“Dia Heri—temanku. Aku minta bantuan dia untuk menggoda Bunga,” terangnya.Heri lantas duduk di dekat Bunga. Dia tampak mengajak Bunga berbasa-basi.
“Siapkan HP untuk memotret dia. Hasilnya bisa kamu tunjukkan ke suamimu sebagai bukti kalau Bunga itu bukan wanita baik-baik,” saran Fifi.
Aku mengambil HP dan bersiap untuk mengambil gambar mereka berdua. Aku mengambil banyak gambar lalu menyisakan beberapa saja yang menampakkan mereka dekat dan akrab.
“Setelah ini kita turun menghampiri mereka. Namun, sebelum turun kita atur rencana dulu,” ucap Fifi.
Kami pun mengatur rencana sebelum ke luar dari mobil. Fifi memintaku untuk pura-pura marah pada Bunga karena sudah menduakan Mas Aan.
“Yuk kita turun sekarang,” ajak Dewi setelah kami selesai berdiskusi.
Kami bertiga lantas berjalan menghampiri mereka.
“Oh, begini ya, kelakuan kamu!” Aku menunjuk Bunga. “Siapa laki-laki itu?” kali ini aku menunjuk Heri.
“Mbak, biar saya jelaskan.” Bunga mencoba mendekatiku.
“Jelaskan apanya. Ini aja sudah jelas banget kok,” jawab Fifi.
“Mbak, percayalah, aku tidak mengenal dia.” Bunga menunjuk Heri.
“Alah! Jangan percaya,” timpal Fifi.
“Jangan bohong kamu Bunga. Katakan saja pada kami, siapa pria itu?” Aku memandang Heri.
“Iya katakan siapa pria itu?” Dewi ikut bicara.
“Apaan sih, kamu?! Matikan, enggak?” Bunga menunjuk Fifi yang sedang merekam dirinya.
Kami sudah mengatur rencana dengan membuat wajah Heri tidak terlihat dengan jelas. Sehingga suatu saat nanti, jika Mas Aan dan Heri berjumpa, suamiku itu tidak mengenalinya.
“Di depan Mas Aan saja baiknya minta ampun. Eh ... ternyata kaya gini kelakuannya,” sindirku.
Mendengarnya, Bunga menyangkal telah mengenal pria yang bersamanya itu.
Dewi, dan Fifi, terus saja memojokkan dia.
“Halah, jangan menyangkal deh kamu! Aku tahu kok kamu wanita seperti apa?” tuduh Fifi.
“Iya, Sayang. Kenapa kamu tidak mau mengakuiku sebagai pacarmu. Padahal semua yang kamu minta, aku selalu menurutinya.” Heri memainkan perannya.
“Jaga mulutmu.” Bunga menatap pria itu nyalang dengan telunjuk tepat di wajah Heri. “Bertemu denganmu saja baru kali pertama ini. Bagaimana bisa aku mengenalmu.”
“Sudahlah, kita pergi saja dari sini. Biarkan saja wanita itu berpacaran sama siapa yang terpenting kita sudah mendapatkan bukti foto maupun video rekaman yang menunjukkan kalau dia bukan wanita baik-baik,” saran Fifi sambil memainkan HP yang ada di tanganku.
“Dari pada mengganggu mereka pacaran, lebih baik kita jalan-jalan,” timpal Dewi.
“Heh, hapus enggak video itu!” Bunga menghampiri kami. Dia berusaha merebut HP dari tangan Fifi. Namun, Dewi menghalau wanita itu agar tidak bisa mendapatkan HP milik Fifi.
“Hentikan Bunga. Semua ini memang pantas sebagai hukum untukmu karena telah merebut suamiku.”
“Aku tidak merebutnya. Dia yang datang menghampiriku.”
Aku tahu betul sifat Mas Aan. Kalau perempuan itu tak menggodanya, pasti dia tidak akan mendekati wanita itu.
“Tidak mungkin. Kalau tidak ada umpan mana bisa ikan tertangkap. Aku tahu maksud burukmu mendekati Mas Aan. Sebentar lagi, Mas Aan akan mendengar yang sebenarnya tentang dirimu,” ancamku.
“Terserah kamu aja deh, Mbak. Kamu mau bilang sama Mas Aan pun silakan. Aku yakin, Mas Aan tidak akan mempercayai perkataan, Mbak.”
Bunga begitu percaya diri mengatakan itu.
“Baiklah, aku akan memperlihatkan foto ini ke Mas Aan sekarang juga. Kebetulan aku juga mau mengantarkan HP miliknya ini kepadanya.” Aku memperlihatkan HP Mas Aan yang ada di tanganku pada wanita itu.
“Oh, jangan-jangan ....” Bunga lantas menuding kami kalau kami sudah merencanakan ini semua untuk menjebaknya.
“Jangan asal menuduh, ya.” Fifi menunjuk wajah Bunga.
Fifi tampak sangat emosi. Dia memaki-maki wanita itu. Emosi yang selama ini terpendam, dia curahkan semua pada Bunga.
“Fi, sudahlah.” Aku menepuk pelan pundak Fifi. “Enggak ada gunanya juga kita berdebat dengannya. Mending temani aku mengantarkan HP Mas Aan lalu jalan-jalan.”
Kalau terus-terusan meladeni Bunga, tidak akan ada ujungnya. Yang terpenting, bukti foto dan video sudah ada dalam genggaman.
Kami pun berjalan meninggalkan mereka. Namun, baru beberapa langkah, ada panggilan masuk di HP-ku dari nomor kantor Mas Aan.
Aku tahu pasti suamiku itu, ingin menanyakan HP-nya.
“Iya, Mas. Aku sudah ada di jalan kok.” Aku lantas mematikan panggilan darinya.
“Eh ... aku ada ide nih! Bagaimana kalau kita langsung kirim aja video tadi ke HP suami kamu?” saran Fifi.
“Boleh juga tuh!” jawab Dewi melirik Bunga. “Jadi, Athira tidak usah susah-susah bilang sama suaminya.”
Dewi dan Fifi, tertawa cekikikan. Sepertinya mereka berdua puas mengerjai Bunga.
Wanita itu tampak geram dengan apa yang kami lakukan.
“Heh! Jangan lakukan itu, ya!” Bunga menghampiri kami. Dia berusaha merebut HP dari tangan Fifi.
“Tadi, kamu bilang terserah kami. Kenapa sekarang jadi ketakutan gitu,” sindir Fifi.
Fifi memang yang paling bersemangat untuk mengerjai Bunga.
Aku sebenarnya merasa kasihan juga pada wanita itu karena kami keroyok.
“Beres!”
Dalam hitungan detik, video tadi berpindah ke dalam HP Mas Aan.
Dewi dan Fifi tertawa puas, telah berhasil mengerjai Bunga. “Sudah, yuk!”Kami berjalan menuju mobil.
Heri pun ikut pergi meninggalkan Bunga.Aku juga merasa kasihan melihatnya seperti itu. Namun, aku juga tidak suka caranya mendekati Mas Aan. Semoga Bunga segera mendapatkan hidayah-Nya.
“Aku kok kasihan sama dia, ya,” ucapku ketika kami berada di mobil.
“Apaan sih?! Wanita kayak gitu enggak patut untuk dikasihani. Korbannya bukan hanya suamimu saja loh! Kakakku juga.” Fifi menunjuk dadanya.
Aku hanya diam mendengar ucapan Fifi. Ada benarnya juga perkataannya. Bunga memang pantas mendapatkan pelajaran agar tidak kembali mengulangi perbuatannya.
***
“Dek, apa yang kamu dan teman-temanmu lakukan pada Bunga tadi? Aku tak menyangkanya, kamu bisa berubah menjadi buas seperti ini?” Belum aku bicara Mas Aan sudah memarahiku ketika aku baru saja tiba di tempat kerjanya.
Aku tahu pasti Bunga sudah mengadu pada Mas Aan. Dia pasti sudah mengatakan yang tidak-tidak tentang kami. Wanita itu memang tak pantas untuk dikasihani. Selain jahat, dia juga licik.
“Apa maksudmu, Mas? Kamu menuduhku? Kamu sekarang berubah kepadaku hanya gara-gara wanita itu?” Aku menggelengkan kepala.
Pria yang aku cintai sela bertahun-tahun begitu mudahnya berpaling pada wanita lain. Tidak hanya itu, saat ini dia juga sudah tak mempercayaiku. Rasanya percuma menjelaskan siapa Bunga sebenarnya.
Mas Aan sudah dibutakan oleh cinta.“Terserah kamu mau mempercayaiku atau tidak.” Aku meletakan HP milik Mas Aan di atas meja.
Aku lantas membalikkan badan berniat untuk meninggalkan pria itu. Namun, sebelum mencapai pintu, aku berhenti.
“Kalau kamu lebih mempercayai Bunga. Mulai hari ini juga, kamu keluar dari rumahku.”
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Mau Menikah Lagi, Aku Miskinkan Dia (TAMAT)
Lãng mạn"Mas, siapa wanita itu?" Aku menunjuk wanita yang ikut pulang bersama Mas Aan. "Dek, kita bicarakan di dalam, ya. Tidak enak kalau dilihat orang." Kami masuk ke dalam rumah . "Athira, izinkanlah aku untuk menikah lagi?" Mas Aan memandang wanita can...