Tak Tega

17.4K 677 2
                                    


“Pasti semu karena kamu kan! Kamu yang merencanakan semuanya!”

Siang itu Bunga datang seorang diri ke rumahku. Kebetulan saat itu aku sedang duduk santai di depan rumah sambil menikmati jus buah naga.

Bunga menudingku. Dia menyalahkanku atas semua yang terjadi di resepsi pernikahan Mesi.
Bunga menuduhku. Dia mengatakan, jika aku sudah menghasut teman-temanku untuk membalasnya.
Padahal bukan aku yang merencanakannya, tapi teman-temanku. Terutama Fifi. Dia sangat membenci Bunga karena wanita itu telah merusak rumah tangga kakaknya.

“Karena kamu juga, aku harus kehilangan Saman!”

Pasti pria itu memutuskan Bunga setelah tahu bagaimana sifat wanita itu yang sesungguhnya.

“Aku justru bersyukur, Saman memutuskanmu, karena dia tidak pantas untuk wanita sepertimu. Pria baik pasti akan mendapatkan yang baik pula. Begitu pula sebaliknya, wanita jahat, pasti akan mendapatkan pasangan yang jahat pula. Begitu juga dengan kamu!” Aku menunjuk Bunga.

Tempo hari, kami meminta Saman untuk membantu kami membuat perhitungan pada Bunga. Namun, pria itu menolaknya. Dia berdalih, biar Allah yang membalas setiap perbuatan wanita itu. Sungguh Saman pria yang luar biasa.

“Jaga mulutmu, ya!” Bunga mengacungkan jari telunjuknya di hadapanku. Wanita itu tampak sangat marah padaku.

“Bukan aku yang harus menjaga mulut, tapi kamu.” Aku menatapnya sinis. “Oh iya, bagaimana kabar Mas Aan? Aku berencana akan segera menceraikannya. Kamu!” Aku menunjuk Bunga. “Boleh, kok menikah dengannya. Aku janji tidak akan mengganggu hubungan kalian,” ucapku sinis.

“Aku tidak sudi, menikah dengan pria kere seperti dia! Dulu aku mau sama dia, karena Mas Aan bisa memberiku segalanya. Sekarang, buat makan aja enggak bisa. Bayar kontrakan juga mengutang sama aku. Apalagi, dia sekarang sering sakit-sakitan Ih ... enggak banget deh,” ucap wanita itu bergidik.

Sakit? Aku tidak tahu kalau Mas Aan sedang sakit. Sejak meminta kembali padaku tempo hari, pria itu memang tak pernah lagi datang ke rumah.
Wanita itu sungguh tega. Buat bayar kontrakan aja, dihitung berhutang padanya. Padahal dulu dia minta apa saja selalu dibelikan oleh Mas Aan.
“Kamu itu benar-benar wanita tak tahu diri. Dulu kamu berfoya-foya pakai uang dia, sekarang kamu justru menganggap uang yang dipakainya untuk bayar kontrakan sebagai hutang. Dasar wanita kurang **ar.”

Aku begitu geram pada Bunga. Hampir saja aku melayangkan tamparan pada wanita itu. Namun, aku harus tetap menjaga kewarasan agar tidak terbawa emosi.

“Bukannya kita sama, ya.” Wanita itu memandangku mengejek. “Bukannya kamu yang mengusir Mas Aan dan membuatnya seperti itu.”

Wanita itu benar-benar tak tahu diri, sudah salah masih saja sembunyi tanga
dia. Kalau wanita itu tidak hadir di kehidupan kami dan memperdaya Mas Aa. Pasti hubungan kami saat ini akan baik-baik saja.

“Heh! Jangan samakkan aku dengan kamu. Aku tak seperti kamu yang hanya bisa mengejar uang dengan memoroti korban-korbanmu.

Sedangkan aku, tiap hari uang datang padaku dengan sendirinya dan aku tidak berfoya-foya menggunakan uang suamiku. Makanya, punya otak itu dipakai buat mikir.” Aku menunjuk pelipis mata. “Bukan hanya dipakai untuk menipu laki orang lain aja!”
“Karena itulah kamu bodoh. Tidak pandai dalam memanfaatkan pria,” ejeknya.

“Heh! Aku tidak mau merendahkan diri di hadapan para pria. Aku juga tidak mau mengantungkan hidupku pada mereka. aku masih bisa berdiri tanpa mereka” balasku.

“Bunga apa-apaan kamu ini?!” Seorang pria berjalan menghampiri kami. Dia menarik tangan Bunga, sontak wanita itu menoleh padanya. “Kamu itu memang busuk, ya. Aku bersyukur bisa mengetahuinya lebih awal,” ucap Saman.

“Dengarkan aku dulu.” Bunga mencoba meraih tangan Saman.

Saman menepisnya. Dia menyilangkan kedua tangan di dada.

“Aku akan menjelaskan yang sebenarnya,” ucap wanita itu.

Aku hanya diam memandang mereka. Aku tidak mau ikut campur dengan urusan Saman dan Bunga. Biarlah mereka menyelesaikannya sendiri.
“Aku sudah tidak mau mendengar apa pun darimu. Sudah cukup bukti-bukti yang aku lihat tentang kebusukanmu. Aku mau kamu pergi dari sini,” tegas Saman.

“Pasti karena dia dan teman-temannya kan, kamu jadi seperti ini.” Bunga menunjukku.

“Cukup Bunga! Semua ini aku lakukan bukan karena Athira dan teman-temannya. Semua ini aku lakukan karena aku tidak mau ada parasit dalam kehidupanku,” terang pria itu.

“Tapi ....”

“Aku sudah tidak mau mendengar apa pun darimu, pergi dari sini!” Saman menunjuk ke arah luar.

Kesal, Bunga pergi meninggalkan rumahku.

Aku lantas mengucapkan terima kasih pada Saman karena telah membantuku mengusir wanita itu.

“Justru aku yang harusnya berterima kasih, karena kamu dan teman-temanku telah memberitahuku semua tentang Bunga,” ucap pria itu.

“Oh iya, dari mana kamu tahu alamat rumahku?”

“Mesi yang memberitahukannya. Kebetulan dia yang memintaku untuk ke sini,” kata pria itu.

“Tumben, emangnya ada apa dia memintamu ke sini?” tanyaku mengernyitkan dahi.

“Sebentar, aku ambil dulu titipan dari Mesi.”

Saman berlari menuju ke mobilnya yang terparkir di pinggir jalan yang ada di depan rumahku.

Tak berselang lama, pria itu kembali dengan bingkisan di tangan. Dia menyerahkannya padaku.

“Apa ini?” Aku memandang bingkisan yang sudah berada di tangan dan mencoba untuk mengintipnya.

“Aku juga tidak tahu,” jawab pria itu.
Aku lalu mempersilakan Saman untuk mampir sebentar. Namun, dia menolaknya. Dia bilang masih  harus ke rumah teman-teman Mesi lainnya untuk mengantarkan bingkisan yang sama. Saman pun berpamitan padaku. Sebelum dia pergi, tak lupa aku berterima kasih padanya.

***

“Mama mau ajak Mahreen jalan-jalan mau enggak?” tanyaku pada putri kecil itu ketika kami sedang asyik bermain boneka di ruang keluarga.

“Ke mana, Ma? Mahreen mau!” jawabnya antusias.

Sore itu aku berencana untuk menjenguk Mas Aan. Aku merasa tidak tenang mendengar kabar pria itu sedang sakit.

Memang, aku sangat membencinya setelah apa yang dilakukannya padaku. Namun, walau bagaimana pun juga dia papa dari Mahreen.

“Kita akan bertemu dengan Papa.” Aku memandang Mahreen.

“Mau, Ma. Mahreen juga kangen Papa. Kenapa Papa sekarang enggak pulang ke rumah. Memangnya Papa lama ya ke luar kotanya?” Deretan pertanyaan Mahreen  lontarkan padaku.

Aku hanya mengangguk menjawabnya. Suatu saat nanti, dia pasti akan tahu yang sebenarnya terjadi di antara kami.

Aku dan Mahreen membereskan semua mainannya dan bersiap menuju ke rumah kontrakan Mas Aan.

***

“Papa.” Mahreen berhambur memeluk Mas Aan usai pria itu membuka kontrakannya.

Aku mengetahui alamat kontrakannya dari teman dekatnya, Soni. Pria itu yang mengantarkan Mas Aan pulang karena sakit saat bekerja. Jadi dia tahu alamat Mas Aan.

Aku begitu trenyuh melihat keadaannya. Dia tampak kurus dan pucat.

Rumah kontrakannya pun sudah tua dan tampak lapuk sana sini. Sungguh sudah tak layak huni.

Mas Aan lantas mempersilakan kami duduk di kursi kayu yang juga tampak lapuk.

Aku duduk di kursi yang berhadapan dengan Mas Aan. Sedangkan Mahreen, duduk bersama pria itu. Sepertinya Mahreen memang merindukannya.

“Sakit apa kamu, Mas? Sudah ke dokter?”

Pria itu menjawab dengan menggeleng.

“Ma, katanya Papa di luar kota, kenapa ada di sini? Kenapa tidak pulang ke rumah kita?” tanya Mahreen polos.
Mendengarnya aku dan Mas Aan saling pandang. Tak tahu harus menjawab apa.

“Ma, kita ajak pulang Papa aja, ya. Kasihan kalau Papa di sini sendirian.”

“Tapi, Sayang ....”

Bersambung ....

Suamiku Mau Menikah Lagi, Aku Miskinkan Dia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang