Tempat Pembuangan

18.1K 862 9
                                    

Sebelum pergi aku masih bisa melihat Mas Aan mengacak rambutnya kasar. Biarlah, lebih baik aku berpisah dengan pria itu.

Mas Aan sudah dimabuk cinta. Di matanya hanya ada Bunga. Cuma Bunga yang selalu dianggap benar dan aku selalu salah di matanya.

Aku tak boleh menangis dan tetap semangat untuk menjalani hidup. Ada atau tiada dirinya, aku harus tetap bangkit.

“Bagaimana?” tanya teman-temanku ketika aku masuk ke dalam mobil.

Aku lantas menceritakan pada mereka kalau Mas Aan tidak mempercayai dan menyalahkanku yang merencanakan semuanya.

“Terus?” Fifi yang duduk di jok belakang bersandar di sandaran kursi.

Aku menceritakan pada kedua sahabatku, jika aku meminta Mas Aan untuk pergi dari rumah.

“Suami bodoh. Bisa-bisanya dia terperdaya oleh Bunga,” ucap Fifi.

“Aku setuju dengan perkataan Fifi. Suamimu terlalu bodoh. Dia rela meninggalkan berlian hanya demi besi berkarat dalam comberan,” timpal Dewi.

“Kamu, ada-ada aja!” Aku mencubit lengan Dewi.

“Kamu itu keren, berani mengusir Aan. Dia memang seharusnya pergi dari rumahmu. Biar tahu rasa itu si Bunga. Dengan begitu, dia juga enggak akan bisa menguras harta kamu,” kata Dewi.

“Palingan sebentar lagi Bunga meninggalkan Aan karena pria itu sudah jatuh kismin. Pada akhirnya pria itu minta balikan lagi. Aku yakin itu. Lihat aja!” ujar Fifi.

“Kalau hal itu terjadi, apa kamu mau menerimanya lagi?” tanya Dewi.

“Entahlah.” Bila benar itu terjadi, aku tak tahu haruskah aku menerimanya kembali atau melepaskannya dengan ikhlas.

“Anterin aku pulang. Aku harus mengirim paket,” pintaku.

Dewi bertanya padaku, “Bener mau pulang ni? Enggak mau jalan-jalan dulu."

Aku meyakinkannya bahwa aku ingin pulang.

Selama dalam perjalanan Dewi dan Fifi menasihatiku agar tidak memikirkan atau bersedih karena Mas Aan.

Aku pun meyakinkan mereka, kalau aku tidak akan bersedih. Mereka bahkan menawari akan menemaniku mengirimkan paket ke kurir. Namun, aku menolaknya dan berdalih bisa melakukannya sendiri.

***

Setibanya di rumah. Aku mengeluarkan baju-baju Mas Aan dari dalam lemari. Melemparnya ke atas tempat tidur.

Aku lalu mengambil koper yang berada di atas lemari dan memasukkan baju Mas Aan ke dalamnya.

Ada sedikit rasa kecewa saat mengetahui pria itu lebih menomor satu kan Bunga ketimbang diriku.
Sedih, iya. Terluka pun juga. Akan tetapi, aku harus menyimpan segala kesedihan ini. Aku tidak mau terlihat lemah di hadapannya. Aku akan membuktikan aku bisa hidup bahagia tanpa Mas Aan.

Aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan membuktikan padanya bahwa wanita yang dipuja dan disanjungnya itu  bukan wanita baik-baik.

***

“Pergi dari rumah ini, Mas.”

Aku melemparkan koper berisi pakaian Mas Aan di hadapannya yang baru saja masuk ke dalam rumah.

“Dek, apa-apa ini?” Pria itu mencoba untuk mendekatiku. Aku mundur beberapa langkah.

“Aku mau kamu pergi dari rumah ini.” Aku menunjuk ke arah ke luar.

“Dek, biar aku jelaskan dulu.”

Aku menolak penjelasan apa pun darinya. Rasanya sudah cukup apa yang aku dengar tadi saat dia membela wanita itu.

“Aku istrimu. Kamu tidak hanya setahun, dua tahun hidup bersamaku, tapi  sepuluh tahun, Mas ... sepuluh tahun.” Aku mengacungkan sepuluh jariku. “Akan tetapi kamu lebih mempercayai wanita yang baru kamu dengar selama satu tahun.”

“Dek aku khilaf. Aku pusing dengan sikapmu yang tidak menyukai dia.” Masih saja pria itu membela Bunga.

“Pusing? Aku jelas tidak menyukai dia karena aku tidak mau dimadu. Satu lagi, aku semakin membencinya ketika aku tahu kalau Bunga itu seorang penipu.”

“Bunga itu wanita baik-baik. Aku tahu dia.”

“Sudah cukup, Mas!”

Aku sudah tidak ingin mendengar apa-apa lagi darinya. Aku berjalan ke arah koper yang berisi barang-barang Mas Aan, menariknya keluar.

“Dek, apa yang akan kamu lakukan?” Mas Aan berjalan mengikutiku.

“Aku mau kamu pergi dari sini, sekarang juga!” Aku  melemparkan koper ke halaman. “Pergi! Aku sudah tidak sudi melihatmu lagi!”

“Tapi, Dek, aku harus pergi ke mana. Izin kan aku untuk di sini, paling tidak sampai besok pagi,” pintanya.

Aku menolak dan memintanya pergi dari rumahku sekarang juga. Aku tidak peduli dia mau tinggal di mana.

Beberapa kali pria itu memohon untuk tetap tinggal, sebanyak itu aku menolak permintaannya.

“Terserah kamu, Mas. Kamu mau tinggal di jalanan, kolong jembatan, atau di rumah wanita itu pun aku tidak peduli.”

Aku berjalan meninggalkannya untuk masuk ke dalam rumah. Aku menutup pintu kasar. Hingga menimbulkan suara dentuman keras.

Aku lantas mengintip Mas Aan dari balik tirai.

Pria itu mengambil kopernya. Gontai Mas Aan berjalan menuju motonya dan meletakan koper di bagian. Dia pun pergi meninggalkan rumah.

Biarlah semua ini juga salahnya. Dia sudah berani membawa wanita lain pulang ke rumah. Jadi, dia harus menanggung sendiri akibatnya.

“Ma, Papa mau ke mana?” Tanpa sadar Mahreen sudah berdiri di sampingku.
Aku berjongkok untuk menjajarkan diri dengan Mahreen.

Aku terpaksa membohongi gadis cilik yang sedang membawa boneka beruang dengan mengatakan papanya akan pergi ke luar kota untuk sementara waktu.

“Mahreen hari ini ada PR enggak?” Aku mencoba mengalihkan pikirannya.

“Ada, Ma.” Mahreen, mengangguk seraya tersenyum.

“Ayo, Mama temani buat PR.” Aku menggandeng Mahreen menuju ke kamarnya.

Gadis kecil itu belum sepantasnya tahu, apa yang sedang menimpa kedua orang tuanya saat ini.

***

“Nyonya besar lagi sibuk main HP, ya?”

Seperti biasanya, hari itu aku sedang duduk sambil mengunggah barang dagangan ke WAG grup reseller dan sosial media miliku.

Aku sampai tak sadar jika ada orang yang masuk ke halaman rumah. Aku lantas memandang ke arah sumber suara. Ternyata Bunga sudah berdiri di halaman rumah.

Wanita dengan celana panjang berwarna hitam dengan atasan berwarna biru itu berjalan mendekatiku.

Dia membuka kaca matanya. Mengalihkan fungsinya menjadi bando.

“Mau apa kamu ke sini?” Aku memandangnya tak suka.

“Aku hanya mau melihat kondisimu usai ditinggalkan Mas Aan karena dia lebih memilihku.”

Aku begitu kaget mendengar perkataan Bunga.

“Ditinggalkan Mas Aan? Bukanya salah, ya. Justru aku yang mengusirnya dari rumah.” Aku memandang Bunga dengan tatapan mengejek.

“Iya sih, aku tahu itu. Kamu memintanya pergi karena Mas Aan lebih membelaku dari pada kamu, kan?”

Rasanya aku sudah tak tahan dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Ingin sekali aku mengikat bibirnya itu dengan karet agar tidak bisa berbicara sembarangan lagi. Rasanya aku ingin meneriakinya maling, biar dia dikeroyok warga.

“Kamu mau tahu kenapa Mas Aan lebih memilihku.”

Aku memandang wanita itu. “Aku tidak ingin tahu. Aku juga tidak peduli kalau dia mencintaimu. Mas Aan itu ibarat barang bekas dan kamu tempat pembuangannya.” Aku menunjuknya.

“Pas banget tuh!” Aku tertawa penuh kemenangan.

Bersambung ....

Suamiku Mau Menikah Lagi, Aku Miskinkan Dia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang