Delapan

3.7K 546 16
                                    

Aku melajukan mobil ke arah mal terdekat setelah berpisah dengan Mas Gallen di parkiran rumah sakit tadi. Aku masih harus mencari hadiah untuk ulang tahun Bunda besok. Meskipun sebenarnya Bunda hanya ingin aku bisa membawa pasangan di hari ulang tahunnya sebagai hadiah, tetap saja aku ingin memberikannya sesuatu.

Aku memilih sebuah gelang emas dari toko perhiasan terkenal sebagai hadiah untuk Bunda. Walaupun harganya cukup menguras tabunganku, tapi aku merasa puas. Setelah menyelesaikan pembayaran, aku segera memasukkan gelang hadiah itu ke dalam tas dan berjalan keluar dari toko.

Gerimis menyambutku saat sampai di pintu keluar utama mal, membuatku harus berlarian untuk mencapai mobil yang kuparkir di parkiran dekat pintu utama.

Ponselku berdering menampilkan deretan angka di layar. Tanpa menyimpan kontaknya pun aku tahu jika itu nomor ponsel Mas Galen karena aku sangat hapal. Ternyata dia masih menggunakan nomor ponsel yang sama sejak enam tahun yang lalu.

Aku meletakkan ponsel di kursi penumpang bersama dengan tasku, sengaja tidak menjawabnya dan memilih membiarkan panggilan itu berhenti sendiri. Aku tidak ada kewajiban untuk mengabari Mas Galen dimana aku berada saat ini atau apa yang sedang aku lakukan, karena toh kami sudah bukan pasangan. Tapi ... yah, sebagai ucapan terima kasih aku akan mengabarinya begitu sampai di rumah nanti.

Aku berkendara selama tiga puluh menit untuk sampai ke rumah. Terlihat SUV yang biasa digunakan Ayah sudah berada di garasi yang artinya kedua orang tuaku sudah pulang dari acara arisan di rumah Tante Mel.

"Dari mana, La?" tanya Ayah begitu aku memasuki ruang tengah. Aku berjalan mendekat dan memilih duduk di samping Ayah yang sedang menonton berita di TV, sementara Bunda yang terlihat sibuk di dapur hanya menoleh sebentar melihat kedatanganku.

"Dari rumah sakit jenguk rekan kerja. Terus ke mal sebentar beliin kado Bunda."

Ayah mengangguk-angguk seraya menarikku mendekat. Aku merebahkan kepala di bahu Ayah yang walau sudah tidak sekokoh dulu, tapi selalu membuatku merasa aman dan nyaman. Jika sudah seperti ini, aku tahu sebentar lagi Ayah pasti akan mulai bicara serius padaku. Gestur memeluk dan mengusap-usap rambutku ini selalu dilakukannya sejak dulu ketika ingin menegurku yang berbuat salah, tapi tidak ingin aku merasa dimarahi.

"Ada yang mau kamu omongin sama Ayah?"

Aku terdiam sesaat sebelum akhirnya membuka suara. "Aku salah karena udah marah dan teriak di depan Tante Mel tadi. Aku udah nggak sopan dan kurang ajar."

Ayah mendesah pelan. Menepuk-nepuk pelan lenganku yang berada dalam rangkulannya. "Ayah tau sikap Tante Mel itu kadang memang mengganggu. Dia terlalu cerewet dan kadang sok ngatur banget. Tapi bukan berarti kamu boleh bersikap kurang ajar seperti tadi." Aku hanya mengangguk lemah. "Ayah nggak ngomong begini karena ngebelain Tante Mel, bukan begitu. Ayah hanya nggak mau anak gadis yang Ayah didik dan besarkan dengan menanamkan norma-norma baik sejak kecil berakhir menjadi sosok pemarah yang nggak bisa mengendalikan emosinya.

"Kamu boleh marah. Boleh nggak suka sama Tante Mel, tapi tolong tetap hargai dia sebagai saudara Ayah, Tante kamu, orang yang jauh lebih tua dari kamu. Nggak elok rasanya melihat sikap kamu tadi siang, teriak-teriak udah kayak di hutan. Seakan-akan Ayah nggak pernah ngajarin sopan santun." Aku semakin merapatkan tubuh pada Ayah dengan melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Tanpa sadar air mataku sudah kembali menetes. Merasa sangat bersalah.

"Maaf, Yah," ucapku seraya menghapus cairan bening yang mengalir di pipi. Ayah hanya menghela napas panjang kemudian mengecup keningku lama.

"Nanti minta maaf sama Tante Mel, ya?" Aku mengangguk. "Biarpun mungkin kamu nggak salah, tapi nggak ada salahnya duluan minta maaf. Nggak ada ruginya. Itu malah menunjukkan kalau kamu memiliki hati yang luas. Lagian etikanya memang begitu, yang muda mau nggak mau harus nurunin egonya biar semua kembali damai."

Wedding ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang