Mengenang semua yang tersisa

5 3 0
                                    

"Tidak! Langkahi saja mayatku dulu" Vino menarikku ke belakang punggungnya.

"Baiklah, aku tidak keberatan menghabiskan satu peluru untukmu" Pria itu memutar revolver pada pistol memastikan pelurunya terisi di dalamnya.

Tidak! Aku tidak bisa membiarkan semua rencana ini sia sia. Saat ini aku hanya akan menyulitkan mereka semua, aku tidak bisa lagi membiarkan mereka mengorbankan apa yang dimiliki hanya untuk menyelamatkanku. aku harus menghadapi kenyataan kalau aku memang yang harus melawannya dengan semampuku.

"Tunggu!" teriakku menahan pria itu.

"Ahoho... Ada apa gadis kecil? Apakah kaau takut menyimpan rasa bersalahmu itu sendirian?" Tanya pria tadi.

"A- apa yang kau mau?!" Tanyaku padanya

"Tentu saja dirimu" Jawabnya santai dan menurunkan senjatanya.

"Apa yang akan kamu lakukan jika kamu mendapatkanku?" tanyaku padanya lebih berani. Vino yang menahan lengaku dari tadi kini menahannya lebih kencang.

"Emmm aku akan menukarkanmu dengan sesuatu yang lebih berharga?" Katanya tersenyum menyeringai.

"Apa? Apa yang kau mau?. Kau pasti ingin kekayaan. Aku akan memberimu banyak uang, jadi lepaskan saja dia" pinta Vino tegas.

*Duar* senapan itu mengenai kaki Vino.

"Ahh" Vino terduduk memegang kakinya.

"Aaaaa.. Ti-tidak. Hentikan!" aku berteriak melihat Kakinya mengeluarkan darah. Vino terduduk dan merintih menahan lukanya.

"Hei anak kecil. Tau apa kamu tentang uang. Asal kau tau, uang tidak bisa membeli kehormatanmu. Aku hanya ingin di hormati dan kamu tidak bisa memberiku itu. Hanya tuanku lah yang bisa memberinya" Pria itu mengusap pistolnya dengan jaket hitam yang ia kenakan. Bekas luka di dekat matanya membuat wajah itu semakin mengerikan.

"Kalu begitu katakan! katakan siapa yang menyuruhmu! Pasti dia, keluarga bajingan itu. Benar bukan?" Vino berteriak kesal padanya. Aku yang berusaha menahan darah dari kakinya hanya hisa manangis dan tidak sanggup melihatnya terluka lagi.

"Hohoho sepertinya kau mengenal mereka dengan baik" pria itu menyeringai menyiapkan peluru berikutnya.

"Apa kau akan mengizinkannya pergi jika aku ikut denganmu?" Tanyaku percaya diri.

"Hahah.. kau pikir aku bodoh membiarkannya pergi begitu saja?" pria itu membuka tudung jaketnya dan berjalan mendekat. Ia berjongkok di depan kami.

"Jangan lakukan apapun padanya!" Aku memeluk Vino untuk pertamakalinya.

"Hoho kalau begitu, kalian ikutlah bersamaku atau kau! Akan melihatnya mati kehabisandarah di tengah hutan yang gelap ini" Pria tadi memintanya dengan menodongkan pistol di bagian belakang kepalaku. Aku mendongak menatapnya dan tidak lagi menangis.

"Baik, jika itu yang kau mau." Saat ini keselamatan Vino adalah yang paling penting. Aku tidak bisa membuatnya lebih menderita lagi.

"Hei bocah! Ingat ini. Jangan coba coba bodohi aku lagi, mengerti?. Kalau sampai coba coba melarikan diri aku akan mebunuh kalian berdua di hutan saat ini juga " pria itu memperingati kami. Aku yang tidak punya pilihan lain  selain membantu Vino berjalan perlahan mengikutinya.

Setelah berjalan cukup jauh akhirnya sedikit lagi kami mencapai jalan utama. Bulan tampak lebih terang dari biasanya, aku menatap langit dan melihat beberapa bintang bersinar mengiringnya. Pria itu berjalan di depan dan sedikit lebih acuh pada kami. *Bruk* Vino terjatuh di tepi jalan saat pria itu terus berjalan sambil menerima telponnya.

"Tidak! Ayo Vino kamu pasti bisa bertahan." Aku berusaha merangkulnya.

"Jangan peduliin gue, lo harus lari selagi dia nggak sadar" Vino menyingkirkan tanganku dari tubuhnya.

"Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu" Aku berbisik kesal melihat tingkahnya yang pesimis.

"Pergi! Cepatlah." Vino mendorongku dengan sisa tenaganya

"Kamu bisa mati kehabisan darah jika terus disini." Aku menangis terisak melihatnya lemas menahan lukanya.

"lo tau kan gue kuat? Lo harus lari cari bantuan sekarang juga. Gue bakal bertahan disini sampai bantuan itu datang jadi, pergi! Lari zer" Vino melempariku dengan dedaunan kering disekitarnya. Aku tidak bisa menghabiskan waktuku dengan terus berdebat disini. Aku harus mencari bantuan terdekat untuk menyelamatkan kami.

"Bertahanlah! Aku akan mencari bantuan" meski dengan berat hati aku beranjak pergi meninggalkannya.

Sudah hampir 3 menit aku berlari dan pria itu tidak menyadari ketertinggalan kami. Sampai akhirnya *Duar* sebuah peluru nyaris mengenaiku. Buru buru aku berbalik dan melihatnya berjalan mendekat seperti malaikat maut. Pistol ditangannya teracung tepat kearah kepalaku. Aku yang sudah keluar dari hutan sedari tadi terpojok ketepian jurang saat ini. Pria itu berjalan mendekat semakin membuatku tidak memiliki pilihan.

"Lihat, apa yang akan kau lakukan sekarang?" pria itu tertawa puas.

"Bukankah sudah ku katakan, aku akan membunuh kalian jika kalian mencoba kabur dariku. Tadi kau bilang akan melindunginya. Lantas kau sebut dirimu ini teman macam apa? Seorang yang meninggalkan pria sekarat ditengah hutan dengan darah terus mengucur? Hei hei nak, aku yakin dia menaruh hati padamu sampai sampai dia rela mengorbankan hidupnya. Baiklah aku akan membuatnya simple. Bagaimana jika pergi bersama? Bukankah menyenangkan? Kau dan dia" Pria itu terlalu banyak mengarang dan berbicara.

"Oh tunggu, haruskah kupertemukan kalian untuk terakhir kalinya? Ya Tuhan. Apa apan ini, aku berhadapan dengan anak SMA? Ahhh sungguh tuan Seo sangatlah berbaik hati padaku. Kenapa juga dia harus menyingkirkan anak ingusan sepertimu hanya karena anak laki laki polos seperti Rama." Pria itu menyebut Rama dan membuatku geram

"T-tutup mulutmu! Bahkan jika aku tidak hidup lagi kejahatan akan tetap selamanya menjadi kejahatan dan tidak ada satupun kejahatan yang tidak terungkap. Perlahan lahan waktu yang akan mengungkapnya, kau hanya perlu menunggu pak tua." ejekku kesal padanya.

"Pak tua? Aishhh kau membuatku kesal saja" pria itu memutar revolvernya kembali dan bersiap menembakku

"Itu, pria itu" Suara Vino lemah namun terdengar jelas. Ia datang bersama beberapa polisi dan juga timnya dan *Duar* Pistol ditangan penjahat itu mengarah ke kakiku. Aku yang reflek menghindarinya terhuyung kehilangan keseimbangan.

"Tidak!" aku berteriak dan menatapnya di ujung sana. Tatapan tidak rela dan berusaha menggapaiku kembali. Ia sudah cukup terluka dan menderita hanya karena aku. Sekarang, aku harua pergi.

*Byur* Seketika pendengaranku menghilang. Aku menahan napas dalam dalam menahan tekanannya. Entah mengapa aku mulai diingatkan semua hal yang terjadi di hidupku. Ayah, ibu, Dwi, Rama, Appa, Vino, Syifa semua terlintas dalam ingatanku. Mengahabiskan waktu bersama mereka, bercanda dan tertawa. Entah kenapa itu membuatku tenang dan melupakan segalanya sementara.

Suara mereka terdengar jelas di telingaku, gerakan yang terekam oleh memori otakku terputar begitu saja saat ini. Rama yang selalu mengomeliku, Vino yang selalu ada, Syifa dan teman teman yang selalu membantu, Dwi yang selalu menjahili, Ibu, Ayah, Appa yang selalu mendukung semua keputusanku. Aku menyayangi kalian semua. Aku selalu mengharapkan kebahagian kalian dan aku berdoa jika aku dilahirkan kembali aku ingin bisa berkumpul kembali dengan kalian semua dan hidup bahagia bersama tanpa ada suatu hal yang memisahkan kita.

Rumah [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang