Dua Belas

3.6K 501 15
                                    

"Bu, apa masih ada yang harus saya kerjakan?" Suara Dani yang tiba-tiba berdiri di depan mejaku, menyentakku dari lamunan. Dia sudah menyandang ransel di punggungnya, siap untuk pulang. Aku melirik pada jam yang menempel di dinding sebelah kiri dari tempatku saat ini yang menunjukkan pukul setengah enam sore. Sudah lewat setengah jam dari waktu pulang.

"Oh, nggak ada, Dan. Kamu sama yang lain boleh pulang duluan." Tiga stafku yang lain sudah berdiri di meja masing-masing menunggu Dani menyampaikan instruksiku sepertinya.

Dani kemudian mengangguk dan pamit pulang begitu juga dengan tiga rekannya yang lain. Aku merapikan meja kerja sejenak kemudian melangkah menuju toilet yang ada di dekat lobi depan. Aku masuk ke salah satu bilik yang terbuka dan segera menuntaskan kebutuhanku di sana.

Aku keluar begitu selesai merapikan kembali pakaianku. Memutar keran yang ada di wastafel untuk mencuci tangan sambil merapikan kembali anak rambut yang keluar dari kunciran. Saat aku sedang mengelap tangan dengan tisu yang ada di sana, pintu terbuka menampilkan sosok Danita memasuki toilet. Gadis itu melihatku sejenak kemudian memutar bola matanya dengan raut yang jelas terlihat tidak suka.

Aku yang tidak ingin berurusan lagi dengannya memilih tidak mengacuhkan dan meneruskan kegiatanku membersihkan tangan dengan santai. Sampai kemudian suara ketus Danita terdengar dan membuatku mau tak mau mengalihkan pandangan padanya yang menatapku penuh permusuhan.

"Apa hebatnya sih kamu sampai Harsa segitu stresnya buat mutusin hubungan kalian?" Danita mengamatiku dari atas ke bawah kemudian berdecih. Sepertinya setelah aku memergokinya dan Harsa Kamis lalu, Danita tak lagi canggung untuk memperlihatkan ketidaksukaannya padaku. "Nggak seharusnya Harsa menghabiskan waktu sama cewek yang demanding abis kayak kamu. Taunya cuma nuntut dan terus nuntut tanpa mau tau apa yang sebenarnya terjadi sama pacarnya."

"Ya, ya, ya ... terserah aja sih. Mau kamu bilang aku cewek banyak mau, banyak nuntut juga terserah. Aku nggak butuh penilaian dari kamu untuk apapun yang terjadi di hidupku," sahutku tak peduli. "Yang pasti aku nggak pernah menggunakan tubuhku hanya untuk menarik perhatian Harsa."

Danita menatapku dengan mata menyipit. Wajahnya terlihat tak terima dengan ucapanku. Ya, aku sudah tahu siapa Danita. Karena penasaran kemarin aku menelepon salah seorang teman satu angkatan saat MT empat tahun lalu. Dia mengenal Danita dan Harsa karena temanku itu juga bekerja di divisi marketing di kantor pusat sama seperti Harsa dan Danita sebelum di mutasi ke Palembang.

Ternyata benar Harsa memang sempat menjalin hubungan dengan Danita selama enam bulan. Temanku itu tidak menjelasakan detail hubungan keduanya, tapi aku bisa menangkap hubungan seperti apa yang pernah terjalin di antara mereka.

"Nggak usah bangga," sahut Danita ketus. "Toh pada akhirnya Harsa juga mutusin kamu. Nyatanya kamu juga nggak lebih baik dari aku atau perempuan lain yang pernah dia kencani, nggak ada satu pun yang bisa meyakinkan dia untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius. Kita sama aja."

Danita melipat kedua tangannya di bawah dada sambil menatapku dan tersenyum mengejek. "Tapi kamu beruntung, belum juga resmi putus sama Harsa udah bisa dapat laki-laki lain yang posisinya lebih dari Harsa." Aku menggigit bibir dengan kedua tangan terkepal erat. Danita pasti sedang membicarakan Mas Galen. "OGM itu tangkapan yang bagus, sih." Sudut bibirnya terangkat naik membentuk seringai. "Tapi lain kali kalo mau mesra-mesraan, ya, jangan di parkiran juga dong. Masa sekelas OGM nggak bisa sewa hotel."

Tawa Danita membuatku benar-benar geram. "Jadi kamu yang nyebarin foto-foto itu?" Mataku menyorotnya tajam sementara Danita hanya mengedik santai.

"Ya," jawabnya. "Kebetulan aku dari besuk juga, dan ... ketemu pemandangan seru. Sayang kalo nggak diabadikan." Dia terkikik geli membuatku benar-benar naik pitam.

Wedding ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang