Bagian 3. Negosiasi dengan Sang Penjaga

872 110 4
                                    

".... begitu. Nah jadi gimana, kalo syaratnya begitu lo mau lanjut ga? Apa mau ganti keinginan? Mumpung masih bisa nih" ucap Renjun panjang lebar sambil mengetuk-ngetuk jarinya di meja. Ia memperhatikan Chenle yang berdiri di seberang meja, masih terdiam dan tidak menjawab pertanyaannya.

"Woy? Halo? Mas arwah?" panggil Renjun lagi dengan muka cemberut. Ia paling tidak suka kalau pertanyaannya tidak dijawab. Renjun akhirnya berdiri mendekati Chenle dan menepuk bahunya beberapa kali.

"Halo mas arwah, apakah suara saya putus-putus? Passwordnya apa?" celetuknya lagi, sudah kesal. 

Chenle tersentak. Kebiasaannya memang, kalau sudah fokus berpikir, ia tidak akan menyadari apa yang terjadi di sekitarnya, dan tidak akan mendengar orang memanggilnya kalau tidak ditepuk. Sayangnya karena ditepuk Renjun tadi, pikirannya jadi buyar; lupa sudah arwah itu dengan semua syarat yang diajukan sang penjaga gerbang. Ia menatap Renjun yang sudah menatapnya duluan dengan mata kesal, membalas tatapan itu dengan tatapan memelas.

"Aduh Renjun... gue lagi mikir tadi. Lupa kan.... jadi tadi apa aja syaratnya?" ucap Chenle sambil tersenyum manis dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Renjun berdecak kesal, untuk apa juga arwah ini menggaruk kepala, memang arwah bisa merasakan gatal? Renjun menatap Chenle tajam-sebenarnya kesabarannya yang memang cukup tipis sudah habis, tapi ia sekuat tenaga menahan amarahnya.

Kalo gue marah-marah lagi, makin lama arwah bau kencur ini di sini hadeh. Sabar Renjun, sabar.

"Ok karena gue baik gue jelasin lagi. Cara mainnya begini: lo bakal balik ke satu minggu sebelum kejadian lo kecelakaan dan meninggal. Karena lo meninggal udah lewat tengah malem, berarti udah hari Minggu. Jadi lo bakal ngulang lagi hidup dari hari Minggu dari minggu lalu -aduh belibet juga. Sampe sini paham?" ujar Renjun. Ia tidak mau mengulang penjelasannya lagi, lebih baik ia tanya Chenle dari sekarang. Dan Chenle membalas dengan anggukan.

"Pas lo bangun nanti, lo ga bakal inget apa-apa. Lo ga bakal tau kalo lo abis ketemu gue di sini, lo ga bakal tau kalo sebenernya lo habis meninggal kecelakaan. Lo bakal jalanin hidup lo aja kayak biasa. Syukur-syukur ada yang berubah dalam satu minggu itu, jadi nasib lo berubah.Tapi ya belom tentu berubah jadi lo ga meninggal ya."

Memahami perkataan Renjun, dahi Chenle berkerut. Ia merasa syarat ini sangat tidak menguntungkan untuknya. Untuk apa mengulang hidupnya lagi, kalau ia tidak bisa mengingat apa-apa tentang apa yang akan terjadi dengan dirinya? Terlalu banyak kemungkinan yang dapat terjadi jika ia tidak bisa mengingat apa-apa; kesempatannya untuk mencegah pertengkaran dengan Jisung dan mencegah kematiannya terlalu kecil. 

Apakah ia harus menjalani kembali satu minggu yang sangat berat untuknya? Untuk apa ia mengulang hidupnya satu minggu kalau ia hanya akan kembali meregang nyawa akibat tertabrak bus? 

Sakit, kematiannya itu sangat sakit. Ia masih merinding teringat sakit di seluruh tubuhnya yang ia rasakan saat itu. Haruskah ia mengulangi semua itu, jika hasilnya belum tentu sepadan dengan penderitaan yang ia tau akan ia alami kembali?

"Ok cukup mikirnya Chenle, jangan mikir di sini waktu ga jalan ya. Arwah tamu gue bukan lo doang." ucap Renjun sambil meraih lalu menepuk lengan Chenle. "Gimana, dengan syarat itu, lo mau jalanin ga?" lanjutnya.

Chenle menjawab sambil menghela napasnya, "Cerdik ya lo Renjun. Gue bilang gue ga mau mati, ga mau berantem sama Jisung, ga mau di sini. Ya bener si, dengan syarat yang lo kasih, gue dapet semua keinginan gue. Salah kayaknya gue ngasih keinginan, emang bener ga boleh ya bikin keputusan pas lagi emosi." 

Chenle tersenyum pahit mendengar kata-kata yang keluar dan bibirnya sendiri. 

Haha. Keputusan pas lagi emosi. Gara-gara itu gue ada di sini sekarang.

One More Chance | Sungle/Chenji story ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang