Dua Puluh

3.3K 498 22
                                    

Lama ya?

:"))

Yok lah di vote... bentar lagi mau aku tamatin 2 atau 3 bab lagi...

*

Sambil menikmati makanan kami banyak mengobrol. Sebenarnya Santi teman mengobrol yang menyenangkan. Dia tipikal orang yang akan dengan mudah masuk dalam pergaulan manapun karena pengetahuannya yang luas juga gaya bicaranya yang dapat mencairkan suasana. Sangat supel dan luwes. Dia juga tidak lupa untuk mengajakku masuk ke dalam percakapan dengan menanyakan pendapat dan reaksiku tentang apa yang diceritakannya.

Namun entah mengapa aku masih merasa sedikit tidak nyaman. Mungkin karena suara tawa Santi yang terdengar terlalu lepas? Atau karena gerakan tubuhnya saat bercerita yang tanpa sadar terlalu mepet dengan Mas Galen? Atau justru karena tangannya yang beberapa kali menepuk ringan bahu juga tangan Mas Galen yang membuatku tidak suka? Entahlah yang pasti sekarang aku hanya bisa menggigit bibir untuk meredam perasaan tak senang.

Begitu kami selesai makan dan akan pulang, aku yang memang mengendarai mobil sendiri menuju restoran ini, hanya bisa menggenggam erat tali tas yang tersampir di bahu dengan perasaan bergejolak saat Mas Galen pamit untuk mengantarkan Santi lebih dulu ke hotel. Dia berpesan agar aku berhati-hati menyetir dan tidak ngebut. Aku hanya bisa mengangguk sebagai balasan dengan senyum yang terasa getir. Apalagi saat melihat Mas Galen berlalu menuju mobilnya bersama Santi sementara aku menuju mobilku sendirian.

Aku menyetir dengan kecepatan sedang sambil sesekali memandangi ponsel yang tidak juga menunjukkan tanda-tanda ada pesan baru. Miris, padahal dulu saat aku berkeras tidak mau diantar dan memilih pulang sendiri, Mas Galen akan begitu cerewet dan terus menerus mengirimiku pesan untuk menanyakan posisiku dan mengingatkan untuk mengabarinya jika sudah sampai di rumah. Namun sekarang benda pipih yang sengaja kuletakkan di atas dashboard itu memilih bungkam.

Mendadak hatiku mendung saat menyadari Mas Galen tidak lagi memaksa untuk mengantarku pulang atau mengiringi mobilku sampai ke komplek tempat tinggalku seperti yang biasa dia lakukan selama ini.

Begitu mobilku memasuki halaman rumah, aku meraih ponsel yang masih bergeming di atas dashboard dan memilih menon-aktifkannya. Entahlah, aku hanya merasa tidak sanggup jika pada akhirnya pesan ataupun telepon yang kuharapkan dari Mas Galen nyatanya benar-benar tidak ada. Aku pasti akan terluka mengingat perubahan sikapnya itu.

"Udah makan, La?" tanya Bunda begitu aku memasuki ruang tamu. Aku menyalami ayah yang sedang asyik membaca surat kabar lalu mendekati bunda dan meraih tangannya.

"Udah, Bun. Tadi makan bareng Mas Galen. Dia lagi di Palembang."

"Oh, ya?" tanya Bunda antusias. "Bunda pikir minggu depan."

"Bunda tahu Mas Galen mau ke Palembang?" tanyaku.

"Tahu. Galen waktu itu ada bilang, tapi Bunda pikir masih nanti."

Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Bunda. "Bunda sama Mas Galen masih sering kontak, ya?"

Bunda mengangguk ragu. "Nggak apa-apa kan, La? Cuma sekadar tanya kabar aja kok."

Aku mengangguk dengan senyum tipis tersungging di bibir, mengusap pelan lengan bunda. "Nggak apa-apa, masa iya aku larang-larang Mas Galen mau silaturahmi sama Ayah dan Bunda."

Setelah Bunda selesai bertanya-tanya tentang kedatangan Mas Galen, aku memilih untuk segera masuk ke kamar. Membicarakan pria itu di saat perasaanku sedang tidak menentu hanya akan menambah luka. Jadi lebih baik aku menghindari pembahasan apa pun mengenai Mas Galen sampai aku mendapatkan kejelasan.

Wedding ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang