Pembalasan Itu Lebih Kejam

20.9K 830 32
                                    


"Kamu itu benar-benar, ya!" Bunga sangat marah dengan perkataanku. Dia mencoba menarik rambutku. Aku berhasil menepisnya.

Aku lantas mendorong tubuh Bunga. Sontak, tubuh wanita itu terbentur mengenai tembok di belakangnya.

Aku menunjuk Bunga. "Tak ada kotoran, kalau ayam enggak makan. Tidak bakal ada hinaan, kalau kamu tidak berbuat kejahatan. Kamu baik, aku segan. Kamu jahat, aku bisa lebih kejam."

"Awas kamu, ya!" Dia melotot padaku.


Bunga membuka pintu berwarna abu-abu di sampingnya. Dari luar aku bisa melihat wanita itu mengambil shower yang berada di dekat kloset. Dia mengarahkannya padaku. Sontak aku menghindar agar air tidak mengenai badanku.

Tak sengaja, aku melihat ember berisi air kotor, sepertinya bekas air pel. Aku mengangkatnya dan menyiramkannya pada Bunga yang masih berada di dalam toilet. Seketika badan wanita itu basah kuyup.

"Apa yang kamu lakukan!" teriaknya.


Aku meletakkan ember sembarangan, berjalan meninggalkannya seraya memakai kaca mata hitam yang mengantung dibajuku.

Ketika berjalan aku masih mendengarnya berteriak. Aku tersenyum puas, bisa menang melawannya.

Kucing manis pun bisa liar saat ada makanannya direbut. Begitu pula aku. Aku bisa bersikap baik pada orang yang baik padaku. Aku juga bisa berbuat buruk pada orang yang melukaiku.

***

Setibanya di rumah aku merebahkan diri di sofa karena merasa lelah. Ditambah perdebatanku dengan Bunga. Sungguh menguras tenaga dan emosiku.

Rumah sangat sepi, sepertinya Mahreen belum pulang, padahal sudah pukul dua belas. Mungkin, dia masih di rumah Bu Retno-tetanggaku.

Merasa tidak tenang, aku bergegas bangun untuk menjemput Mahreen di rumah Bu Retno. Rasanya juga sungkan, apabila menitipkannya terlalu lama di rumah wanita itu.

"Mahreen tidak ke sini, Bu. Saya lihat dia juga belum pulang ke rumah. Tadi saya sudah menunggunya di luar rumah dan baru masuk ketika Bu Athira pulang."

Aku begitu khawatir saat mendengar perkataan Bu Retno. Aku takut Mahreen dijemput oleh Bunga. Tempo hari, dia juga pernah menghampiri Mahreen di sekolah.

Aku cemas, takut, kalau Bunga menyakiti Mahreen. Dia begitu dendam dan marah padaku. Bisa jadi dia nekat dengan menculik Bunga.

Panik, aku menghubungi Fifi dan teman-teman yang lain untuk membantuku mencari Mahreen. Aku juga menghubungi Mas Aan. Namun, berkali-kali nomor Mas Aan hanya memanggil saja.

Tak butuh lama, Fifi, Arum, dan Dewi tiba di rumah. Kami pun mencari Mahreen secara menyebar.

Tempat yang pertama aku datangi adalah sekolah Mahreen. Aku mencarinya di sana bersama Fifi. Sedangkan Dewi bersama Arum mencari dengan menyusuri jalan yang berada di sekitar rumah.

Setibanya di sekolah, bergegas aku berlari masuk ke dalam dan menanyakan keberadaan Mahreen pada wali kelasnya. Menurut beliau semua murid sudah pulang, termasuk Mahreen.

Aku lantas kembali ke mobil untuk melanjutkan pencarian. Ketika aku tiba di gerbang sebuah panggilan masuk dari Dewi.

[Mahreen sudah ketemu.]

Mendengarnya bergegas aku kembali ke rumah. Menurut Dewi mereka sedang dalam perjalanan pulang.

***

Setibanya di rumah, aku melihat Mahreen sedang berdiri di teras, bersama Dewi, Arum, dan papanya.

"Mama." Gadis kecil itu berteriak memanggilku.

Aku lantas berlari ke arah Mahreen.

"Mahreen." Aku memeluk erat tubuh mungilnya. Berkali-kali aku mendaratkan kecupan di kedua pipi dan dahinya. Aku begitu lega bisa melihatnya lagi. "Mahreen dengar mama."

Aku menasihatinya agar lain kali sepulang sekolah, langsung pulang ke rumah. "Mahreen jangan buat mama khawatir lagi." Tanpa terasa air mataku pun menetes.

"Mahreen janji, Ma. Enggak akan pergi tanpa berpamitan lagi." Gadis kecil itu menatapku.

"Maafkan aku." Mas Aan mendekatiku.

Aku lantas berdiri, memandangnya.

"Aku tidak bermaksud untuk menculik Mahreen. Aku hanya merindukannya," ucapnya.

Aku tak mempercayainya begitu saja. Baru semalam dia tak melihat Mahreen. Biasanya juga ketika di rumah, dia jarang sekali bermain dengan putri kami itu. Mas Aan lebih sibuk dengan HP-nya.

Arum berjalan mendekatiku. "Ra, Mahreen sudah ketemu, kami pulang dulu, ya," pamit Arum mewakili teman-teman yang lain.

Aku mengangguk mengiyakan. Aku sempat menawari mereka untuk masuk ke dalam untuk minum terlebih dulu. Namun, mereka menolaknya. Bisa jadi mereka segan karena ada Mas Aan bersama kami.

"Sekali lagi maafkan aku telah membawa Mahreen tanpa izin." Mas Aan mendekatiku.

Aku tak menghiraukannya.

"Ma, maafkan Papa, ya. Tadi Papa hanya ajak Mahreen muter-muter dikit sini saja, kok," bela Mahreen.

Aku lantas mempersilakan Mas Aan masuk dan duduk di ruang tamu. Sedangkan Mahreen, aku memintanya untuk berganti pakaian lalu makan.

"Sebentar, aku buatkan minum dulu."


Aku menunggalkannya menuju dapur untuk membuatkannya secangkir kopi.

Tak berselang lama, aku kembali dengan secangkir kopi di tangan. Aku lantas meletakkannya dia tas meja dan mempersilakannya untuk minum.

"Tumben kamu ajak muter-muter Mahreen di jam kerja?" tanyaku.


Mas Aan yang sedang menyeruput kopi yang ada di tangannya, memandangku. Dia lantas meletakan kopinya kembali ke atas meja.

"Aku libur. Semalaman aku membereskan kontrakan. Kelelahan, aku memutuskan untuk izin dulu hari ini," terangnya.

"Kontrakan?" tanyaku mengernyitkan dahi.

Aku kira Mas Aan tinggal di rumah Bunga. Apalagi, tadi pagi wanita itu membanggakan diri, karena Mas Aan lebih memilihnya.

"Iya, aku tinggal di kontrakan." Mas Aan kembali mengambil cangkir kopi yang ada di meja. Menyeruputnya kembali sedikit demi sedikit.

"Bukannya kamu tinggal sama Bunga?"

Mas Aan memandangku.

"Sebenarnya aku ...."

"Mama." Mahreen berlari menghampiri kami. Dia sudah berganti pakaian menggunakan rok berwarna merah muda dengan bando hitam dengan hiasan bunga yang membuat gadis kecilku itu semakin cantik.

"Ma, Mahreen lapar." Gadis kecil itu mengelus perutnya.

Aku pun mengajak Mahreen menuju ke meja makan. Aku juga menawarinya Mas Aan untuk makan siang bersama dengan Mahreen. Mungkin saja pria itu memang belum makan.

Mas Aan makan dengan lahap. Dia pasti belum makan dari pagi. Melihatnya rasanya aku tidak tega. Pasti Bunga tidak mengurusnya dengan baik. Apalagi aku dengar dia tinggal di kontrakan.

Bisa jadi kehidupannya sekarang berbanding terbalik dengan ketika dia hidup bersamaku. Semua memang salahnya sendiri yang lebih memilih Bunga, dibandingkan diriku.

Usai makan siang mereka berdua bermain di halaman rumah. Aku memandang mereka dari teras seraya membalas pesan dari teman-teman reseller dan calon pembeli.

Tidak biasanya Mas Aan dan Mahreen bermain seceria itu. Memang sangat jarang sekali Mas Aan mengajak putri kami itu. Biasanya dia hanya menyempatkan bermain dengan Mahreen di hari Minggu saja, itu pun sebentar, lalu siang harinya pergi dan pulang sore hari.

"Ma, sini!" Mahreen melambaikan tangan memintaku untuk bermain lempar bola bersama mereka. Namun, aku menolaknya.

Hampir satu jam bermain, aku meminta Mahreen untuk tidur siang. Jam juga sudah menunjukkan pukul dua siang.

Mahreen anak yang baik dia pun menuruti perkataanku.

***

"Aku mau bicara," kata Mas Aan ketika aku keluar dari kamar Mahreen.

Kami lantas duduk di ruang tamu.


Entah apa yang ingin di sampaikan pria itu.

"Aku mau kembali padamu. Sebenarnya aku tidak tinggal dengan Bunga. Dia menolakku karena aku sudah tidak memiliki apa-apa." Wajah pria itu tampak sayu. Mungkin benar apa yang dikatakannya. "Athira, izin kan aku untuk memperbaiki semuanya.

Bersambung ....


Suamiku Mau Menikah Lagi, Aku Miskinkan Dia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang