Enam Belas

3.7K 504 13
                                    

Yuk mariiii di vote duluu yg banyakkk 😂

💋

"Mas ngapain ngikutin aku terus?" tanyaku dengan mata mendelik.

"Sewot amat, sih, Non," sahut Mas Galen lalu tertawa kecil. "Kamu mau pulang, Mas juga mau pulang. Kamu mau ke parkiran, Mas juga mau ke parkiran. Ya udah."

Aku hanya berdecak sambil mendekati tempat dimana mobilku terparkir.

"La ...."

Panggilan Mas Galen membuatku urung membuka pintu mobil. Aku berbalik menatapnya dengan kening berkerut. "Apa lagi?"

"Temenin Mas makan, yuk."

"Makan apa?" tanyaku penasaran.

"Pecel lele yang di Basuki Rahmat mau? Udah lama banget nggak kesana," ajaknya malu-malu.

Aku memalingkan wajah menahan tawa. Mas Galen terlihat lucu dengan wajah penuh harap seperti anak-anak itu. Tidak sesuai dengan tubuh besarnya. "Ya udah, ayo. Kebetulan aku juga lagi pengin pecel lele." Dan senyum lebar Mas Galen langsung tersaji dihadapanku begitu aku menyetujui ajakannya. 

Kami berangkat ke warung tenda yang menjadi langganan kami dulu saat masih bertunangan dengan mengendarai mobil masing-masing. Mas Galen sebenarnya ingin agar kami pergi dengan satu mobil saja, tapi karena aku tidak mau repot jika harus meninggalkan mobil di kantor dan berakhir dijemput Mas Galen besok, aku berkeras tidak mau.

"Kamu sekarang jadi tambah keras kepala, ya, La," decak Mas Galen saat kami sudah duduk di salah satu meja yang ada di sudut warung tenda tiga puluh menit kemudian. Aku hanya tertawa  pelan mendengar gerutuannya.

"Aku dari dulu juga begini, Mas."

"Kamu dulu nggak gini kok. Kamu dulu itu penurut, manis. Nggak galak dan keras kepala kayak sekarang," tambahnya.

Aku kembali tertawa, kemudian menyesap es jeruk yang baru saja diantarkan hingga tersisa setengah gelas. Aku haus sekali. "Aku baru nyadar setelah kita nggak lagi sama-sama. Aku itu bukannya nggak keras kepala, tapi ternyata kamu lebih keras kepala lagi dari aku. Dan juga sering banget maksain keinginan kamu. Kalo nggak ada yang ngalah di antara kita, bisa berantem terus setiap hari."

Mas Galen hanya terdiam dan menatapku lama. Kubiarkan saja dia dengan segala hal yang dipikirkannya karena saat ini pesananku sudah datang. Aku lapar, lebih baik mengisi perut dengan lembutnya daging ikan lele yang tersaji di depanku saat ini. 

Sepanjang menikmati makan malam itu, Mas Galen tidak lagi bersuara. Beberapa kali aku menangkap basah dirinya sedang menatap ke arahku, namun cepat-cepat mengalihkan pandangan saat aku balik menatapnya. Sampai akhirnya saat kami sama-sama sudah menyelesaikan makan, aku tak tahan untuk bertanya.

"Ada yang mau kamu omongin, Mas?" tanyaku. "Kamu ngeliatin aku terus kayak ada yang mau disampein, tapi dari tadi cuma diem aja."

Mas Galen masih bungkam untuk beberapa saat sebelum akhirnya bertanya dengan suara lirih. "Apa sebenarnya dulu kamu merasa nggak nyaman dengan semua sikap Mas, La? Apa Mas dulu terlalu sering memaksakan kehendak sama kamu?"

Aku menarik napas pelan sambil menimbang apa yang sepatutnya kuucapkan di bawah tatapan mata Mas Galen yang terlihat serius. Aku tidak ingin kata-kata yang nantinya terucap dari bibirku membuat suasana menjadi tidak nyaman. Hubungan kami saat ini nyatanya sudah lebih baik setelah bertahun-tahun saling menghindar. Jika aku sampai salah berucap, bisa jadi hubungan kami akan kembali dingin seperti saat pertama aku memutuskan pertunangan.

"Emm ... ya, nggak gitu juga," ucapku ragu sambil menggaruk belakang kepala. "Aku tau apa yang kamu lakukan dulu itu semata karena kamu sayang sama aku, karena kamu nggak mau aku kenapa-napa," ucapku hati-hati. "Aku nggak masalah, sih, tapi kadang aku memang merasa agak terkekang sama semua aturan kamu. Nggak boleh pergi sendiri, harus ngabarin kalo mau pergi kemana, sama siapa. Harus ini, harus itu, nggak boleh begini, nggak boleh begitu."

Wedding ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang