Empat Belas

3.6K 513 36
                                    

Harusnya cerita ini aku tamatkan di tgl 31 maret kemarin, tapi ternyata aku gak bisa :( padahal kalo fokus mah harusnya bisa...

dasar aku 😓

penyakit magerannya gak sembuh2 🤧



"Kamu memang gadis yang baik, La. Aku sangat beruntung bertemu kamu."

Aku terus menatap Harsa, memperhatikan wajahnya yang kembali sendu dengan saksama. Apa Harsa mau untuk kembali bersamaku?

"Dari awal aku tau kamu berbeda, tapi saat ini aku masih belum mampu untuk  berdiri di samping kamu tanpa terbayang semua kelakuan orang tuaku. Mungkin kamu dan orang tua kamu bisa menerima, tapi aku nggak mau membawa aib keluargaku dan malah mencorengkannya ke keluarga kamu, La."

Harsa menghela napas pelan sambil menunduk sementara kedua tangannya bertaut di atas meja yang menghalangi kami. "Sebelum menikah dengan suaminya saat ini, Mbak Lisa pernah hampir menikah dengan pacarnya sejak kuliah." Harsa mengangkat wajahnya dan menatapku dengan senyum sedih. "Waktu itu persiapan sudah 100% hanya tinggal menunggu hari untuk membagikan undangan. Aku ingat Mbak Lisa sangat bahagia, setelah sekian lama terkurung di rumah dengan drama orang tua yang nggak ada habisnya, akhirnya dia bisa lepas dari itu semua.

"Tapi sayangnya pernikahan itu nggak pernah terjadi. Keluarga calon suami Mbak Lisa memutuskan untuk membatalkan semuanya lagi-lagi karena kelakuan Papa. Calon mertuanya saat itu memergoki Papa sedang bermesraan dengan seorang perempuan yang ternyata adalah sepupu calon suaminya."

"Apa Papa kamu nggak tau perempuan yang dikencaninya itu siapa? Latar belakang keluarganya?" Harsa menggeleng. "Terus Mbak Lisa gimana?" Memoriku kembali berputar pada sosok wanita cantik dengan tubuh mungil yang pernah kutemui satu tahun yang lalu. Elisa Anindya, kakak perempuan Harsa. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya Mbak Lisa saat itu. Pernikahan yang sudah di depan mata harus kandas  karena ulah papanya sendiri. Astaga.

Harus kuakui orang tua Harsa, Om Lius dan Tante Nina, dianugerahi paras yang rupawan dan tak terlihat menua sama sekali walaupun usia mereka sudah lebih dari setengah abad. Bagi yang tidak mengenal Om Lius pasti akan mengira jika usia Papa Harsa itu sepuluh tahun lebih muda dari usia yang sebenarnya. Secara fisik beliau masih tampak gagah dan kuat. Kerut di sekitar mata dan helaian rambut yang mulai memutih tidak menjadikannya tua, malah menjadi semacam daya pikat tersendiri yang membuatnya terlihat matang dan menarik.

Begitu juga dengan Tante Nina, tubuh mungil dan wajah yang selalu dirawat dengan baik di salon kecantikan membuat orang lain tidak akan mengira jika dirinya saat ini bahkan sudah memiliki seorang cucu.

"Mbak Lisa mau nggak mau harus menerima karena calon suaminya juga nggak bisa melakukan apa-apa untuk menentang keluarga besarnya. Pernikahan mereka batal. Mbak Lisa hampir depresi saat itu. Dia bolak-balik ke psikiater selama enam bulan ditemani Mama.

"Saat itu aku merasa Tuhan begitu nggak adil. Kenapa dosa-dosa orang tuaku harus kami yang menanggungnya? Kenapa kami yang nggak tau apa-apa harus ikut menerima akibatnya?" Aku menggenggam kedua tangan Harsa yang bergetar. Dia terlihat marah dan lelah di saat bersamaan. "Kejadian menyakitkan itu akhirnya menjadi titik balik untuk Mama. Mama mulai berubah dan nggak pernah lagi terlihat dekat dengan laki-laki lain. Mama mulai sadar jika apa yang dilakukannya selama ini nggak ada gunanya. Dia nggak bisa memaksa Papa untuk berubah dengan melakukan hal serupa.

"Mama hanya bisa pasrah dan mau nggak mau menerima keadaan yang ada. Nggak lagi berharap keajaiban. Enam tahun ini Mama hanya fokus pada kami, terutama Lila yang masih kecil." Harsa kembali menunduk. Bahunya bergetar seiring isak lirih terdengar.

"Harsa ..." Aku menggoyang pelan kedua tangannya. Harsa kembali mengangkat wajah terlihat sangat sedih.

"Tapi Papaku masih tetap sama, La," bisik Harsa dengan senyum pedih. "Aku, Mbak Lisa dan Mama sudah pasrah dan nggak berharap banyak Papa bisa berubah, karena sepertinya tabiat itu sudah mendarah daging. Sementara itu Lila nggak pernah tau tentang kelakuan Papa di luar rumah karena kami memang berusaha untuk terus menutupinya. Yang Lila tau Papa adalah orang tua terbaik yang sangat disayangi dan dibanggakannya. Dan aku, Mbak Lisa juga Mama nggak berniat mengubah persepsi Lila sama sekali. Biarlah adikku merasakan perasaan dicintai secara utuh oleh kedua orang tuanya tanpa mengetahui kebusukan yang kami sembunyikan.

Wedding ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang