The Truth

23 8 26
                                    




Mengerikan.







Mereka menatap jasad Levi dengan tatapan iba. Sejauh ini, Levi yang terparah. Jasadnya benar-benar tidak bisa dikenali.

"Dasar monster" Desis Anna geram, tangannya mengepal kuat.

Carol terdiam, bahkan ia sudah tidak bisa menangis lagi sekarang. Sean dan Alvin mematung, terlihat sangat putus asa.

"Apa kita bisa melakukan autopsi jika mayatnya seperti ini?" Tanya Cathrine.

"Entahlah, mayatnya telah hancur" Ujar Paul.

"Maafkan kami" Sesal Cathrine. Ia menatap keempat sahabat itu iba.

"Seharusnya kau mengizinkan kami keluar, jalang!" Anna meringsek maju, mencengram kerah Cathrine marah.

"Tenanglah, Ann" Alvin mencegah Anna yang memukul Cathrine brutal, melolong mengeluarkan amarahnya. Alvin memeluknya agar Anna lebih tenang.

Cathrine hanya diam, bibirnya sobek. Air matanya menetes pelan, menangis dalam diam. Bukan karena pukulan Anna, tapi karena ia tidak bisa menyelamatkan orang-orang itu. Ia kalah lagi.

"Kami akan segera menemukan pembunuhnya" Kata Paul. Sean menatapnya tajam.

"Entahlah, semoga ucapanmu kali ini bisa dipercaya" Ujar Sean sinis. Ia merangkul Carol, membawanya keluar ruangan itu diikuti Alvin dan Anna.
















***













Keempat orang itu hanya diam, apartemen Carol terasa lenggang. Jasad Levi telah dimakamkan dengan layak. Seluruh keluarganya termasuk Jane pindah ke Korea, ke kampung halaman Levi dan ayahnya. Semenjak kematian Levi, mereka tidak mendapat kabar apapun lagi. Keluarga itu seolah hilang ditelan bumi.

"Sejak kapan ayah Levi menikah lagi?" Alvin memecah keheningan. Tak ada yang menjawab, mereka juga tidak tahu.

"Aku tidak tahu kalau Jane adalah saudara tiri Levi. Bodohnya aku" Carol merutuki dirinya sendiri.

"Ini benar-benar seperti sebuah drama. Dari sekian banyak orang, ayah Levi menikahi ibu Jane. Dan entah kebetulan darimana, Jane mengenal Carol dan Alvin? Dunia benar-benar sempit" Ujar Anna.

"Kenapa Levi tidak pernah bercerita?" Sean bertanya dengan suara lirih. Mereka kembali terdiam, tidak ada yang tahu jawabannya.







*Ting ting






Suara bel mengalihkan perhatian mereka. Carol bergegas membukanya.

"Kau" Suara Carol tercekat, ia benar-benar terkejut.

"Aku ingin berbicara sesuatu dengan kalian, aku harap kalian mau mendengarkanku kali ini" Ujar Tobias. Pria itu kembali setelah sekian lama menghilang.

"Kami tidak ada urusan dengamu lagi!" Bentak Carol sambil berusaha menutup pintunya.

"Hanya sebentar, ini tentang Stella" Tobias menahan pintu itu, terlihat memohon. Carol terdiam, pria arogan itu memohon padanya? Sangat aneh.

"Aku membawakanmu seseorang" Ucap Tobias. Carol menyernyit heran, menatap pria berpakaian formal disamping Tobias dengan sangsi.

"Dia adalah dokter yang menangani Stella" Ujar Tobias sebelum Carol membuka mulutnya.

Carol melongo. Ya Tuhan, apalagi ini.

"Masuklah" Carol mempersilahkan, membukakan pintu untuk Tobias dan pria itu.

"Apa yang kau lakukan di sini, bajingan!" Sean berdiri, menunjuk Tobias dengan tatapan geram.

"Tenanglah, Sean" Tegur Carol.

Mereka menatap pria setengah baya itu dengan tatapan heran.

"Ah, perkenalkan saya Louis Christian" Pria itu memperkenalkan diri.

"Dia dokternya Stella" Tambah Carol. Louis mengangguk hormat.

Anna terlihat sangat terkejut, sedangkan Alvin dan Sean memasang muka bingung.

"Silahkan duduk" Carol mempersilahkan.

"Jadi, hal penting apa yang perlu dibicarakan?" Tanya Sean.

"Sebelumnya, aku turut berdua atas kematian teman-teman kalian. Jika tuan Tobias tidak memberitahuku, mungkin aku tidak akan tahu jika Stella kembali kambuh" Ujar Louis.

"Kambuh?" Alvin tidak mengerti.

"Stella menderita skizofrenia dan bipolar disorder. Stella telah berkonsultasi denganku sejak umurnya masih 9 tahun. Sejujurnya dia adalah gadis yang sangat manis, sayang sekali" Jelas Louis. Mereka mendengarkan dengan seksama.

"Skizofrenia adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir, merasakan, dan berperilaku dengan baik. Dia hampir tidak bisa membedakan yang nyata dan halusinasi. Sedangkan bipolar disorder adalah gangguan mental yang ditandai dengan perubahan emosi yang drastis. Seseorang yang menderita bipolar dapat merasakan gejala mania dan depresif. Beberapa orang menyebut bipolar sebagai kepribadian ganda karena penderitanya dapat merubah sifatnya dengan sangat drastis, seperti orang yang berbeda" Lanjut Louise.

"Lalu bagaimana dengan Steffany?" Tanya Alvin.

Louise menatapnya bingung, lalu menghela nafasnya.

"Sebenarnya, Steffany tidak benar-benar ada" Jawabnya.







Mereka tekejut.

SinnersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang