Jambu Biji pada Musim Hujan

14K 575 1
                                    


Entah apa yang ada di pikiran pria itu, hingga dia berkata begitu.

"Jangan asal menuduh kamu." Aku menunjuk Mas Aan. "Dia Saman-saudara Mesi. Kami juga tidak di rumah hanya berdua saja. Ada Mesi dan Fifi juga di rumah," terangku.

"Aku enggak percaya. Gampang banget kamu melupakan aku. Hanya dalam hitungan hari saja, kamu sudah mendapatkan gantiku."

Pria itu benar-benar tidak menggunakan akal sehatnya. Mas Aan yang sudah tega menduakanku, sekarang dia menuduhku, tanpa bukti.

"Jangan asal bicara kamu, Mas. Kamu itu yang tak tahu diri. Ibarat buah, kamu itu, seperti jambu biji di musim hujan. Luarnya mulus, dalamnya busuk. Dari luar kamu kelihatan baik, tapi hatimu begitu buruk."

Aku menyesal telah menjenguknya kemarin. Aku kira dia akan sadar setelah apa yang Bunga lakukan padanya. Nyatanya tidak. Pria itu justru berubah menjadi lebih buruk.

"Apa kamu bilang!" Mas Aan tampak geram. Dia mengangkat tangan kanannya. Siap melayangkannya di pipiku.

"Apaan-apaan kamu!" Saman menahan tangan Mas Aan. "Enggak pantas kamu berbicara kasar pada perempuan."


Mas Aan menarik tangannya. Dia menunjuk Saman. Mata pria itu melotot. "Jangan ikut campur kamu, ya!"

"Hai! Tadinya aku tidak mau ikut campur, tapi melihatmu kasar pada dia." Saman menunjukku. "Aku tidak bisa hanya melihatmu berlaku seenaknya pada wanita."

"Kamu lebih memilih dia." Mas Aan menunjuk Saman, lalu menunjuk dirinya sendiri. "Dibandingkan aku!"


Aku tidak memilih atau memihak pada siapa pun. Akan tetapi, pada situasi saat ini, Mas Aan yang memulai keributan.

Aku lantas berdiri di hadapan Mas Aan. "Sudah! Kamu jangan bikin ribut di sini, Mas. Aku tidak mau kalau Mahreen sampai mendengarnya." Aku berusaha mendorong badan Mas Aan. Aku. Tidak mau ada pertikaian di antara mereka hanya karena kesalahpahaman.

"Apa-apaan ini?!" tanya Fifi yang baru keluar bersama Mesi.

"Kamu itu yang selingkuh, kamu juga yang menuduh, Athira. Dia itu saudaraku." Mesi menunjuk Saman.

"Dia juga salah satu korban dari Bunga. Akan tetapi, Saman tidak sebodoh kamu yang mau diperbudak hanya dengan mengatas namakan cinta."

"Bener banget tuh. Kalau Saman, sekali diberi tahu langsung memutuskan Bunga. Nah, kalau dia." Fifi menunjuk Mas Aan. "Sudah tahu hartanya digerogoti sama tuh cewek, tapi masih mau aja jadi budaknya," cibir Fifi.

"Apa kalian bilang?!" Mas Aan tampak tidak suka dengan cibiran mereka.

"Sudah ... sudah ... cukup!"

Aku mencoba meminta mereka untuk diam. Malu juga kalau sampai para tetangga mendengar.

"Mas, pulanglah," pintaku pada Mas Aan. "Terserah kamu mau menilaiku bagaimana. Yang terpenting aku tidak seperti yang kamu tuduhkan. Sudah cukup aku merasa sakit karena pengkhianatanmu, sekarang aku tidak mau kamu menghinaku. Kalau kamu bersikap seperti ini, lebih baik kamu jangan pernah ke sini lagi." Aku melangkah masuk ke dalam rumah.

Tidak ada gunanya berdebat dengan pria tak tahu diri.

"Athira!" Panggil Mas Aan.

Aku bisa mendengar Fifi mengusirnya pergi.

"Athira." Mesi mengikutiku masuk ke dalam.

Aku membalikkan badan dan tersenyum untuk memberitahukan padanya kalau aku dalam keadaan baik-baik saja. "Aku mau melihat Mahreen dulu."

Mesi mengangguk seraya tersenyum. Dia lantas bilang akan menyiapkan makan siang untuk kami. Masakan mereka sudah matang katanya.


Aku pun bergegas menuju kamar Mahreen.

Menangis pun tak ada gunanya. Aku harus tetap kuat dan semangat menghadapi segala ujian yang menerpaku. Aku yakin, suatu saat nanti akan ada kebahagiaan yang akan datang padaku.

"Sayang." Panggilku masih berdiri di ambang pintu.

Aku memandang Mahreen yang sedang berdiri menyisir rambutnya.


Aku berjalan menghampirinya. "Ayo kita makan. Pasti Mahreen belum makan 'kan?"

Mahreen membalikkan badan. Aku pun berjongkok untuk menjajarkan tinggi kami.

"Makan siang bareng Papa juga 'kan, Ma?" tanyanya polos.

Aku tersenyum seraya mengambil jepit rambut berbentuk bunga yang ada di tangan Mahreen dan memakaikannya di rambut putriku itu. "Papa sudah pulang, Sayang."

"Mama dan teman-teman mama pasti yang mengusir Papa 'kan?"

Mahreen pasti mendengar perdebatan tadi.

Aku lantas menggelengkan. Kepala.

"Tidak, mana mungkin mama dan teman-teman mama usir Papa."

"Tadi Mahreen dengar, Mama dan teman-teman mama marah sama Papa," ucap gadis kecil itu cemberut.

"Kami tidak marah sama Papa, Sayang. Ayo makan! Mahreen pasti lapar 'kan?"

Aku bingung bagaimana menerangkan pada Mahreen yang sebenarnya terjadi. Dia masih kecil belum saat dia tahu semuanya.

Mahreen hanya diam. Aku tahu dia pasti kecewa dan marah padaku.

"Papa tadi pulang karena ada urusan, Sayang. Tapi, Papa akan kemari lagi besok untuk Mahreen." Aku terpaksa berbohong pada Mahreen. Aku tidak ingin gadis kecilku itu salah paham.

"Bener, Ma?"

Aku menganggukkan kepala.


Mahreen tampak senang. Dia pun akhirnya mau makan bersama kami.

***

"Maaf, karena kehadiranku kamu dan suamimu ribut," ucap Saman.

"Tanpa kehadiranmu mereka juga sudah ribut kok," terang Fifi.

Kebetulan Mahreen tidak sedang bersama kami. Dia sedang bermain di teras.

"Apa suamimu itu juga punya hubungan dengan Bunga? Maaf kalau aku tidak sopan bertanya."

Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaan Saman.

"Berapa lama mereka berhubungan?" tanya Saman.

Aku lantas menjelaskan pada Saman kalau mereka menjalin hubungan sudah setahun.

Mendengarnya Saman terkejut.


"Selama itu dan kamu tidak mengetahuinya?"

Aku mengangguk. Aku juga tak pernah mengira kalau Mas Aan akan mendua.

"Sudah pukul satu, ni!" Aku memandang layar HP di tangan. "Aku harus mengirim paket-paket yang aku kita kemas tadi pagi."

Mendengarnya Saman menawarkan diri untuk membantu.

Kami berempat lantas pergi ke kantor pos yang tak jauh dari rumah. Aku juga mengajak Mahreen ikut bersama kami.

Selama dalam perjalanan Mahreen tampak bahagia. Dia bernyanyi di sepanjang jalan.

Putri kecilku itu pun sangat akrab dengan teman-temanku.

"Nanti pulang mengirim paket, kalau kita mampir jalan dulu bagaimana?" tanya Mesi.

"Jalan-jalan? Mahreen mau!" Putriku itu teriak kegirangan mendengar kata jalan-jalan.

"Bagaimana? Kalian semua pada setuju 'kan?" Mesi kembali bertanya.

Fifi mengangguk setuju. Sedangkan Saman mengiyakan permintaan saudaranya itu.

Tak butuh lama kami pun tiba di kantor pos. Dibantu Saman dan kedua sahabatku, aku membawa paket yang berisi barang pesanan pelangganku dan Fifi masuk ke dalam kantor pos.

Antrean juga tak terlalu panjang. Jadi, kami tidak menunggu terlalu lama.


Usai dari kantor pos, sesuai dengan perjanjian kami jalan ke mall yang berada di kota tetangga, karena di kota kami memang tak ada mall.

***

Mahreen tampak senang ketika kami tiba di mall yang memiliki banyak cabang di berbagai daerah.

Mahreen tampak senang. Dia memandang ke sekeliling penjuru mall. Aku tahu, tempat yang ingin dia tuju. Tempat bermain.

"Aku pengen beli baju. Kita ke sana yuk!" Mesi menunjuk ke arah store yang berisi pakaian.

"Kalian ke sana dulu aja. Aku dan Mahreen mau menuju ke arena bermain." Aku memandang Mahreen dan mereka bergantian.

Mereka bertiga pun berjalan meninggalkanku.

Aku lantas menggandeng Mahreen menuju ke arena bermain.


Ketika berjalan, tanpa sengaja aku melihat Bunga sedang berjalan dengan seorang pria.

Bunga juga sedang menatapku tak suka.

Bersambung ....


Suamiku Mau Menikah Lagi, Aku Miskinkan Dia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang