Dua Pilihan

26K 982 29
                                    

Aku meninggalkan dua orang tak tahu diri itu.

Aku memilih masuk ke dalam kamar putriku.

Aku harus kuat dan tegar. Jangan sampai pria itu menindasku.
Aku tidak ingin seperti wanita lain yang mau diperlakukan seenaknya oleh suami mereka.

Aku hidup di jaman merdeka. Aku harus bebas dari penjajahan kaum pria.

“Dek.” Pelan pria itu mengetuk pintu.
Aku mengabaikannya.

“Dek, aku antarkan Bunga pulang dulu, ya,” pamitnya dari balik pintu.

Aku tidak peduli dia mau apa. Melepaskannya saat ini juga, aku rela.
Rasanya pun aku tidak sudi melihat wajah wanita itu lagi.

Saat ini fokusku hanya putri semata wayangku. Hanya kebahagiaannya yang terpenting saat ini.

Hening ....

Mungkin Mas Aan sudah pergi mengantarkan wanita itu.

Aku memandang wajah putriku yang tertidur lelap. Sebagian rambut panjangnya menutupi wajah. Pelan, aku menyingkapnya, agar wajah manis Mahreen bisa kupandangi.

Puas memandangnya yang tertidur lelap, aku mencium dahinya lalu merebahkan diri di samping Mahreen. Aku mencoba memejamkan mata dengan harapan esok hari aku bisa melupakan kejadian tadi.

***

“Dek.” Mas Aan menghampiriku yang sedang memasak di dapur.

Aku diam tak menjawab sapaannya. Rasanya aku sangat benci sekali dengan pria itu. Jika biasanya aku membuatkan kopi untuknya. Kali ini aku biarkan dia membuat sendiri. Biarlah untuk jadi pembelajaran untuknya.

“Dek, apa kamu marah sama aku.”

“Bukan hanya marah. Rasanya aku juga ingin kamu enyah dari hadapanku.”

Aku membalikkan badan dan melotot memandang pria yang duduk di meja makan.

“Dek, tolonglah jangan bersikap seperti itu. Aku sangat mencintaimu.”

“Cinta kalau mencintaiku, kenapa kamu juga mencintai Bunga? Di hatimu tidak hanya ada aku, tapi juga ada Bunga. Itu namanya bukan cinta, tapi nafsu. Nafsu telah membutakanmu, Mas.” Aku meletakkan ayam ke dalam piring dan membawanya menuju meja makan. “Ingat, Mas. Aku tidak mau diduakan.” Aku meletakan piring secara kasar.

Mas Aan hanya diam memandangku seperti itu. Selama ini aku bersikap manis padanya, karena dia berlaku baik padaku. Akan tetapi, sekarang dia ada main di belakangku. Aku tidak bisa terima itu.

“Dek, aku mohon.” Mas Aan memasang wajah memelas di hadapanku.

“Ada Bunga, berarti kita pisah, keputusanku sudah bulat.”

“Aku tidak mau pi ...”

“Ma.” Belum selesai Mas Aan berbicara, Putri kami yang berusia tujuh tahun berjalan menghampiri kami. Dia lantas duduk di kursi.

Aku mengode pria tak tahu diri itu untuk diam agar putri kami tidak mendengar masalah yang sedang kami hadapi.

Aku menaruh nasi beserta lauk pauknya ke atas piring yang ada di hadapan putriku—Mahreen. Pria itu mengulurkan piringnya. Namun, aku mengabaikannya.

Aku lantas menyuapi Mahreen, karena sebentar lagi dia akan berangkat sekolah.

Sekilas aku memandang Mas Aan. Dia mengambil sendiri nasi beserta lauknya. Sebenarnya aku kasihan padanya. Namun, apa yang telah dilakukannya membuatku kecewa.

Selesai sarapan Mahreen berangkat sekolah. Dia sudah biasa berangkat sendiri. Jarak sekolah dengan rumah juga tak terlalu jauh. Jadi, aku tidak terlalu mengkhawatirkannya.

“Dek, aku tidak mau pisah denganmu.” Dia kembali membuka obrolan.

“Dan aku tidak mau diduakan.” Aku membereskan sisa makan tadi dan mencucinya. “Sudahlah. Aku malas berdebat denganmu. Oh, iya. Kalau kamu mau menikah dengan Bunga ceraikan aku,” ucapku lirih. “Aku tidak sudi berbagi suami. Membayangkannya saja aku sudah merasa jijik.” Aku menatapnya sinis.

“Aku tidak mau berpisah denganmu, Dek.” Dia mendekatiku. Mengambil alih piring yang sudah kucuci, mengelapnya dan meletakan di rak.

“Kalau kamu tidak mau berpisah denganku tinggalkan dia,” tegasku.

“Tapi, Dek.”

“Enggak ada kata tapi!”

Mana bisa dia berpisah denganku. Kami bisa hidup seperti saat ini semua karena usahaku.

Dulu kami hidup serba kekurangan. Mas Toni hanya bekerja serabutan. Hingga, akhirnya memutuskan untuk pergi keluar negeri.

Pada saat itulah, aku memberinya uang untuk melamar pekerjaan yang layak. Dari hasil bekerja di luar negeri juga aku bisa merenovasi rumah agar lebih layak huni. Sedangkan sisa uang selama menjadi TKW, aku gunakan untuk modal berjualan online.

Alhamdulillah usahaku itu membuahkan hasil. Aku memiliki beberapa reseller. Hasil berjualan pun lumayan. Bisa dikata lebih dari cukup untuk membiayai hidup kami selama satu bulan.

“Bagaimana? Kamu mau pilih dia atau aku, Mas?”

“Dek beri aku waktu untuk berpikir. Rasanya sangat sulit untuk memutuskannya karena kalian sama berharganya untukku.”

“Baiklah.”

Aku memberi waktu sampai besok untuknya memutuskan. Aku juga mengatakan pada Mas Aan kalau dia memilih wanita itu. Dia harus pergi dari rumahku. Sedangkan saat ini dia tak memiliki tempat tinggal lain, selain di sini.

Bersambung

Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan follow. Kamu suka bacanya, aku semangat nulisnya.

Suamiku Mau Menikah Lagi, Aku Miskinkan Dia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang