Kesunyian di bawah jalan layang

55 8 7
                                    

*Seperti Senja dan malam yang hadir untuk saling melengkapi, mereka akan tenggelam untuk kembali pada bumi"

"Mbak,awakmu iku seko ndi wae. Lha po koe ndak mikirno ibu?'' (kak, kamu ini dari mana saja. Apa kamu tidak memikirkan ibu?). Aku yang tidak menghiraukan perkataan dwi langsung masuk begitu saja untuk mengetahui keadaan ibu saat ini.Suara air yang mengalir di bawah rumah selalu menjadi momok bagiku ketika musim penghujan tiba.

" Dwi, mbak njaluk tulung saiki wadahno kabeh barang barang penting iki neng kresek kui" (Dwi, kakak minta tolong sekarang kamu masukkan semua barang barang berharga ini ke dalam kantong plastik itu).

"Dewe meh neng ndi to mbak ra?, opo koe iku ndak mesakke ibu nek lungo seko omah wayah udan gede ngene? Iki deres banget mbak aku wegah ah" (Kita mau kemana sih ini kak, apa kamu tidak kasihan sama ibu kalau pergi dari rumah saat hujan badai begini? ini deras sekali kak,aku gak mau ah)Tolak dwi dengan tegas. Tapi aku yang harus mengambil keputusan untuk ini maka mau tidak mau dia harus menuruti apa yang aku pilih.

"Yen kowe tetep ngeyel ameh ndek kene, yo wis dik gapopo wik. Mbak mu iki wes mikir dowo. Yen kowe isih teteg ameh ndek kene ibu tetep karo mbak" (Kalau kamu tetap mau bersikeras disini ya enggak apa apa wik, kakakmu ini sudah berfikir panjang. Kalau kamu masih bersikeras disini ibu tetap bersama kakak).

"Ya gak ngono mbak, aku yo wegah nek dewean. Yo wis aku madahi barang barang e sik" (Ya nggak gitu kak, aku juga nggak mau kalau sendirian. Yaudah aku beresin barang barangnya dulu)

'' Mbak, ngopo to nasib e dewe koyo ngene iki. Apes banget tah ya uripku iki, ngopo aku kudu dilahirke koyo ngene'' (Mbak kenapa sih nasib kita seperti ini. Sial sekali sih ya hidupku ini, kenapa aku harus dilahirkan seperti ini).*Plak...tangan ini mendarat tepat di pipinya

"Ngertio dik,koe kui ono neng kene saiki wes beruntung. Koe iso urip ngasi saiki ki yo kudu bersyukur dik! Iling usahane ibuk mbiyen kepiye ben dewe iso kecukupan." (Mengerti lah dik, kamu itu ada disini sudah beruntung. Kamu bisa hidup sampai saat ini itu juga harus bersyukur dik! Ingat usahanya ibu dulu bagaimana supaya kita berkecukupan.) Bentak ku sambil menahan tangis, meskipun sebenarnya didalam hatiku aku menyalahkan diri sendiri. Namun, Dwi sudah kelewatan pada batas seharusnya. Tidak seharusnya dia mengatakan itu di depan ibu, pasti saat ini hati ibu merasa sangat terluka. Kulihat ia mengeluarkan air matanya, kuhampiri ia dan kupeluk sambil kubisiki

''Ngapunten nggih buk, Rara janji bakal luwih semangat pados arta ne." (Maaf ya bu, Rara janji akan lebih bersemangat nanti mencari uangnya). Dwi yang mengetahui bahwa dirinya telah menyakiti hati ibu pun mendekat dan meminta maaf kepada ibu

"Bu, Dwi nyuwun ngapunten" (bu, Dwi minta maaf). Sambil menangis aku meminta maaf dan berjanji akan memberikan yang terbaik untuk Dwi dan Ibu.

''Mbak janji wik, mbak bakal nglakokake opo wae gawe kebahagiaan awakmu karo ibu" (mbak janji wik, mbak akan melakukan apa saja untuk kebahagiaan kamu dan ibu).

****

Suara jangkrik semakin terdengar memecah keheningan antara kita bertiga dan lalu lalang kendaraan dari atas. Aku membuat api unggun setelah berdebat dengan Dwi tadi di bawah jalan layang ini. Sepertinya malam ini kami akan tidur disini, karena di sekitar sini udara cukup hangat dan tidak terlalu kotor.

Ibuku mengalami kelumpuhan sejak adikku berumur 7 tahun. Kini, aku yang menggantikannya mencari nafkah karena Ayahku pergi meninggalkan kami saat umur Dwi berjalan 1 tahun. Semenjak kejadian pahit itu, ibu berusaha pergi kesana kemari mencari pekerjaan ataupun meminjam uang kepada tetangga untuk memenuhi kebutuhan makan kami dan susu untuk Dwi. Tahun demi tahun berlalu tapi rasanya luka itu masih saja membekas di lubuk hatiku. Bagaimana tidak? Seseorang yang seharusnya aku banggakan sebagai ayah, sebagai cinta pertama dalam kehidupan putrinya telah menghianatiku, ibu dan juga Dwi. Ayah memilih kembali ke negara asalnya dan kudengar ia telah menikahi seorang wanita di sana. Ayahku memang bukan seorang pribumi. Ia merupakan seorang warga asing berkewarganegaraan Turki. Ia bertemu dengan ibu ketika ia melakukan penelitian dalam bidang pekerjaannya. Ibu bilang, mereka bertemu dengandi tempat ibu bersekolah. Kecakapan ibu berbahasa inggris dan sebuah insiden kecil diantara mereka membuatnya dekat dan nyaman. Singkatnya setelah beberapa bulan saling mengenal mereka menikah. Hidup kami berjalan sangat indah bak negeri dongeng. Ibu sangat bahagia kala itu, karena aku darah daging yang lahir untuk pertama kalinya memiliki mata yang indah seperti ayah dan rambut lurus seperti ibu. Meskipun keadaan ekonomi kehidupan kami saat itu tidak bisa dikatakan cukup, kami tetap merasa bahagia.

Saat ibu mengandung dwi, ayah pamit untuk kembali ke Turki menyelesaikan sekolahnya di sana dan kembali ke jogja untuk hidup bersama kami selamanya. Katanya ia akan berada di Turki selama 2 bulan, namun 5 bulan berlalu ia tak kunjung kembali. Ibu sering kali merasa cemas akan keadaan ayah disana, karena ibu juga tidak memiliki uang cukup untuk selalu menghubungi ayah setiap saat akhirnya ia hanya bisa berdoa. Hingga pada saat usia kandungan ibu 8 bulan ayah kembali ke Jogja untuk hidup bersama kami. Senang sekali rasanya ketika mereka memanggilku kakak, meskipun pada saat itu aku sering merasa iri pada Dwi ayah berhasil membuatku mengerti bahwa berbagi itu baik daripada menang sendiri. Aku masih tidak mengerti hingga saat ini kenapa Ayah mampu meninggalkan kami dan memilih wanita dari negaranya padahal ibu bilang ayah sangat menyayangi kami. Ibu dulu pernah berbicara denganku, meski pipinya telah basah oleh air mata karena terluka ia tetap tidak pernah menjelek jelekkan ayah didepanku. Ibu bilang bahwa semua ini adalah kesalahannya. Aku yang tidak mau lagi ambil pusing dengan permasalahan tersebut memilih menutup kenangan itu dengan sangat rapat di lubuk hati yang terdalam.

Melihat ibu dan Dwi tidur beralaskan kardus membuat hatiku semakin tersayat. Aku mulai merasakan kalau aku ini adalah anak yang paling menyedihkan di dunia. Tapi saat aku mengingat kembali ucapan Dwi tadi, semangatku kembali menyala. Karena aku tahu bahwa saat ini mereka lebih membutuhkan aku daripada egoku sendiri. Kerlip bintang yang tampak dari celah jalan layang malam ini membuatku lebih tenang untuk menghadapi hari esok, tak terasa sekejap setelah itu kantuk pun datang dan menidurkanku.

Kira kira apa yang akan terjadi di esok hari ya? Nantikan kisah selanjutnya y guisss. Jangan lupa vote jug biar aku semangat lanjutin ceritanya

Rumah [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang