Dia Tak Memercayaiku

20.2K 772 6
                                    


"Kalau perlu, entar kita bantu deh!" ucap Dewi.

"Iya entar kami siap bantu kok. Apalagi tuh cewek juga pernah menyakiti hati kakak aku. Pas banget tuh."

Senang mempunyai teman-teman seperti mereka. Aku semakin semangat untuk memberi pelajaran pada Bunga.

***

"Gimana kencannya hari ini, Mas?" tanyaku ketika Mas Aan masuk ke dalam rumah.

Sore itu, seperti biasa aku menunggu Mas Aan pulang seraya membalas pesan dari grup reseller.

Mas Aan meletakkan tas kerjanya di meja. Dia mengendurkan dasi dan membuka dua kancing kemejanya lalu duduk di sampingku.

Wajah Mas Aan tampak lelah.
Beberapa kali dia juga menghembuskan napas berat. Mungkin hari ini banyak pekerjaan atau karena dia sedang ada masalah dengan Bunga.

"Aku tuh kerja, Dek. Bukannya kencan."

"Biasanya juga kamu jalan-jalan sama Bunga dulu sebelum pulang." Aku menatapnya tidak suka. "Atau jangan-jangan, Bunga yang tidak mau pergi sama kamu karena kamu mengendarai motor," sindirku.

"Bukan seperti itu. Aku hanya kelelahan saja." Mas Aan masih saja membela wanita itu.

Aku tahu Bunga pasti tidak mau jalan dengannya karena dia hanya mengendarai motor.

"Oh iya, bagaimana mau jalan-jalan kalau uang jatah kencan sama Bunga sudah aku jadikan modal." Aku menyindir dia dengan mengatakan kalau Bunga tidak mau pergi dengannya salah satunya juga karena dia tidak punya uang.

"Sudah jangan bahas Bunga lagi. Capek aku."

"Oh iya, tadi pagi dia ke sini."


Mas Aan menatapku penuh tanya.


Aku menceritakan padanya kalau tadi pagi Bunga ke rumah dan marah-marah.

"Dia hanya mau memanfaatkan kamu saja, Mas. Dia itu ingin memoroti harta kita. Setelah apa yang diinginkan tercapai. Bunga akan meninggalkanmu, Mas." Aku mencoba memberitahukan kebenarannya pada Mas Toni.

"Tahu dari mana kamu?" tanyanya.


Aku menceritakan padanya kejadian yang menimpa kakaknya Fifi.

"Itu pasti hanya bualanmu saja, Dek."

"O ...."Aku berdiri. "Kamu tidak percaya sama aku ya, Mas? Kamu lebih percaya sama cewek itu?"

"Iya, kamu bilang begitu supaya aku meninggalkannya kan?" Mas Aan berdiri. Dia menunjukku.

"Kamu itu susah dikasih tahu ya, Mas. Aku itu memberitahu kamu agar kamu tidak menyesal di kemudian hari. Masalah kamu mau memilih sama Bunga atau aku, aku enggak peduli. Aku bisa hidup tanpamu, tapi kamu." Aku menunjuknya. "Bagaimana hidupmu bila tanpa aku?"

Aku emosi saat pria itu tidak memercayaiku. Padahal kami sudah lama hidup bersama, sedangkan Mas Aan baru setahun mengenal Bunga, tapi dia lebih percaya dengan wanita itu.

Bagaimana bisa dia hidup tanpa aku. Rumah dan mobil, semua milikku. Kalau dia memilih Bunga. Mas Aan akan keluar dari rumah tanpa membawa apa-apa.

"Sudah jangan bahas dia lagi. Bikin pusing aja!"

Mas Aan mengambil tas yang tadi diletakkannya dan berjalan menuju ke kamar.

"Aku belum selesai bicara, dengarkan aku dulu." Aku menyusul di belakangnya.

Setibanya di kamar, Mas Aan meletakan tas dan HP-nya di atas nakas. Dia langsung masuk ke kamar mandi dan menutup pintu dengan keras.

Sepertinya Mas Aan marah padaku. Biarlah ini semua sebagai pelajaran untuknya agar tidak mudah tergoda pesona wanita lain.

Aku mengambil HP Mas Aan untuk mengecek pesan dari Bunga. Dia tak pernah mengunci layar HP-nya, jadi aku bebas untuk membukanya.

Aku membaca pesan dari wanita itu dari atas hingga bawah. Pantas saja Mas Aan tampak bermuram durja. Ternyata Bunga meminta uang padanya sebesar lima juta untuk perawatan.

Tiba-tiba terbesit sebuah ide untuk mengerjai Bunga. Aku pun membalas pesan dari wanita itu sebagai Mas Aan. Aku bilang padanya akan memberinya uang sejumlah yang diinginkannya dan tempat untuk kami bertemu.

Setelah beres, aku menghapus pesan yang tadi aku kirimkan pada Bunga.


Tak berselang lama Mas Aan keluar dari kamar mandi dengan handuk sebatas pinggang. Dia berjalan menuju lemari. Mas Aan mengambil kaos berwarna abu-abu dan celana berwarna hitam dan memakainya.

"Kamu sudah makan belum, Mas?" tanyaku berbasa-basi.

Mas Aan menggeleng.

"Aku sudah masak tadi. Makanan juga masih ada di meja. Kalau mau makan tinggal ambil saja," ucapku.

"Kamu enggak mau menemani aku makan?" Dia memandangku.


Aku menggeleng dengan tatapan mata tertuju pada HP.

"Dek kenapa kamu berubah sih? Aku pengen kamu seperti istriku yang selalu melayaniku seperti dulu."


Dulu aku memang penurut.

Menyiapkan apa saja yang dibutuhkannya, tapi sekarang, rasanya aku malas untuk melakukannya.

"Aku bukan pembantu, Mas. Kamu bisa ambil sendiri kan? Kamu ambil sendiri saja sana. Kemarin-kemarin aku baik padamu, karena kamu baik padaku. Sekarang, kamu menduakanku. Aku tidak perlu susah-susah melayani kamu di rumah. Sedangkan saat di luar sana kamu bersenang-senang dengan wanita lain."

Mas Aan hanya diam tak menimpali perkataanku. Dia memilih ke luar. Mungkin dia malas berdebat denganku.

Aku pun merebahkan diri dan kembali memandang layar HP.

***

Keesokan harinya, usai mengemas barang yang akan dikirim ke pembeli, aku bersiap-siap untuk menjalankan misiku.

Sebelumnya aku sudah menelepon Dewi dan Fifi untuk membantu mengerjai Bunga hari ini karena kemarin mereka sempat bilang ingin membantu. Tanpa disangka, mereka sudah mempunyai ide cemerlang untuk membuat perhitungan pada wanita itu. Entah apa yang akan dilakukan mereka terhadap wanita itu.

Fifi dan Dewi tidak mengatakannya.


Sekitar pukul dua belas aku dan teman-temanku sudah bersiap untuk menemui Bunga. Kami mengendarai mobil Dewi agar Bunga tak mengenali.

"Apa rencana kalian?" tanyaku pada Fifi dan Dewi.

"Tenang aja. Kamu tinggal lihat dan duduk manis di sini," jawab Dewi.


Aku menuruti perkataannya. Kami bertiga hanya duduk di dalam mobil untuk mengamati Bunga yang sedang duduk di bangku yang berada di depan taman. Wanita itu berkali-kali memandang layar HP dan menempekannya ke telinga.

Bunga pasti sendang mencoba menghubungi Mas Aan. Bersamaan itu, HP ditanganku bergetar. Tertera nama 'Sweety' di layar dengan gambar wanita mengenakan kaca mata berwarna hitam.

HP Mas Aan tadi pagi berhasil aku sembunyikan. Jadi, hari ini aku yang membawanya. Aku melakukannya karena tak ingin rencanaku gagal.


Beberapa kali wanita itu melakukan panggilan ke nomor Mas Aan. Aku tak mengangkatnya.

Tak berselang lama sebuah mobil berwarna putih berhenti. Melihat hal itu, Bunga memasukkan kembali HP-nya ke dalam tas.

Seorang pria berbadan kurus turun. Dia menghampiri Bunga yang duduk sendiri di sana.

"Dia siapa?" Aku memandang Dewi yang duduk di depan kemudi.

Bersambung ....

Cerita ini sudah tamat di KBM Aplikasi yang mau baca silakan mampir. Untuk yang tidak punya aplikasinya jangan khawatir, di sini juga akan di up sampai tamat versi WP

  Untuk yang tidak punya aplikasinya jangan khawatir, di sini juga akan di up sampai tamat versi WP

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Suamiku Mau Menikah Lagi, Aku Miskinkan Dia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang