Aku tak memedulikan Bunga dan bergegas menuju ke area bermain. Tujuanku datang ke sini untuk bersenang-senang, bukan untuk memikirkan dia.
***
Aku sudah memantapkan hati untuk berpisah dengan Mas Aan. Aku sudah menghubungi pengacara dan mengurus perceraianku dengan pria itu. Kini aku hanya tinggal menunggu panggilan untuk sidang.
Aku sudah tidak sabar untuk berpisah dengannya. Aku juga sudah tidak mau berurusan lagi dengan wanita yang suka berpindah-pindah pohon, eh ... hati.
***
"Mahreen ayo kita jalan-jalan."
Hari Minggu, aku berencana mengajak Mahreen untuk jalan-jalan bendungan yang tak jauh dari rumah. Sebuah bendungan yang disulap menjadi tempat pariwisata yang murah meriah.
"Mau, Ma."
Kami pun bersiap menuju ke tempat ke sana.
Liburan dan jalan-jalan adalah satu-satunya cara untuk melepaskan penat dan beban di pikiran. Tak perlu pergi ke hingga ke luar kota, di daerah sekitar pun sudah cukup untuk membuat kami bahagia.
"Ayo, Sayang," ucapku berdiri di ambang pintu kamar Mahreen.
Aku sudah siap dengan mengenakan kaos panjang dengan warna biru dan bawahan celana kulot berwarna hitam. Aku juga mengantungkan tas berwarna hitam dengan corak bunga berukuran sedang di pundak.
"Ayo, Ma." Dia berjalan menghampiriku.
Mahreen juga sudah cantik mengenakan kaos dengan bawahan jeans.
Aku meraih tangan Mahreen, menggandengnya ke mobil dan bergegas menuju bendungan.
***
Jarak menuju ke bendungan hanya 9 KM dari rumah.
Bendungan yang di bangun pada masa penjajahan belanda kini diubah menjadi tempat wisata yang menarik. Ada berbagai spot untuk bersua foto di sana.
Ketika memasuki wisata kami melewati gapura dengan nama tempat pariwisata, kami dimanjakan dengan pemandang payung warna-warni yang digantung di atas.
"Ma, kita ke sana yuk!" Mahreen menunjuk area bermain.
Putriku itu pergi ke mana saja area bermain menjadi tempat tujuan pertamanya. Biarlah, tujuan kami berlibur juga agar Mahreen bahagia.
Mahreen memilih permainan istana balon. Dia tampak senang sekali. Putri kecilku itu berlarian dan melompat ke sana ke mari. Sesekali dia juga melambaikan tangan seraya berteriak memanggilku yang berdiri tak jauh dari istana balon.
Ting!
Sebuah pesan masuk ke dalam HP-ku.
[Ra, Fifi kecelakaan.] Pesan dari Dewi.
Seketika dadaku rasanya sesak, mata ikut memanas.
Bergegas aku menghampiri Mahreen dan mengajak putri kecilku itu untuk pulang.
Awalnya Mahreen menolak karena kami memang baru saja tiba. Namun, setelah aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Mahreen bisa memahami.
***
Aku melajukan mobil bergegas menuju ke rumah Dewi. Dia mengatakan akan menungguku di rumahnya dan ke rumah sakit bersama-sama.
Menurut Dewi, Fifi jatuh saat mengendarai motor karena terserempet mobil. Fifi pun jatuh ke trotoar.
Selama di perjalanan pikiranku tak lepas dari wanita itu, karena dia memang sahabat terbaikku.
Tanpa sadar air mataku tumpah.
"Ma, kenapa menangis?" tanya Mahreen.
Aku menggeleng seraya menghapus air mata dengan tanganku. "Mama tidak apa-apa, Sayang."
"Jangan sedih, Ma. Berdoa saja agar teman Mama dalam keadaan baik-baik saja. Mahreen juga akan mendoakan teman Mama itu."
Aku sangat bersyukur memiliki putri yang sangat baik seperti Mahreen.
***
Mobil yang kami kendarai akhirnya tiba di halaman rumah Dewi. Wanita itu sudah berdiri di teras menunggu kedatanganku.
Dewi lantas menghampiri mobilku. Aku pun turun, begitu juga dengan Mahreen.
"Bagaimana kondisi Fifi sekarang, Wi?" tanyaku.
"Aku belum tahu, kita langsung ke rumah sakit saja sekarang untuk mengetahui keadaan Fifi."
Kami naik ke mobil. Kali ini Dewi yang mengemudi dengan alasan kasihan aku karena baru melakukan perjalanan jauh.
Selama dalam perjalanan kami hanya terdiam. Sedangkan Mahreen tertidur di jok belakang.
"Loh, kita kok belok ke sini, si?" tanyaku ketika mobil yang kami tumpangi berbelok bukan ke arah rumah sakit.
"Fifi dipindahkan," terang Dewi.
Dalam benakku timbul banyak tanya, apakah luka Fifi parah hingga dia dipindahkan ke rumah sakit lain.
"Loh! Kenapa ke sini? Katanya kita mau ke rumah sakit?" tanyaku saat mobil yang kami tumpangi justru masuk ke dalam sebuah tempat makan.
"Ke rumah sakitnya enggak jadi. Fifi dipindahkan ke sini, buka ke rumah sakit."
Aku tak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Dewi lantas membawaku ke sebuah pondok-pondok kecil tempat makan yang mengelilingi sebuah kolam ikan.
Kami berhenti tepat di pondok yang paling ujung. Di sana sudah ada Arum, Fani, dan Mesi.
"Surprise!" teriak mereka kompak. Di hadapan mereka ada kue cokelat dengan lilin warna-warni. Ada ucapan selamat ulang tahun dengan namaku di sana.
Sontak aku menutup mulut dengan kedua tangan. Aku bahkan lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku.
Satu persatu dari mereka mengucapkan selamat dan mencium pipi kanan-kiriku.
Tak berselang lama, beberapa pramusaji mengantarkan nasi, ikan bakar, sayur, dan hidangan lainnya.
"Kalian jahat. Sudah membikin aku ketakutan setengah mati," omelku.
"Iya, Tante tadi Mama menangis terus," timpal Mahreen.
"Maafkan kami, ya." Mereka semua memelukku.
Aku begitu terharu, memiliki rekan bisnis sekaligus teman yang baik dan perhatian seperti mereka.
"Sudah jangan menangis, ayo tiup lilinya," ucap Dewi.
Aku lantas duduk di depan kue, sedangkan Fifi menyalakan lilinnya. Mereka lantas menyanyikan lagu selamat ulang tahun untukku. Aku merasa seperti anak kecil saat mereka bernyanyi.
Aku berharap dengan bertambahnya usia akan membuatku menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
"Saatnya makan," celetuk Mesi. Wanita itu sudah bersiap untuk mencomot gurami bakar di hadapannya. Kami pun tertawa melihat tingkahnya.
***
"Athira, apa kamu yakin ingin berpisah denganku?"
Malam itu Mas Aan datang ke rumah. Esok adalah sidang mediasi perceraian kami. Dia memintaku untuk memikirkan perceraian kami masak-masak.
"Aku sangat yakin. Aku juga sudah memikirkannya dengan matang. Tekadku sudah bulat untuk berpisah denganmu, Mas." Aku memandang Mas Aan yan duduk di hadapanku.
Pria itu hanya diam dan menatap lurus ke depan. Entah apa yang sedang di pikirkan olehnya.
"Baiklah kalau kamu memutuskan begitu. Aku memang tidak pantas untukmu setelah apa yang aku lakukan padamu tempo hari," sesalnya.
"Syukurlah kalau kamu menyadarinya. Aku harap kamu kelak akan hidup bahagia bersama Bunga." Aku menatapnya sinis.
Aku merasa muak dengan Mas Aan-pria b*d*h-yang lebih memilih wanita parasit seperti Bunga di bandingkan aku-wanita mandiri-yang bisa mencukupi kebutuhanku sendiri dan membantu perekonomiannya.
"Aku sudah tidak bersama Bunga. Aku juga tidak tinggal di kontrakan itu lagi."
Mas Aan menceritakan padaku kalau dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, ketika seorang pria kaya menjemput Bunga di rumahnya.
"Athira, aku sungguh menyesal telah memilih Bunga dibanding kamu. Andai kamu mau kembali bersamaku. Aku berjanji akan memperbaiki semuanya dan tidak mengulangi perbuatan yang sama."
"Syukurlah kamu sudah sadar. Sayangnya, hatiku bukan barang elektronik yang kalau rusak bisa diperbaiki lagi. Maka dari itu jangan harap aku mau kembali lagi padamu. Di luar sana masih ada yang namanya 'Jodoh Lain' yang sedang menunggu kehadiranku," tegasku.
Mas Aan tampak lesu mendengar perkataanku.
Biarlah dia sadar diri. Tidak semua wanita mau di madu atau diduakan.
"Mas Aan."
Mendengar nama pria di hadapanku itu dipanggil, sontak aku menoleh ke arah sumber suara.
"Kamu!"
Mas Aan tampak terkejut melihat siapa yang datang.Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Mau Menikah Lagi, Aku Miskinkan Dia (TAMAT)
Romance"Mas, siapa wanita itu?" Aku menunjuk wanita yang ikut pulang bersama Mas Aan. "Dek, kita bicarakan di dalam, ya. Tidak enak kalau dilihat orang." Kami masuk ke dalam rumah . "Athira, izinkanlah aku untuk menikah lagi?" Mas Aan memandang wanita can...