Prolog

11K 746 14
                                    

Haloo semuanya akhirnya aku lanjut lagi cerita ini setelah sekian purnama diabaikan wkwkwkwk

Cerita ini aku ikutkan  di event nulis bareng bersama penulis2 lain dari Batik Publisher  BukuBatik yg semuanya serentak publish hari ini di tgl 14 Februari dengan tema cerita CLBK

Dan ... kalian bisa menemukan cerita2 kece lainnya dengan search #membatik di kolom pencarian wattpad atau yg punya akun facebook bisa ke grupnya aksara batik...

Event ini akan selesai di akhir bulan maret, jadi ... dukung aku terus ya biar ide ceritanya lancar jaya dan cerita ini bisa tamat tepat waktu

Enjoy Reading ^.^

==================================



"Bukannya nggak mau nikah, Mas, tapi aku baru selesai wisuda satu bulan yang lalu. Kamu tolong ngertiin, dong." Aku yang sudah bosan memberikan pengertian pada lelaki yang sedang menatapku dengan raut keras itu akhirnya memilih diam. Dia masih seperti itu selama beberapa saat sampai akhirnya aku kembali mendengar suaranya.

"Kamu sendiri yang bilang mau diajak menikah kalau sudah lulus kuliah. Kamu juga yang bilang kalau kamu capek nyari kerja nggak dapet-dapet terus milih nikah aja. Sekarang begitu aku ajak nikah kamu nggak mau?"

Aku menghela napas panjang. Pembicaraan ini akan terus berputar-putar tanpa akhir jika kami masih sama-sama ngotot dengan pendapat masing-masing. "Ya maksudku nggak sekarang juga, Mas. Aku baru aja dapet panggilan interview kerja. Gimana kalau aku diterima terus persyaratannya mengharuskan untuk nggak menikah dulu selama jangka waktu tertentu?"

"Ya udah nggak usah diterima."

Aku menganga dengan mata melebar. Enteng sekali jawabannya. "Kamu kok ngeselin banget, sih? Egois! Kenapa sih mau nikah cepet-cepet? Apa yang mau kamu kejar? Apa udah nggak tahan pengin nidurin aku?!" Aku tersentak mendengar ucapanku sendiri begitu juga dia. Astaga, kenapa mulutku bisa mengucapkan kata-kata seperti tadi? Aku mengedipkan mata beberapa kali sebelum akhirnya membuang muka ke arah samping. Wajah laki-laki di depanku ini sudah merah padam. Mati aku!

"Jadi, intinya kamu mau atau enggak kita menikah? tanyanya dengan suara rendah yang terdengar mengancam di telingaku. Aku menelan ludah gugup. "Tenang aja, kita nggak menikah besok pagi. Aku kasih kamu waktu enam bulan untuk menikmati rasanya punya pekerjaan sambil kita mempersiapkan semuanya."

"Enam bulan?" Dia mengangguk santai kemudian menyesap pelan kopi hitamnya sebelum tatapannya kembali memakuku. "Aku mau nikah, tapi kasih waktu seenggaknya dua atau tiga tahun lah, Mas. Aku bener-bener pengin ngerasain dunia kerja, jadi wanita karir dulu, punya pencapaian yang bisa aku banggakan sebelum akhirnya menikah. Kamu sih enak, di usiamu yang sekarang kamu udah punya posisi yang bagus di kantor."

"Jadi kamu nggak mau menikah?"

Aku mendengkus pelan sebelum menatapnya dengan wajah ditekuk. "Mau, tapi nggak dalam waktu dekat. Kasih aku waktu untuk menikmati dunia kerja sambil kita nyiapin semuanya. Nyiapin mental, materi, semuanya lah." Aku menghela napas yang terasa berat. Percakapan ini rasanya menguras habis tenagaku. "Dua tahun lagi rasanya aku udah siap, umurku juga ideal untuk menikah."

"Enam bulan lagi atau nggak ada pernikahan sama sekali."

Aku menatapnya dengan kening berkerut. "Mas!"

"Ya atau nggak?"

"Ya, tapi aku mau dua tahun lagi!"

"Itu artinya nggak."

Aku mengempaskan punggungku ke sandaran kursi dengan mulut terbuka kehabisan kata. "Kamu egois banget tahu, Mas," ucapku lirih. Mataku tiba-tiba terasa panas. Sebentar lagi pasti aku akan menangis. Tidak, aku tidak akan meneteskan air mata di hadapannya. Mencoba menenangkan perasaanku yang kacau balau saat ini, aku menarik dan mengembuskan napas beberapa kali sebelum mengucapkan kalimat terakhirku padanya dengan suara serak.

"Aku sayang sama kamu, Mas. Aku mau menikah sama kamu...," Matanya menatapku dengan awas, tapi senyum yang coba ditahannya masih bisa kulihat sekilas. Dia merasa menang sepertinya. Aku meringis menggelengkan kepala. "tapi tetap dua tahun lagi. Kalau kamu ternyata memang nggak mau menunggu, sepertinya kita sudah mendapatkan keputusan dari pembicaraan panjang tanpa akhir ini." Aku menghela napas yang terasa berat. "Mungkin kita memang nggak ditakdirkan untuk satu sama lain." Aku melepaskan cincin emas putih yang dihiasi berlian kecil di tengahnya dari jari manis tangan kiriku. Meletakkannya ke tengah-tengah meja. "Aku kembalikan. Kita sampai di sini saja."

Mendorong kursi ke belakang, aku bangkit berdiri dan menatap matanya yang terlihat begitu terkejut dengan apa yang baru saja kulakukan. Kami berpandangan beberapa saat sebelum akhirnya aku memalingkan wajah menghindarinya melihat cairan bening yang mulai membasahi pipiku. "Terima kasih untuk semuanya, Mas."

Aku melangkah cepat, setengah berlari keluar dari kafe yang menjadi favorit kami untuk menghabiskan waktu dan menyetop begitu saja satu taksi yang melintas. Setelah menyebutkan alamatku pada sopir yang mengemudi dengan santai membelah jalanan yang cukup padat di akhir pekan ini, air mata yang kutahan sejak tadi akhirnya mengalir deras.

Aku terisak menatap pada jari manis tangan kiriku yang dua tahun terakhir dihiasi cincin pertunangan kami, sekarang kosong. Menyisakan bekas melingkar yang berwarna sedikit lebih terang dari warna kulitku. Aku menangis dalam diam, dengan pikiran berkelana pada saat-saat indah yang pernah kami lalui bersama. Hatiku berdenyut perih mengingatnya.

Hari ini aku Nirmala Kirania Pramudya, resmi kembali sendiri.

Wedding ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang