Satu

6.3K 629 8
                                    

"La, jangan lupa nanti hari sabtu kita ada arisan keluarga di rumah Tante Mel, ya. Jangan skip lagi, nggak enak sama Tante Mel dan yang lain."

Aku yang baru saja menarik kursi untuk ikut sarapan hanya bisa mendesah pasrah mendengar ultimatum Bunda. Bukannya aku tidak mau bertemu dan berkumpul dengan semua sanak saudara Ayah, tapi ... jika kedatanganku hanya untuk ditanyai kapan aku akan menikah, atau kenapa Harsa belum juga melamarku, rasanya lebih baik aku tidak datang sama sekali.

Aku ingin menikah tentu saja. Bahkan targetku adalah aku harus sudah menikah tahun ini sebelum ulang tahunku yang kedua puluh delapan bulan Desember nanti. Itu artinya aku masih memiliki waktu sekitar sepuluh bulan lagi. Jadi alih-alih terus menerus ditanya dan didesak, aku sebenarnya lebih membutuhkan doa dan dukungan dari seluruh keluarga besar.

Siapa sih, yang tidak ingin menikah dan memiliki keluarga sendiri? Rasanya setiap orang yang memiliki kekasih setidaknya akan memikirkan itu.

Namun pernikahan bukan hanya perkara aku mau lantas besok aku sudah bisa langsung menikah, kan? Ada begitu banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum bisa melangkah ke arah sana. Dan salah satu masalah utamaku saat ini adalah kesiapan dari pasanganku.

"Iya, Bun. Aku dateng kok," sahutku malas-malasan. Aku memang akan tetap datang, tapi aku sudah berencana untuk mengungsi ke taman belakang rumah Tante Mel bersama Dila, salah satu sepupu yang paling dekat denganku.

"Coba Harsa diajak. Biar ngumpul bareng sepupu-sepupu kamu yang lain. Biar akrab."

Aku hanya bisa mengerucutkan bibir. Ini salah satu yang membuatku paling malas untuk datang ke acara arisan keluarga. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ucapan Bunda tadi karena hampir semua sepupuku yang sudah memiliki pasangan, pasti akan membawa kekasih mereka untuk diperkenalkan di acara arisan. Berbeda dengan semua kekasih sepupuku yang tampak nyaman dan mudah untuk berbincang akrab serta berbaur dengan yang lain, kekasihku terlihat jelas tidak suka berada di tengah-tengah keluarga besarku.

Pertama kalinya aku membawa Harsa untuk dikenalkan adalah saat kami baru jadian sekitar enam bulan. Waktu itu aku bilang kalau sudah memiliki kekasih, lalu semua orang memintaku untuk membawanya ke acara arisan keluarga untuk diperkenalkan. Dari awal Harsa sudah menolak sebenarnya, tapi aku terus memaksa dan merengek padanya. Berjanji jika dia tidak betah, dia boleh pulang kapan saja.

Dan benar saja, ketika aku membawanya untuk diperkenalkan pada yang lain, belum ada satu jam dia sudah berpamitan untuk pulang. Saat itu aku benar-benar malu dan sedih. Tapi mau bagaimana lagi, daripada dia semakin merasa tidak nyaman, terpaksa aku berbohong dengan mengatakan jika Harsa sudah memiliki janji lain.

"Nggak usahlah, Bun. Entar Tante Mel resek lagi nanya-nanya soal nikah. Aku kan malu, Bun, sama Harsa." Bunda hanya menghela napas pelan saat mendengar penolakanku. Menarik kursi yang ada di seberangku kemudian lanjut bicara.

"Oke, Bunda nggak akan maksa, tapi ... Bunda mau kamu coba pikirin ini. Kamu dan Harsa sudah jalan hampir dua tahun, kan?" Aku mengangguk pelan mencoba menebak arah bicara Bunda kali ini. "Selama dua tahun ini bisa dihitung pake sebelah jari lho, Harsa main ke sini ketemu Ayah sama Bunda." Aku meletakkan sendok dan menggeser piring yang masih tersisa separuh nasi goreng buatan Bunda. Rasanya aku sudah tidak bernafsu menghabiskannya. "Kalau dia nggak mau dateng ke acara keluarga besar karena nggak mau ribet ditanyain tentang nikah, Bunda masih maklum. Tapi kenapa sekadar main ke rumah, ketemu dan ngobrol santai sama orang tua pacarnya juga nggak mau?"

"Bun ...." Aku menyela ucapan Bunda, protes.

"Dia sebenernya serius apa nggak sama kamu, La, kok Bunda jadi ragu, ya?"

"Bun ... please jangan bahas itu sekarang. Aku udah mau berangkat kerja ini."

Bunda hanya mengedik pelan dengan senyum masam. Tangannya menangkup jari-jariku, mengelusnya pelan. "Jujur aja Bunda mulai mikirin apa yang Tante Mel bilang selama ini tentang Harsa. Kalau dia ... nggak benar-benar serius sama kamu." Aku hanya menundukkan kepala dengan perasaan campur aduk. Berharap Bunda segera berhenti menyecar tentang hubunganku dan Harsa. Demi Tuhan aku sudah hampir terlambat. "Ah, Bunda jadi kangen Gallen deh kalo gini. Gimana kabarnya sekarang, ya?"

Wedding ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang