Sepuluh

3.7K 540 36
                                    

Udah siap baca?

Jangan lupa votenya ya ...

***

Tubuhku menegang seketika mendengar ucapan Harsa. Ini sama sekali bukan hal yang aku sangka akan dia katakan di hari pertama kami bertemu setelah kepulangannya dari luar kota.

"Maksudnya apa, Sa?" tanyaku bingung. Kupikir pesan yang dikirim Harsa saat akan berangkat ke Pagaralam kemarin, mengajakku untuk bertemu setelah dia pulang, adalah untuk gencatan senjata. Memperbaiki hubungan kami yang merenggang, bukannya putus. "Kamu denger gosip tentang aku, ya? Foto aku sama Mas Galen? Sumpah, Sa, itu cuma salah paham. Nggak ada apa-apa antara aku sama Mas Galen."

Harsa menggeleng pelan. Dia menatapku dengan senyum sendu di wajahnya. Terlihat seperti menanggung beban berat. Ada apa?

"Aku tau, La," sahut Harsa dengan kepala tertunduk. "Aku tau kamu nggak begitu ...."

"Ya terus, kenapa tiba-tiba mau putus?" Harsa mengembuskan napas panjang sebelum kembali mendongak menatapku. Bibirnya sempat terbuka beberapa kali, tapi tidak ada satu kalimat pun yang terucap membuatku bertambah kesal. Aku bangkit dari kursi dan menatap Harsa dengan masih dikuasai emosi. "Aku akan pulang sendiri ke kantor, sisa waktu istirahat ini bisa kamu gunain untuk kembali berpikir."

"Nggak. Kita balik ke kantor bareng," sambarnya cepat.

Aku menggeleng tegas. "Aku mau balik ke kantor sendiri. Aku lagi emosi banget sama kamu sekarang dan aku nggak mau kita malah jadi berantem nggak jelas."  Harsa kembali bungkam sambil menatapku sedih.

"Aku nggak pernah mau berantem sama kamu, La."

"Ya, makanya jangan ngomong sembarangan dong!" Setelah mengemasi dompet dan ponselku, aku segera melangkah keluar meninggalkan Harsa yang kembali menunduk. Aku berjalan menuju ke arah kerumunan tukang ojek di sisi jalan. Meminta salah seorang dari mereka mengantarku kembali ke kantor.

Tidak kusangka perjumpaanku dan Harsa setelah beberapa hari tak bertemu malah berakhir seperti ini. Tadinya aku sempat berharap kami bisa melepas rindu dan berbicara dengan santai tentang hal-hal yang membuat kami bertengkar belum lama ini dan mencari solusi untuk kebaikan bersama. Namun sayang semuanya tak berjalan sesuai harapanku.

Sesampainya di kantor aku menyadari jika gosip yang beredar tentangku sepertinya belum sama sekali reda. Beberapa kali aku mendapati orang-orang yang berpapasan denganku berbisik-bisik sambil menatap dengan pandangan yang membuatku sangat tidak nyaman. Namun aku terus melangkah dan mencoba untuk tidak menghiraukannya. Walaupun sebenarnya aku ingin berbalik dan meneriaki mereka semua untuk mengurus urusan mereka sendiri daripada sok tahu dengan kisah cintaku.

"Tadi berangkat makan siang berdua, kok baliknya sendiri, ya?"

"Nah, itu ... berantem kayaknya. Pak Harsa pasti udah liat foto pacarnya sama si big bos. Mereka berantem terus nggak dianterin pulang, deh."

"Makanya jadi cewek jangan kecentilan. Nggak bersyukur banget dapet yang modelan Pak Harsa masih kurang aja."

"Heh! Gosip aja. Jam makan siang udah abis. Balik sana ke tempat masing-masing." Aku melirik sekilas pada Dani dan Desi yang baru saja mengusir kerumunan staf marketing dan finance di lorong menuju divisi mereka. Lima orang perempuan itu hanya memelototi Dani, tapi tidak membalas.

"Kebiasaan banget sih, ngurusin hidup orang lain, kayak hidupnya udah yang paling bener aja," gerutu Desi.

"Udah, udah ... kalian juga balik ke meja sekarang," perintahku. Dani dan Desi bertatapan beberapa saat sebelum kembali beralih padaku.

"Nggak usah dipikirin, Bu. Gosip murahan begitu nanti juga hilang sendiri," hibur Desi sambil melangkah di sampingku.

"Iya, Bu," timpal Dani. "Nanti saya coba minta bantuan temen-temen saya buat lacak siapa yang udah nyebarin foto itu. Kalo udah ketauan awas aja tuh orang," sungut Dani lagi.

Wedding ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang