Indira bisa bahagia setelah ini, Bunda?! Tolong kasih tahu Dira.”

“Ra, Angkasa udah pergi. Mau gimana pun lo menyalahkan takdir, Angkasa gak akan pernah kembali. Angkasa sudah pergi, Ra,” lirih Dea begitu pilu.

“Enggak, Angkasa akan selalu hidup di hati gue. Angkasa akan selalu tinggal di hati gue. Angkasa gak ninggalin gue.” Wajah Indira menunduk dalam. Tangisnya kembali pecah. “Angkasa cuma pergi sebentar. Gue yakin, Angkasa pasti akan kembali. Angkasa gak mungkin ninggalin Rayanya sendirian.”

Kesedihan Indira menjadi boomerang penghancur hati mereka. Mereka bisa merasakan sakitnya di posisi Indira. Di pisahkan oleh keadaan, di hancurkan oleh kenyataan, dan di patahkan oleh kehilangan. Kini, cinta Indira bukan di halangi oleh sebuah perbedaan keyakinan. Melainkan, beda alam.

Betapa sakitnya di posisi Indira. Angkasa-nya tak lagi membentang, menaungi rayanya yang kini tinggal sendirian. Angkasa pergi bersama awan hitam yang menyelimuti duka mendalam. Kepergiannya tak memberikan penawar untuk mereka yang kehilangan.

“Sayang, kamu kok gak mau keluar? Kamu pengap, ya, di dalam? Aku bantu kamu buat keluar, ya?” Indira mencoba menggali tanah pusara itu dengan kedua tangannya. Membuat teman-temannya langsung mencegah dan merangkul tubuh Indira untuk segera menenangkan. “Kalian semua minggir! Kak Aksa di dalam kepanasan. Indira harus tolongin Kak Aksa.”

“Indira, sadar, Nak. Ikhlasin Angkasa. Angkasa sudah tenang di sana,” sanggah Sukma, lirih. Ia tak kuasa melihat Indira yang begitu sangat kehilangan putranya. “Kamu harus kuat Indira. Kita semua sama merasa kehilangan Angkasa. Gak ada yang gak kehilangan Angkasa.”

Thank You Aksa | AngkasarayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang