Let's Start the Game

101 58 4
                                    



Hari Sabtu, Carol libur.

Ia membaca ulang semua surat yang dikirimkan ke mereka. Keningnya berkerut, wajahnya terlihat serius.

"Berapa kalipun kau membacanya isinya akan tetap sama" Kata Sean.

Carol menghembuskan nafas kasar, terlihat frustasi. Sean benar.

"Sebenarnya dia mau apa" Carol berbicara.

"Dia hanya mau kita mati" Jawab Sean malas.

"Apa kita pernah berbuat salah padanya? Kenapa selalu meneror kita?" Carol memijit pelipisnya.

"Siapa yang tahu" Sean berujar.

"Kita pasti mengenalnya kan? Jika tidak, mana mungkin dia mau repot-repot meneror kita selama enam tahun" Kata Carol. Sean terdiam.

*Brakk*

Pintu terbuka

Mereka kompak menoleh ke sumber suara. Alvin.

"Ada apa?" Tanya Sean.

Alvin terlihat tegang, keringat bercucuran di dahinya.

"Henry" Ucapnya gugup.

"Sebaiknya kalian bergegas. Sekarang!!" Lanjutnya.

"Apa yang terjadi?" Tanya Carol mulai panik

Alvin menggeleng

"Tidak ada waktu, segeralah bersiap"


***


Mereka menuju rumah sakit. Anna dan Levi sudah menunggu, terlihat berbicara dengan seorang dokter.

"Dia keracunan " Ucap seorang dokter

"Apa dia baru saja makan ikan buntal?" Tanya nya.

Mereka diam, saling menatap bingung. Carol melirik Alvin.

"Tidak, kami baru saja sarapan dengan roti. Dia tiba-tiba kejang-kejang" Ujar Alvin.

"Tetrodotoxin" Ucap dokter.

"Biasanya racun ini ditemukan dalam ikan buntal. Sebenarnya ikan buntal dapat dikonsumsi jika penanganannya tepat. Tapi jika tidak, racun dalam tubuhnya dapat menyebabkan serangkaian gejala secara berurutan, mulai dari kelumpuhan mulut, masalah saat menelan, diikuti oleh masalah saat berbicara, kejang-kejang akan membuat berujung ke koma dan akhirnya menyebabkan kematian" Jelas dokter.

Levi menutup mulutnya tak percaya, hendak menangis. Anna merangkulnya menenangkan.

"Apa dia bisa selamat?" Tanya Sean.

Dokter itu diam, terlihat ragu.

"Kita tunggu saja perkembangannya" Ujarnya sambil menepuk pundak Sean. Lalu pergi meninggalkan mereka.

Tubuh Alvin merosot, dia masih tidak percaya.

"Hahaha tinggal bersama katamu? Apa kau ingin dia membunuh kita sekaligus ha!!" Levi memandang Carol nyalang, berteriak marah.

"Pengecut" Lanjutnya. Levi berjalan menjauh.

"Biar aku menyusulnya. Jangan terlalu dipikirkan Carl, Levi sangat terpukul. Jadi dia melampiaskannya kepadamu" Ucap Anna menenangkan.

Carol diam, kepalanya menunduk. Air matanya mengalir, dia merasa tak berguna.

"Carl" Sean memanggil, mendekati Carol.

"A-aku mau ke toilet" Carol berbicara, suaranya parau.

Sean diam, mempersilahkan Carol pergi. Ia duduk di samping Alvin, menempelkan kepalanya ke tembok. Alvin duduk berjongkok, menenggelamkan kepalanya di lututnya. Bahunya bergetar.

Semuanya kacau

***

Carol membasuh wajahnya dengan kasar. Air matanya terus mengalir.

"Berhentilah menangis bodoh! Dasar tidak berguna!" Carol menampar pipinya. Berteriak marah. Marah kepada dirinya sendiri, dia benar-benar tidak berguna.

Pintu toilet terbuka

"Ada apa denganmu Carol! Hei! Sadarlah!" Anna menarik tangan Carol, mencegahnya menyakiti wajahnya.

"Tenangkan dirimu Carol, jika semua orang seperti ini dia akan lebih mudah menghancurkan kita" Lanjutnya.

Anna menuntun Carol keluar toilet, menuju ruangan Henry. Kondisi Henry sangat menyedihkan, tubuhnya dipenuhi alat-alat penyokong kehidupan, matanya terpejam, bibirnya membiru, menganga kaku. Dia terlihat seperti mayat. Carol meringis, apakah keracunan bisa separah ini.

"Kita harus segera menemukan Si Mata Satu. Aku tidak mau tahu. Aku tak ingin mati konyol" Levi berkata sinis.

Sean mengeram

"Memangnya siapa yang mau mati konyol!" Sean berseru.

"Jangan bertengkar bodoh!" Alvin berteriak.

Carol menggigit bibirnya.

"Dia berkata permainnannya sudah dimulai kan?" Ujar Carol. Mereka semua menatapnya.

Carol menghapus air matanya kasar.

"Mulai sekarang mari bermain dengan serius" Carol tersenyum tipis. Matanya berkilat tajam.


Hanya akan ada satu pemenang. Tunggu saja

SinnersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang