Trouble

77 53 9
                                    



Carol membuka pintu apartemennya dengan kasar. Sejak Henry masuk rumah sakit, Alvin tinggal di apartemennya.

"Alvin!!!" Carol berteriak panik

Sean menyusul masuk, Carol benar-benar berlari sampai dia ketinggalan.

"Alvin!" Carol berteriak lagi, membuka semua pintu di apartemennya.

Sean menatapnya jengah, dia duduk di sofa.

"Al-"

"Ada apa? Kenapa berteriak?" Alvin keluar dari kamar Carol, mengenakan handuk.

Sean tertawa meremehkan, Carol terlalu berlebihan.

"Apa kau baik-baik saja?" Carol bertanya.

Alvin menatapnya bingung lalu menatap Sean seolah bertanya apa yang terjadi. Sean hanya tersenyum simpul, mengedikkan bahu.

"Seperti yang kau lihat Nona Winifred, Tuan Halbert baru saja mandi. Anggota tubuhnya masih lengkap, nyawanya masih di tempatnya. Mungkin dia hanya kehilangan sebagian dakinya" Sean menjawab formal, tersenyum mengejek. Carol menatapnya tajam, tidak lucu.

"Terimakasih Tuan Aldway telah mewakili jawaban saya" Alvin membungkuk hormat, mengikuti permainan Sean.

FYI, Winifred adalah nama belakang Carol, Halbert nama belakang Alvin dan Aldway adalah nama belakang Sean.

"Jangan pernah pergi sendirian" Ungkap Carol. Mereka berdua benar-benar membuatnya jengah.

Alvin mengangguk patuh lalu masuk kembali ke kamar. Carol membanting tubuhnya ke sofa, Si Mata Satu benar-benar merepotkan. Sean menatapnya kalem.

"Tenang saja honey, dia sudah menyakiti Henry. Tidak mungkin dia akan menyerang kita secepat itu" Kata Sean.

Carol menoleh, menyernyitkan dahi. Apa maksudnya?

"Dia ingin kita mati pelan-pelan, aku membaca pola nya dari waktu ke waktu" Ungkap Sean, wajahnya terlihat tenang tapi matanya berkilat tajam. Carol menatapnya dalam, dia mengerti. Sean sangat marah tapi tidak menunjukannya.

"Dia ingin kita menyusun puzzle. Menurutmu apa puzzle yang dia maksud?" Carol bertanya.

"Entahlah, aku belum menemukan jawabannya" Sean menggeleng terlihat frustasi. Matanya memejam.

Carol membeku. Sean? Frustasi? Ya Tuhan, seumur hidupnya Carol tidak pernah melihatnya seperti ini.

Mereka diam cukup lama sampai Alvin datang.

"Mau kemana kau?" Sean bertanya.

"Rumah sakit, tentu saja. Kenapa masih bertanya bro?" Alvin menjawabnya santai. Ia merapikan rambut hitamnya, highlight perak yang menghiasi ujung rambutnya terlihat mencolok.

"Bukankah kau ingin beristirahat?" Carol mengangkat tubuhnya.

"Aku sudah cukup beristirahat" Alvin tersenyum tipis, berjalan menuju pintu keluar.

"Kalian tidak ikut?" Alvin berbalik, menatap Carol dan Sean bergantian.

"Ikut, tentu saja. Kenapa masih bertanya bro?" Sean menjawab, menirukan perkataan Alvin sebelumnya. Ia merangkul pundak Alvin.

Carol tertawa, bergegas menyusul. Anna dan Levi pasti sudah menunggu.


***

Anna dan Levi sudah pulang. Alvin, Carol dan Sean menggantikan mereka. Seharusnya sekarang bukan giliran Alvin, karena dia sudah menjaga Henry tadi pagi bersama Anna dan Levi. Tapi Alvin bersikeras ikut.

Ruangan hening, hanya suara elektrokardiogram yang terdengar putus-putus. Jam sudah menunjukan pukul 00.32 tengah malam, mereka masih terjaga. Mengawasi Henry dengan seksama, takut terjadi sesuatu yang buruk.

"Tidurlah Carl" Alvin mengingatkan. Carol menggeleng, dia tidak mau kecolongan lagi.

"Biar aku yang mengawasinya kau beristirahatlah" Sean berujar.

"Kau juga Al" Lanjutnya, menoleh kepada Alvin. Alvin tersenyum tipis.

"Aku baik-baik saja" Jawabnya.

Carol diam, masih mengawasi Henry. Matanya berat, kepalanya pusing.

"Tak apa, beristirahatlah. Nanti aku akan membangunkan kalian jika ada sesuatu" Bujuk Sean.

Carol mengangguk, dia sudah tidak tahan lagi. Carol merebahkan dirinya ke sofa, memejamkan mata bersiap untuk tidur. Dia meringis, badannya sakit semua. Tak lama dia tertidur.

Sean memakaikannya selimut lalu berjalan mendekati Alvin.

"Tidurlah Al, kau sudah menjaganya seharian ini. Kau belum istirahat" Sean menepuk pundak Alvin.

"Aku yakin Si Mata Satu tidak bekerja sendiri" Ujar Alvin mengalihkan pembicaraan.

Sean menatapnya bingung, tak mengerti.

"Kita bertemu dengannya dua kali kan?" Alvin menatap Sean, memastikan. Sean mengangguk.

"Dia memang menutup hampir seluruh wajahnya, tapi aku tidak bodoh. Dia selalu memakai satu penutup mata. Jadi tanpa sengaja aku selalu melihat mata satunya yang tidak tertutup" Alvin menjelaskan.

Sean terkejut, dia tidak memperhatikan sampai sedetail itu.

"Lalu?" Sean bertanya, wajahnya terlihat serius.

"Saat pertama bertemu, matanya berwarna biru. Dan saat kita bertemu untuk kedua kalinya-"

Alvin menoleh, menatap Sean lurus.

"Matanya berwarna hijau"

Tubuh Seean menegang, ini benar-benar di luar dugaan.


SinnersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang