Sembilan

3.6K 538 28
                                    

Setelah selesai menyantap semua hidangan yang ada di atas meja makan, kami pindah ke ruang keluarga untuk melanjutkan obrolan dengan lebih santai. Seperti yang sudah kuduga, Bunda memaksa Mas Galen untuk tinggal lebih lama dan berbincang seperti saat dulu dia masih menjadi pacarku. Aku sebenarnya ingin menghentikan aksi Bunda ini karena Mas Galen terlihat beberapa kali melirikku. Entah dia benar-benar punya janji lain atau sekadar tidak ingin aku yang lebih dulu mengusirnya pergi.

Namun tatapan mata Ayah yang menyiratkan permohonan membuatku akhirnya mengalah dan memilih membiarkan saja Bunda dan keinginannya. Lagi pula hari ini adalah hari ulang tahun Bunda. Jadi ya sudahlah, aku akan mengalah.

"Jadi, Galen sampe kapan di Palembang? Tante kemarin itu sempat ketemu Bu Rahayu di acara nikahan. Ngobrol lama juga di sana. Tapi nggak bilang kalo kamu mau pulang."

"Iya, Ibu cerita, Tante," jawab Mas Galen dengan senyum manis. Senyum yang bisa memikat para ibu-ibu untuk segera menjadikannya calon menantu. "Galen di sini paling lama sebulan. Setelah itu balik lagi ke Jakarta. Paling nanti datang lagi untuk ngecek kalau pengerjaan depo Daymart di Bengkulu sudah 80% selesai."

Bunda hanya mengangguk-angguk. Selanjutnya obrolan itu berlangsung semakin seru. Ayah dan Bunda bergantian mengajak Mas Galen bicara mengenai kegiatannya selama ini, pekerjaannya hingga urusan percintaannya. Dan sudah tentu pertanyaan terakhir itu Bunda yang menanyakan. Lengkap dengan raut kepo yang terlihat jelas.

"Belum Tante. Galen masih sibuk kerja aja sekarang. Yah, urusan asmara sambil jalan ajalah." Dia terkekeh.

Bunda mengangguk-angguk dengan tampang sok bijak kemudian lanjut bicara. "Tapi kalo udah ada calon jangan lama-lama pacarannya. Langsung di resmiin aja. Pacaran setelah menikah malah lebih enak," tutur Bunda seraya melirikku sekilas sementara Mas Galen kembali tertawa.

Tak lama kemudian Mas Galen pamit pulang. Ayah memintaku mengantar Mas Galen ke depan. Aku menurutinya dan ikut melangkah di belakang pria itu.

"Kamu nggak kasih kabar dari kemarin, La," kata Mas Galen sambil terus melangkahkan kakinya melewati ruang tamu.

"Lupa," sahutku cepat. "Lagian ... aku juga udah nggak mesti ngabarin kamu kemana pun aku pergi kan, Mas? Kita udah lama pisah loh." Dia mengembuskan napas berat seraya mengangguk-anggukkan kepala. Tampak pasrah dengan jawabanku yang memang benar adanya.

Begitu sampai di dekat pagar yang terbuka, Mas Galen berbalik dan menatapku lama. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu namun tak ada satu kata pun yang terucap dari bibirnya.

"Kenapa, Mas?" tanyaku akhirnya. Penasaran.

"Besok pagi Mas ke Bengkulu sama Pak Darman." Aku hanya mengangguk sambil menatapnya tak mengerti. "Kamu ..." Dia diam sebentar, kemudian melanjutkan. "Mas, masih sayang kamu, La," ucapnya lirih sementara aku hanya memelotot.

"Kamu tau aku saat ini punya pacar, Mas." Dia mengangguk.

"Mas tau." Kedua alisku terangkat naik saat Mas Galen tersenyum menatapku. "Berapa kali kamu ganti pacar setelah kita putus, siapa aja pacar kamu dan berapa lama kalian pacaran Mas juga tau kok."

"Mas!" Aku mendelik kaget. "Tau darimana kamu?" Dia mengedik acuh.

"Kamu nggak berpikir Mas benar-benar berhenti berkomunikasi sama keluarga kamu walaupun kita putus, kan?"Aku terdiam mendengar jawabannya. Sikap tubuhnya yang sangat santai saat ini membuatku tertegun. "Hubungan kita memang berakhir, tapi bukan berarti silaturahmi dengan keluarga kamu yang sudah Mas anggap seperti keluarga sendiri juga harus berhenti, kan?" Mas Galen menarik napas panjang sebelum kembali bersuara.

"Mas masih sering teleponan sama Ayah dan Bunda kamu sekadar ngobrol tanya kabar. Pernah juga waktu pulang hari lebaran, Mas mampir ke Tante Mel. Sama Dila juga Mas masih sering chating." Dia mengedikkan bahu dengan tenang sebelum menatapku serius. "Sebenarnya ini nggak etis ditanyakan sambil berdiri, tapi Mas nggak ingin menahan lebih lama lagi."

Wedding ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang