Bertemu Luka

16.7K 508 9
                                    


“Maaf, Sayang.” Mas Aan membelai lembut puncak kepala Mahreen. “Papa belum bisa pulang sekarang, tapi papa janji akan pulang kalau urusan Papa sudah selesai.” Mas Aan menatapku.
Dipandangnya, aku merasakan hangat yang hinggap di dalam dada. Sesuatu juga terasa mendesak ingin keluar dari pelupuk mata.

“Kapan urusan Papa akan selesai. Mahreen enggak mau lama-lama berpisah sama Papa.” Putri kecilku itu mendongak untuk memandang wajah papanya.

“Papa janji akan segera menyelesaikannya agar bisa kembali pulang bersama kalian,” ucap pria itu.
“Mas, kamu sudah makan belum?” tanyaku mencairkan suasana.
Lagi-lagi pria itu menggelengkan kepala.

Aku tahu dia tidak mempunyai uang setelah uang yang ada di rekeningnya aku pindahkan ke rekeningku.
Aku lantas memesan makanan dari aplikasi.

“Mas.”

Mendengarku memanggilnya, seketika Mas Aan menoleh.

“Ini uang kamu yang aku ambil tempo hari.” Aku mengambil uang lima juta yang terbungkus amplop berwarna cokelat dari dalam tas. “Maaf aku mengambilnya karena aku tidak mau uang kamu habis untuk foya-foya Bunga.” Aku meletakan uang Mas Aan di atas meja. Semoga dengan uang itu dia bisa mengontrak rumah yang lebih layak lagi. “Semoga ini bisa untuk menopang kehidupanmu dan biaya menyewa rumah kontrakan yang lebih layak lagi.”

Mas Aan tampak risih mendengar aku mengatakan itu. Dia memandang ke setiap rumahnya.

Memang rumah kontrakan Mas Aan jauh sekali dari rumah yang aku tinggali. Mungkin saja dia merasa malu terhadapku.

“Terima kasih. Maafkan aku juga yang tak pernah mendengarkanmu,” ucapnya.

“Tidak apa-apa. Oh iya, kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk telepon aku. Siapa tahu aku bisa membantu. Akan tetapi, kalau soal Bunga, aku tidak mau tahu lagi.”

Pria itu mengangguk.

Tak berselang lama. Makanan yang aku pesan tiba.

Aku menuju ke dapur, berinisiatif untuk mengambil alat makan.

“Mas, piring dan sendoknya ada di mana?” aku sedikit berteriak, karena Mas Aan dan Mahreen sedang asyik bermain di luar.

Di dapur tidak ada perabot apa pun. Satu sendok pun tak ada.

Mas Aan menghampiriku. “Maaf, aku belum sempat membelinya.”

“Ya sudah, enggak apa-apa. Kita makan langsung saja dari tempatnya. Ada sendok plastiknya juga kok.”

Kami pun makan langsung dari pembungkus makanan.

“Kamu sedang apa di sini?!”

Ketika kami makan, tiba-tiba Bunga datang. Dia menghampiri kami.
Aku memandang Mahreen. Gadis kecilku itu tampak kaget.

Aku tidak mau dia melihat keributan di antara kami.

“Kami hanya datang untuk menjenguk Mas Aan.” Aku memandang Bunga, lalu beralih pada Mahreen. “Ayo, Sayang kita pulang.” Aku mengulurkan tangan padanya.

“Ma, tapi Mahreen masih kangen pada Papa.” Mahreen memegangi tangan Mas Aan seraya memasang wajah.

Mas Aan lantas mendaratkan kecupan di dahi Mahreen. “Papa janji akan segera pulang,” ucapnya.

Melihat hal itu Bunga tampak kesal.
“Ayo Sayang kita pulang,” Aku kembali mengulurkan tangan.

Mahreen menyambut uluran tanganku. Aku pun berpamitan pada Mas Aan lalu pulang.

Di luar, aku mendengar Bunga marah-marah pada Mas Aan. Sungguh wanita tak tahu diri dan kejam.

“Ma, siapa Tante itu?” tanya Mahreen.

“Bukan siapa-siapa, Sayang.” Aku membelai puncak kepala Mahreen.

“Tapi, kenapa dia marah sama Papa? Kenapa Mama enggak tolong Papa?” tanya Mahreen.

Aku berjongkok memandangnya seraya tersenyum.

“Sayang, suatu saat kamu pasti akan mengerti. Ayo kita pulang dah sore.” Aku menggandeng tangan Mahreen, kami berjalan menuju mobil.

Warna jingga menghias langit sore itu, tanda petang akan segera tiba. Aku pun melajukan mobil dan pulang ke rumah.

***

“Athira, ada cowok yang suka sama kamu.”

Aku begitu terkejut mendengar perkataan Fifi.

Pagi itu wanita berbadan tinggi 160 cm itu datang ke rumah untuk mengambil barang pesanan pelanggannya.

“Ada-ada aja kamu.”

Aku tetap fokus dengan gamis yang sedang aku kemas di hadapanku.

“Kapan kamu akan menceraikan Aan?” tanya Fifi.

Sejenak aku menghentikan aktivitas dan memandang wanita yang sedang mengambil barang-barang pesanan pelanggannya. Pertanyaan Fifi, membuatku sesak napas. Serasa tak rela untuk melepas Mas Aan.

Suamiku Mau Menikah Lagi, Aku Miskinkan Dia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang