Tiga Belas

3.3K 474 11
                                    

Nungguin gak?

Hehehe

Marii ramaikan votenya

💋

Selesai mandi kilat, aku segera memakai kaus abu-abu lengan panjang dan celana training putih. Menyapu wajahku dengan bedak bayi kemudian berjalan keluar sambil mengikat rambut. Harsa masih berada di tempatnya saat aku kembali duduk di ruang tamu.

"Apa yang mau diomongin, Sa?" tanyaku. Harsa yang sedang memperhatikan foto ulang tahunku yang kesepuluh yang ada di atas meja kecil di sampingnya menoleh. Dia tersenyum seraya menunjuk bingkai foto.

"Kamu lucu banget di foto itu, La," ucapnya geli. Aku hanya mendengkus pelan karena di foto itu sebenarnya aku sedang cemberut, tidak terlihat lucu sama sekali menurutku.

"Itu semua kerjaan, Bunda. Padahal aku udah nggak mau lagi rayain ulang tahun," sahutku sambil menyandarkan tubuh di sofa. "Waktu itu aku udah ngerasa gede, sedangkan acara ulang tahun menurutku buat anak kecil, jadi aku malu. Tapi Bunda ngotot, ya udah jadi begitulah hasil fotonya."

Harsa mengangguk-angguk masih dengan senyum geli menghiasi wajahnya. Tak lama kemudian wajahnya kembali serius saat beralih menatapku. "Emm ... kita bicara di luar aja gimana?"

Sebenarnya aku malas jika harus pergi lagi, tapi mungkin Harsa merasa tidak nyaman jika harus membicarakan sesuatu yang pribadi di sini. "Ke kafe yang di depan komplek aja, ya?" ajakku. Harsa mengangguk setuju.

Bunda mengantar kami hingga ke depan pintu. Harsa menyalami Bunda dan meminta izin untuk membawaku keluar sebentar. Bunda tersenyum menatap Harsa, memberikan izin sambil menepuk pundaknya hangat. Kami berjalan beriringan menuju mobil Harsa yang terparkir di luar.

Begitu sampai di kafe, Harsa memilih tempat paling ujung di dekat jendela besar yang cukup jauh dari keramaian. Setelah membiarkan pelayan yang mencatat pesanan kami pergi, aku tidak bisa lagi menahan rasa penasaran yang sudah memenuhi kepalaku sejak melihat Harsa muncul di rumah.

Maka dari itu aku segera bersuara, "Jadi ... hal penting apa yang mau kamu bicarakan?" tanyaku tak sabar sementara Harsa masih bungkam di tempatnya sambil menatapku. "Oh, maaf, Sa, harusnya aku nanyain kabar keluarga kamu dulu, ya. Mama kamu gimana kabarnya?" Harsa masih diam sebelum akhirnya menarik napas panjang dan bersuara lirih.

"Mamaku baik. Lebih baik dari sebelum-sebelumnya."

Aku hanya menganggukkan kepala, mencoba sabar menunggu Harsa sampai pada ke inti kedatangannya malam ini.

"Aku ... aku nggak tahu apa ini masih penting untuk aku sampaikan sama kamu, tapi aku berharap semoga kamu bisa mengerti." Harsa kembali menarik napas panjang sambil mengusap wajahnya berulang kali. Kemudian menyesap pelan jus semangka yang baru saja diantarkan pelayan. Wajah Harsa terlihat keruh dan penuh beban. Entah apa yang menjadi penyebabnya.

"Memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita adalah hal paling berat yang pernah aku lakukan." Harsa menjeda kalimatnya untuk menatapku. Dari tatapannya aku tahu jika dia bersungguh-sungguh. "Nggak pernah terpikirkan sama sekali pada akhirnya aku harus mengambil keputusan itu. Apalagi melihat kamu saat ini rasanya aku ingin sekali egois dan melupakan kekacauan yang ada untuk terus bisa bersama kamu. Tapi aku tahu aku nggak mungkin bisa melakukannya."

Aku masih tidak mengerti apa yang Harsa maksud. Jika berpisah dariku adalah keputusan yang berat lantas mengapa dia melakukannya?

"Mungkin yang kamu rasakan selama ini aku hanyalah seorang laki-laki cemen, pengecut dan nggak pernah benar-benar serius sama kamu. Tapi satu hal yang harus kamu tau, La, kamu adalah satu-satunya wanita yang terlintas di kepalaku saat ada yang membicarakan soal pernikahan. Kamu adalah wanita terbaik yang pernah hadir dalam kehidupanku."

Wedding ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang