Tobias

66 49 7
                                    



Henry belum juga sadar

Sean menghubungi kedua orang tua Henry untuk memberi kabar. Mereka sangat shock, tentu saja.

Henry di pindahkan di rumah sakit di kota nya agar orang tuanya bisa menjaganya.

Carol menghela nafas, semuanya semakin rumit.

"Sean, Alvin, aku akan berangkat kerja. Aku akan pulang sekitar jam 5 sore, tolong jangan membuat masalah selama aku tak ada" Carol memperingatkan, menatap dua temannya dengan lesu.

"Kenapa kau masih saja bekerja? Bukankah orang tuamu kaya" Alvin bertanya

"Biarkan saja, dia memang aneh" Sean menanggapi.

Carol mendengus, mulut Sean memang seperti pisau yang dilumuri bubuk cabai. Ya, tajam dan pedas. Carol tak memerdulikannya, bergegas keluar. Dia tidak mau terlambat.



***



"Carl" Maria memanggil

"Ada yang mencarimu"

Carol menyernyit. Siapa?

Maria menunjuk orang di meja dekat pintu, pria berhodie abu-abu. Aah, dia mengenalnya

"Ada yang bisa saya bantu, tuan?" Carol bertanya sopan.

"Aku Tobias, kau mengingatku kan?" Tanya pria itu. Carol mengangguk, dia mengingatnya.

Tobias menyuruhnya duduk, Carol menurutinya.

"Boleh aku bertanya?" Ungkap Carol

Pria itu mendongak menatap wajah Carol tajam.

"Ya"

"Kau, darimana kau mengenal Stella?" Tanya Carol. Tobias tersenyum tipis.

"Dia gadis yang baik" Ungkapnya.

Carol merengut, bukan begitu maksudnya.

"Apa dia baik-baik saja?" Tanya nya lagi. Jujur, hubungan Stella dan dengannya memang tidak akrab. Hanya saling mengenal, tapi Carol sangat penasaran dengan gadis itu.

"Dia... Stella sudah bahagia sekarang" Jawabnya, matanya menerawang.

"Sejak kapan kau dan teman-temanmu menerima surat-surat itu?" Tanyanya

Carol menyernyit

"Bagaimana kau bisa tahu kalau kami menerima surat?"

Tobias tertawa, matanya menatap Carol seolah-olah pertanyaannya sangat lucu.

"Aku tahu semuanya" Jawabnya.

"Periksalah lokermu, sepertinya ada surat baru" Tobias tersenyum. Carol terdiam.

"Bagaimana kau tahu?" Tanya Carol curiga.

"Sudah kubilang aku tahu semuanya"

"Aku melihatnya" Ujar Tobias, tersenyum miring.

"Melihat apa?" Tanya Carol sekali lagi. Wajah Tobias berubah datar.

"Dia"

"Siapa maksudmu!!!" Seru Carol, pria ini sangat berbelit-belit.

"Hm entahlah, tapi bukankah kalian memanggilnya Si Mata Satu?" Tobias tertawa, nyaring sekali.

Wajah Carol pucat pasi, Si Mata Satu? Jadi benar orang itu yang meneror mereka selama ini.

Tobias menyesap kopi hitamnya, berdiri merapikan bajunya.

"Oh iya satu lagi" Tobias berhenti di samping Carol. Membisikkan sesuatu.

"Stella hanya suka warna biru" Dia tersenyum. Carol terpaku, beribu pertanyaan di kepalanya tidak bisa diungkapkan. Mulutnya kering, tenggorokannya tercekat.

Tobias melenggang keluar meninggalkan Carol. Dia menatap punggung Tobias tajam, pria itu sangat mencurigakan.




***



Carol berlari, membuka kasar pintu yang bertuliskan 'staff only'.

"Ya Tuhan, kau mengejutkanku Carl" Jane berteriak. Carol tak memperdulikannya, dengan tergesa membuka lokernya.

Kosong, tak ada apapun.

Apa-apaan ini. Tobias berbohong? Sangat tidak lucu.

"Apa ada masalah? Kau terlihat pucat" Tanya Jane penasaran.

"Aku tak apa" Carol menatap Jane, tersenyum tipis.

"Kau bisa beristirahat saja" Jane menatap Carol khawatir. Carol tersenyum tulus, Jane baik sekali.

"Hei!"

Jane dan Carol menoleh.

Seorang wanita setengah baya menatap mereka garang. Lipstiknya berwarna merah terang, sangat mencolok untuk kulitnya yang pucat. Pakaiannya sangat modis, gaun biru tua dengan manik-manik yang Carol yakin akan tetap bersinar walaupun dalam kegelapan. Glow in the dark.

Carol menahan tawa, ya itu bosnya. Sedikit berlebihan memang, tapi Carol menyukai wanita nyentrik itu.

"Aku tidak membayar kalian untuk mengobrol. Cepat bantu teman kalian!" Serunya.

"Ma-maafkan kami" Jane menunduk. Menarik Carol keluar ruangan. Tumben sekali bos mereka berkunjung.

Maria dan Lucy menahan tawa, dasar kurang ajar. Carol mendengus.

"Ibu tiri kita sangat galak" Lucy berbisik pada Carol. Carol mengangguk, melihat Nyonya Susan meminum capuchino panasnya dengan khidmad.

Wanita tua itu sebenarnya baik, sangat baik malah. Dia sering membantu mereka jika ada masalah, dan merawat mereka dengan baik. Bahkan dia sering menasihati mereka, ya layaknya seorang ibu. Tapi sifat galaknya memang sulit dihilangkan, tapi dia benar-benar baik. Itulah sebabnya mereka menyebutnya ibu tiri.

Carol mendekati Maria.

"Apa kau melihat orang memasuki ruang loker?" Bisiknya. Maria menyernyit.

"Tentu, kita semua memasuki ruang loker tadi" Jawabnya. Carol mendengus.

"Tidak, maksudku sebelum aku datang" Kata Carol sambil melirik Nyonya Susan. Bisa bahaya kalau ketahuan.

"Aku dan Lucy memasuki ruang loker sebelum kau datang" Ucapnya polos.

"Ah, kurasa Jane juga. Kau datang paling akhir kan tadi" Lanjutnya.

Carol berteriak dalam hati. Maria benar-benar membuatnya kesal.

"Selain kita ber-empat?" Desaknya.

"Tidak ada, bukankah hanya kita ber-empat yang boleh masuk?" Tanyanya. Carol menatapnya tajam.

"Ah Nyonya Susan juga" Maria tertawa, padahal itu sama sekali tidak lucu.

"Kenapa kau bertanya?" Maria menyernyit heran.

"Tidak, lupakan saja" Jawab Carol dongkol.

Maria tidak membantu sama sekali.

Tobias bilang ada surat di lokernya. Tapi saat Carol memeriksanya tidak ada surat atau apapun yang mencurigakan. Tidak mungkin Tobias berbohong kan? Lalu dimana surat itu? Dan Stella? Tobias selalu mengungkit Stella di pembicaraannya. Pasti ada hubungan gadis pirang itu dengan kejadian ini.

Carol harus mencari tahu.


SinnersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang