Hempaskan

19.6K 808 4
                                    

“Apa maksudmu, Mas?” Aku memandangnya, pura-pura tak tahu apa yang dimaksud pria itu.

Sebenarnya aku tahu, Mas Aan ingin meminta untuk kembali bersama. Semua itu dilakukannya karena Bunga pasti tidak mau lagi bersamanya. Apalagi dia tidak punya apa-apa sekarang.

Tadi siang, aku melihat dengan mata kepala sendiri, kalau dia jalan dengan pria lain. Mungkin, wanita itu mencari pria yang lebih kaya dan bisa memberikannya segalanya.

“Aku ingin kita mengulang semuanya dari awal lagi. Aku berjanji padamu, tidak akan pernah menduakanmu,” ucapnya.

Mudah baginya mengatakan itu. Akan tetapi, sulit untuk mempraktikkannya.

Aku juga tidak bisa melupakan apa yang dilakukannya kemarin. Dia lebih mempercayai wanita yang mau menguras uangnya dibandingkan aku—istrinya yang bisa menerima Mas Aan apa adanya.

“Maaf, aku tidak bisa, Mas. Ibarat kata aku ini adalah buah. Ketika kamu mencicipi dan rasaku asam, kamu akan beralih ke buah lainnya yang tampak lebih manis. Namun, saat mencoba buah itu dan rasanya lebih asam dari aku. Kamu pun pada akhirnya kembali memilihku. Aku tahu Bunga tak sebaik yang kamu kira. Karena itu aku ingin kejadian ini sebagai pelajaran bagimu. Sekali lagi maaf, aku tidak bisa menerimamu.”

Mas Aan tampak kecewa mendengar perkataanku.

Semua sudah terjadi, dia yang telah memilih jalannya sendiri. Mas Aan yang bersalah dengan menduakanku dengan wanita itu. Aku ingin dia merenungi kesalahannya terlebih dahulu.

Bisa saja kali ini dia meminta maaf dan aku memaafkan. Akan tetapi, di luar sana dia kembali bermain api. Aku tidak mau dia kembali mengkhianatiku.

“Baiklah, semua memang salahku. Aku berharap suatu saat nanti kamu mau menerima aku kembali paling tidak demi Mahreen, putri kita.”

Mahreen anak yang cerdas dan penurut, saat dewasa nanti dia pasti akan memahami kalau kami berpisah.

“Tak perlu khawatir, tanpamu pun aku bisa menjaga Mahreen.”

“Tapi, Athira ....”

“Sudahlah, akh tidak mau mendengar apa pun lagi. Jika sudah tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku mau kamu pergi dari rumah ini.”

Aku mengusir Mas Aan. Dia pun akhirnya pergi.

Semoga saja pria itu menyesali perbuatannya.

***

Hari ini aku ada acara dengan Fifi, Dewi, dan teman-teman yang lain. Aku sengaja membawa Mahreen ikut serta, karena khawatir kejadian tempo hari terulang, jika aku tinggal.

Aku dan Mahreen menggunakan rok senada. Rambut panjang Mahreen aku biarkan tergerai dan hanya memakaikannya sebuah pita. Begitu juga denganku berdandan sama seperti Mahreen.

Hari ini adalah hari pernikahan salah satu sahabat kami Mesi.

Mengendarai mobil, kami bersama-sama menuju ke gedung tempat acara pernikahan di gelar.
Resepsi Mesi diadakan dengan adat jawa.

Mesi sangat cantik mengenakan kebaya berwarna hitam. Kulitnya yang putih bersih membuatnya tampak sangat cantik dan elegan.

Beruntung sekali Mesi bisa menikah dengan Fahmi, selain tampan, juga mempunyai luhur budi. Sungguh pasangan yang sempurna.

Gedung resepsi penuh undangan. Alunan merdu sebuah lagu berjudul ‘Dia’ mengalun merdu dari panggung hiburan yang berada di sisi kiri singgasana pengantin. Pada sisi kiri panggung berjajar stan-stan makanan.

Kami lantas berjalan untuk memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai.

“Selamat ya, Say.” Aku mencium kedua pipi Mesi secara bergantian.

Usai mengucapkan selamat, kami lantas bersua foto bersama pengantin. Kami mengambil foto dari beberapa posisi.

“Eh, lihat tuh!” Fifi menyentuh pundakku. Dia menunjuk ke arah wanita yang menggandeng seorang pria masuk ke dalam ruang resepsi.
Wanita itu mengenakan atasan kebaya berwarna merah muda, dengan bawahan kain batik berwarna hitam dengan motif bunga.

“Bukannya itu Bunga. Sama siapa dia?” timpal Dewi.

Mereka menatap pria dan wanita yang berjalan menuju ke arah kami.
Bunga memandangku. Wanita itu tampak tak suka dengan keberadaanku.

Ah ... dunia memang sempit. Di mana-mana ada wanita itu. Entah dosa apa yang aku perbuat, hingga bisa berurusan dengan wanita seperti Bunga.

“Selamat ya, Mesi.” Pria yang bersama dengan Bunga menyalami pengantin wanita. Mungkin pria itu sahabat dari Mesi.

“Sam, siapa dia?” Mesi menunjuk Bunga.

Melihatnya Bunga tersenyum ramah pada Mesi
Pria itu  memperkenalkan Bunga sebagai kekasihnya.

“Wah! Semoga kalian bisa segera menyusul ke pelaminan,” doa Mesi.
Mesi tempo hari tidak datang ke acara syukuran Fani. Jadi, dia belum tahu siapa sebenarnya Bunga.

“Oh iya, teman-teman, perkenalkan ini Saman—kakak sepupuku.”

Mesi memperkenalkan pria itu kepada kami.

Pria itu lantas memberi salam kepada kami. Sedangkan Bunga, dia tampak salah tingkah melihat kehadiran kami.

“Perkenalkan ini Bunga, pacar saya,” ucap Saman.

“Iya, kami sudah kenal sama Bunga bangke ini kok,” jawab Fifi.

“Bunga bangkai?” Saman mengernyitkan dahi.

“Itu panggilan sayang kami untuk Bunga,” timpal Dewi.

“Iya, kami memanggilnya gitu karena Bunga kalau kentut baunya kayak bangkai,” tambah Arum seraya memencet hidung seraya mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah.

“Eh ... kenapa kalian bilang gitu sih, kasihan kan Bunganya jadi malu,” sindir Fani.

Saman tampak bingung dengan apa yang dikatakan oleh teman-temanku.

“Kami pinjam Bunga dulu, boleh, ya,” pinta Arum pada Saman.

Arum dan Dewi lantas mengajak Bunga untuk turun dari panggung.

Aku tak tahu apa yang sedang mereka rencanakan terhadap wanita itu. Sedangkan Fifi, dia mendekati Mesi dan membisikkan sesuatu di telinganya.

“Kapan-kapan aku akan ceritakan semuanya. Sementara pesanku hati-hati,” ucap Fifi sebelum meninggalkan Mesi.

Aku dan Fani pun mengikuti Fifi menyusul mereka dengan menggandeng Mahreen. Namun, belum kami menghampiri mereka. Fifi memintaku untuk menitipkan Mahreen pada Fani. Fani pun membawa putriku itu mengambil makanan.

Aku dan Fifi lantas menghampiri Bunga dan kedua sahabat kami yang berdiri di sudut ruangan.

“Kamu jauhi Saman dengan suka rela atau kami bongkar kebobrokanmu,” ancam Dewi.

“Bukan urusan kalian juga. Suka-suka aku dong mau jalan sama siapa! Lagian aku cantik, seksi, masih muda juga. Enggak seperti kalian yang gendats. Apalagi ni penampilan.” Bunga memegang rambut Arum. “Kampungan banget.”

“Eh, ini tas mahal, ya.” Arum memegang tas yang dibawa Bunga.

“Mahal si, tapi sayang.” Dewi menggelengkan kepala. “Hasil memoroti duit suami orang.”
Kami pun tertawa terkekeh mendengarnya.

“Bunga, bagaimana kabarnya Aan? Apa dia masih sering bawa kamu shopping pakai mobil? Biar enggak kepanasan! Masak cantik-cantik gini, pakai motor. Enggak level banget,” goda Fifi.

“Mana bisa Shopping! Uang aja enggak punya. Kalau mobil, itu kan mobil milikku. Najis, kalau dinaiki sama dia,” jawabku.

Bunga tampak kesal dengan kami.
“Kalian lagi ngapain?” Tanpa di sadari Saman menghampiri kami.

Arum menjawab pertanyaan Saman dengan mengatakan kami bernostalgia mengenang masa lalu kami.

“Kalian tunggu di sini dulu, ya. Aku ambilkan minum dulu, kebetulan aku juga haus,” ucap Fifi.

Fifi mengajak Dewi untuk mengambil minuman.

Tak berselang lama mereka kembali dengan dua minuman di tangan. Satu diberikan pada Saman, satu lagi untuk Bunga.

Ketika memberikan minuman berwarna hitam  pada Bunga. Fifi dan Dewi tersenyum entah. Sepertinya ada sesuatu yang sedang mereka rencanakan.

Aku sempat protes pada mereka karena tidak mengambilkan untukku juga.

“Ambil sendiri sana. Bebas pilih tuh.” Dewi menunjuk meja yang masih penuh dengan minuman.

Saman lantas meminta Bunga untuk meminumnya.

Ragu, Bunga pun meminumnya sekali tenggak.

Berselang lama wanita itu menyemburkan air yang tadi diminumnya hingga mengenai tubuh Saman.

Bunga tampak kepedasan. Sedangkan Saman sibuk membersihkan kemejanya. Saman pun akhirnya memilih ke toilet untuk membersihkan diri.

Bunga lantas berlari ke meja yang berisi penuh minuman dan menenggak dua gelas minuman sekaligus.
Melihatnya Fifi mendekati Bunga. “Ups, sorry.” Fifi menumpahkan minuman pada wanita itu.

Kesal akhirnya Bunga pun pergi meninggalkan resepsi pernikahan.

“Di mana Bunga?" tanya Saman usai dari kamar mandi.

"Dia sudah pulang," jawab Fifi. Fifi lantas memberitahukan pada Saman bagaimana sifat asli Bunga. Dia juga menunjukkan foto wanita itu dengan kakak iparnya.

“Keterlaluan!” Saman tampak mengepalkan tangannya.

"Apa kamu mau membantu kami untuk memberi pelajaran pada wanita itu?" tanya Dewi.

Bersambung ....

Suamiku Mau Menikah Lagi, Aku Miskinkan Dia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang