Sahabat dan Cinta

57 25 18
                                    




"Bagaimana kau bisa tidak tahu Carl?" Desak Levi. Carol mengeram.

"Aku tidak tahu. Lucy tidak pernah mengungkit tentang surat atau apalah itu yang berhubungan dengan Si Mata Satu. Dia juga tidak pernah terlihat ketakutan atau terancam. Dia sangat tenang" Jelas Carol. Ia terlihat frustasi.

"Apa menurutmu Si Mata Satu yang membunuh Lucy?" Tanya Sean.

"Lalu siapa lagi? Apa aku yang membunuhnya?" Levi berseru marah.

"Tenanglah Lev. Mungkin ini tidak ada hubungannya dengan Si Mata Satu. Targetnya adalah kita, aku tidak yakin jalang itu mengenal Lucy" Ujar Alvin menenangkan.

"Bagaimana kalau dia mengenalnya?" Anna bertanya.

"Maka kita harus mencari tahu" Carol meyakinkan. Menatap mereka satu per satu.

"Dengar, aku yakin ini berhubungan dengan Stella Wood. Kalian ingat? Amplop warna warni? Bangkai kucing di loker Levi?" Ujarnya. Mereka semua mengangguk.

"Lalu?" Alvin mendekatkan dirinya, merasa tertarik.

"Aku bertemu dengan seseorang yang mengenal Stella. Namanya Tobias, dia sering datang ke cafe dan selalu berbicara padaku tentang Stella. Bahkan dia punya fotonya" Jelas Carol.

"Apa hubungan mereka berdua?" Sean bertanya.

"Aku tidak tau. Tapi, aku yakin dia memberiku petunjuk. Tobias mengatakan kalau Stella hanya suka warna biru" Ujarnya membuat mereka semua menyernyit.

Carol menceritakan semua pada mereka. Pertemuannya dengan Tobias hingga ketidakmunculan pria itu sampai sekarang. Tentang Jane yang mendapat surat misterius dan malam terakhirnya melihat Lucy. Ia menceritakan semuanya, tanpa terlewat. Carol sadar dia tidak boleh menyembunyikan apapun, mereka semua adalah bagian dari dirinya. Mereka harus tau.

"Ini rumit" Alvin menjambak rambutnya frustasi.

"Bagaimana bisa dia melibatkan orang yang tidak kita kenal?" Levi mengeluh.

"Si Mata Satu sangat pintar menyusun rencana, bukan?" Anna menggumam.

"Carol. Kau harus berbicara dengan Jane lagi, tanyakan padanya apakah dia masih menyimpan suratnya atau tidak?" Sean menatap Carol tajam, matanya terlihat serius. Carol mengangguk.

"Kira-kira Lucy dapat warna apa? Kalian tahu kan, setiap orang ditandai dengan satu warna?" Levi bertanya.

"Sean merah, Carol ungu, Levi pink, Anna kuning, Henry hijau, dan Alvin orange" Jawab Anna.

"Seperti warna pelangi" Ujar Alvin.

"Binggo!!" Seru Levi.

"Dia memberikan kita warna pelangi" Lanjutnya.

"Warna yang belum ada. Biru?" Sean bertanya. Levi mengangguk semangat.

"Kenapa kalian yakin sekali sih. Seperti detektif" Anna menimpali.

"Tapi masuk akal. 7 warna, 7 dosa terbesar, 7 orang. Benarkan?" Levi memastikan.

"Apa kita tidak lapor polisi saja? Ini semakin mengerikan" Kata Carol.

"Masalahnya kita tidak punya bukti, Carl. Kita hanya punya surat-surat aneh tanpa nama, apalagi surat itu seperti ditulis oleh orang mabuk" Ujar Sean.

"Sean benar. Kita tidak bisa melaporkan sesuatu yang tidak pasti, polisi hanya akan menghiraukannya" Tambah Anna.

"Tapi apa kalian tidak merasa janggal?" Carol bertanya.

"Di surat pertama ia mengatakan telah membunuh beelzebub dan sekarang dia membunuh belphegor, jika Lucy memang benar belphegor. Jika ada 7 orang yang dia incar, berarti hanya tersisa 5 orang lagi karena dia telah membunuh 2" Jelas Carol.

Mereka tersentak, Carol benar.

"Jadi maksudmu, korbannya akan lebih dari 7 orang?" Sean memastikan. Carol terlihat ragu-ragu, tidak berani menyimpulkan.

"Kalau dia hanya menyimpan dendam dengan kita berenam, kenapa dia membunuh Lucy juga? Bahkan memberikan nama belphegor" Levi bertanya.

"Mungkin Lucy telah berbuat sesuatu yang membuat Si Mata Satu marah" Anna menimpali.

Ponsel Sean berbunyi, mengagetkan mereka semua. Sean mengangkatnya, terlihat kaget dengan apa yang di dengarnya.

"Henry" Sean menggumam, menunduk lesu. Menelan salivanya dengan muka tegang.

"Dia... Dia telah tiada" Ucapnya sedih, matanya berkaca-kaca.

Levi berteriak, menangis terisak. Carol menutup mulutnya tak percaya, setetes air mata jatuh melewati pipinya. Anna dan Alvin diam, membeku dengan pundak mereka yang bergetar menahan tangis. Sean masih menunduk, tangannya mencengkram erat ponselnya hingga buku jari-jarinya memutih.

Henry telah pergi. Meninggalkan teman-temannya dalam teror mematikan ini. Dia menyerah, dia telah kalah melawan kematian. Perjuangannya berakhir disini.


***





Ke lima orang itu menunduk, menatap gundukan tanah di depannya nanar.

Henry Benecroft

Carol berjanji akan terus menyimpan nama itu di lubuk hatinya. Pria jenius itu akan tetap menjadi bagian cerita hidupnya sampai mati.

"Nona Ferredy" Panggil seseorang. Mereka semua menoleh, orang tua Henry di sini. Terlihat tegar walaupun sedang tidak baik-baik saja, anak semata wayangnya telah pergi meninggalkan mereka. Selamanya.

"Kau Anna Ferredy?" Tanya Nyoya Benecroft. Anna mengangguk.

"Henry selalu menyebut namamu sambil tersenyum dihari terakhirnya. Terimakasih, kau pasti sangat berarti di kehidupan puteraku" Ujarnya.

Anna meneteskan air matanya, memeluk wanita tua itu. Mereka menangis bersama, tangisan pilu yang menyayat hati. Carol memerhatikannya, tersenyum samar.

Ah, Henry masih sangat menyukai Anna ternyata. Pria itu selalu mengalah dan melindungi Anna sejak dulu, walaupun Anna tidak terlalu memperdulikannya. Dia tipe gadis yang cuek.

Henry pernah berkata padanya bahwa ia akan segera melamar Anna saat dia sudah menjadi pengusaha kaya, agar Anna tidak perlu merebut makanan darinya lagi. Anna sangat beruntung karena bertemu Henry, ia mendedikasikan hidupnya demi Anna.

"Bukankah dia sangat manis, Carl" Ucapan Henry terngiang dikepalanya.

"Siapa? Levi?" Tanyanya, Levi memang terlihat manis. Gadis Asia itu terlihat polos jika tersenyum. Henry menggeleng.

"Maksudku Anna" Ujarnya membuat Carol terkejut.

"Kukira Anna lebih cocok disebut perkasa daripada manis. Dia sangat tangguh" Carol tertawa. Henry tersenyum lebar, menampilkan barisan giginya.

Senyum itu, senyum yang haya ditujukan pada Anna.

Carol menghapus air matanya, bayangan Henry masih terlihat jelas. Ia tak mungkin melupakannya.

"Kau tahu, Carl. Saat aku sudah menjadi pengusaha sukses seperti ayahku, aku akan melamar Anna"

Suara Henry kembali terngiang di kepalanya.

"Dengan begitu Anna tidak perlu meminta makanan pada manusia pelit macam kalian" Henry tertawa.

Tawa itu menggema memenuhi pikirannya.

Carol memandang Anna dan Ibu Henry yang masih menangis, menatapnya iba.

Henry, tak perlu khawatir. Kami akan menjaga Anna. Kami akan menjagamu, menjaganya di hati kami masing-masing. Pergilah dengan tenang, kau pantas bahagia.


Haloo, apa kabar nih??:)
Menurut kalian cerita ini gimana si? Aku penasaran gimana pendapat kalian. Aku takut cerita ini agak memaksakan dan ga jelas banget:")

Tolong kasih kritik dan saran ya. Soalnya aku ngerasa banyak banget yang perlu diperbaiki. Thanks a lot buat kalian yang mau meluangkan waktunya buat baca sampai sejauh ini. Love youu💙

SinnersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang