Pemuda tidak beradab

31 7 4
                                    

Bagai venus yang hanya bisa dilihat oleh seorang pengagum akan indahnya sunyi*

"Bu, ibu gapapa kan? ibu baik baik aja?" kataku pada ibu yang terbaring menatapku penuh arti mendalam. Senyumnya dapat aku pahami sebagai rasa syukur atas keadaan saat ini.

"Alhamdulillah yo mbak saiki dewe iso luih tenang" (Alhamdulillah ya kak, sekarang kita bisa lebih tenang) terang dwi padaku

"Wik mulai saat ini kita pakai bahasa indonesia ya, biar orang dirumah ini lebih mudah mengerti apa yang kita omongin" pintaku pada Dwi supaya suatu saat bi Inah atau siapapun di rumah ini bisa lebih mudah memahami apa yang dibicarakan dwi.

"Siap bos"katanya sambil menunjukkan ibu jarinya di depan wajahku.

*Tok....tok...tok...* 

"Non, bapak minta semuanya turun kebawah untuk makan siang. Non Zera sama mas Dwi sebaiknya mandi dulu non." Seru bi Indah di balik pintu.

"Tunggu bi, sebantar " kataku berjalan menuju pintu. Kulihat bi Inah membawakan satu nampan bersi makanan, buah dan juga air.

"Untuk siapa bi?" tanyaku polos dan meminta nampan itu dari bi Inah.

"Oh gak usah non, biar bibi aja. Non Zera bisa ke kamar sebelah tangga. Ini makanan buat Ibu non" Kata bi Inah menahan nampan yang ia bawa. Aku menatapnya sungkan tapi bi Inah bersikeras tidak membiarkanku membawanya. Ia terus saja mengatakan bahwa itu adalah tugasnya.

"Yaudah bi, Zera bersih bersih dulu ya. Kamarnya di seberang tangga kan bi?" kataku memastikan. 

"Ya non yang seberang tangga," jawab bi Inah sambil membawa nampan itu dan menyuapi ibu di kamar. 

Aku memutuskan untuk berjalan dan mencari sendiri. Sebelumnya aku sudah melewati tangga yang di maksud, tapi entah kenapa aku sekarang merasa tersesat. Rumah ini terlalu luas dan megah sehingga aku dapat tersesat jika tiak benar benar menghafal ruangannya. Setelah beberapa saat mencari kamar yang di maksud aku menemukan dua ruangan di dekat tangga. Aku mendekati salah satu ruangannya dan ternyata ruangan tersebut terkunci tidak bisa dibuka. "Ahh berarti bukan ini" kataku lega dan menghampiri ruangan di sebelah tangga satunya. Pintunya tampak sedikit terbuka. Aku masuk ke dalam kamar itu dan wahhhhh ruangan ini benar benar luas. Tempat tidur ini begitu nyaman dan halus seperti yang kubayangkan. Aku merebahkan badanku sejenak di atas kasur itu. Semerbak harum menyeruak di hidungku. Bau ini sangat menyengat dan membuatku berfikir sejenak.

*Ceklek* sebuah pintu terbuka membuatku terbangun dan terkejut.

"Aaaaaa" teriakku kencang begitu melihat sosok pria di hadapanku hanya memakai celana boxer dan handuk kimono yang tidak di kaitkan. Aku buru-buru mengalihkan pandangan darinya dan menutup mata dengan kedua tanganku.

Begitu halnya dengan pria di depanku. Ia buru-buru mengaitkan handuknya dan berbalik badan sambil memarahiku. "Hei! Apa kau sudah gila? bagaimana bisa kamu seenaknya masuk ke kamarku.

"K-kamarmu?" tanyaku bingung.

Pria itu sepertinya RAma, putra om Indra. Aku bisa merasakannya bahwa saat ini ia menjauh dari ku. Aku masih belum melepaskan tangan dan juga berbalik. Tiba-tiba saja pandangan tadi terlintas kembali di pikiranku. Buru-buru aku menepisnya dan menyesali perbuatanku. Setelah berfikir beberapa saat untuk mencari alasan, ia kembali dan menarik lenganku begitu saja. Aku berdiri terkejut menatap wajahnya tepat di depan wajahku. Aku menahan napas sebagai bentuk refleks terkejutku. 

"Lo ngapain sih duduk di kasur gue segala. Jadi kotor kan." teriaknya begitu membuatku lebih terkejut dengan perkataannya. Aku memang menyadari bahwa aku berasal dari tempat yang memang tidak bersih sepenuhnya.

Bi Inah datang mengetuk pintu ruangan ini. *tok..tok..tok..*

"Maaf mas Rama, ini salah bibi." Jelas Bi Inah di depan pintu yang setengah terbuka.

Rama yang masih tampak kesal membuka pintu itu dengan keras dan melemparkan ku dengan cengkramannya yang kuat sebelumnya. Aku dapat merasakan bahwa tadi darahku berhenti sesaat dan menahannya. Bi Inah yang sama terkejutnya denganku membantuku berdiri dari hadapannya. Suara sepatu melangkah ke ruangan ini membuat suasana semakin menegangkan. Om Indra yang melihatku kesakitan di hadapan Rama langsung menaruh tatapan dingin dan kesal pada anaknya. Om Indra memerintah bi Inah untuk membawaku pergi dari sana. Aku dapat merasakan aura menegangkan itu berada diantara Om Indra dan Rama. Suara teriakan Rama yang membentak ayahnya terdengar samar setelah aku pergi dari ruangan itu.

"Maaf ya non, bibi lupa karena banyak pekerjaan jadi kamar non Zera belum sempet bibi buka kuncinya" Jelas Bi Inah yang menatihku memasuki ruangan yang sebelumnya tadi terkuci. Bi Inah mendudukkanku di tepi kasur dan membawakan segelas air dari atas meja, sepertinya bi Inah menjadari ketidak adaanku di ruangan ini saat ia akan membawakan air ini. 

"Non Zera bisa bersih bersih dulu di kamar mandi itu ya non, Bibi mau nemuin Mas Rama. Gak enak soalnya gara-gara bibi mas Rama dimarahin bapak." Jelas bi Inah sebelum meninggalkan ruangan ini.

Aku yang mendengarnya mengangguk sesaat dan menahan langkah bi Inah, "Maaf ya bi, Zera udah buat salah" akupun meminta maaf pada bi Inah. Seperti tadi, bi Inah selalu mengelak dan mengatakan bahwa dirinya yang seharusnya bertanggung jawab. Setelah Bi Inah pergi dari ruangan ini aku memutuskan untuk mandi dengan berusaha berdiri dengan kedua kaki. Aku masuk ke kamar mandi itu dan terkejut dengan perabut yang ada di dalamnya. Benar benar tertata rapi, bersih dan tampak mewah dengan sentuhan warna biru dongker di dalamnya. 

Aku mandi dan menenangkan diri sejenak. Saat sedang menggosok badan, aku menemukan lebam di lenganku. Perasanku yang semula sudah tenang menjadi kesal ketika mengingat perlakuan Rama padaku. Setelah menyelesaikannya aku pergi ke ruangan ganti. Aku menyadari bahwa di dalam lemari itu hanya ada sebuah kemeja besar berawarna putih. Mau tidak mau aku harus memakainya. Selepas itu aku mengeringkan rambut dengan handuk dan merebahkan badan sejenak di sofa depan ranjang. 

Ingatan itu tiba-tiba terlintas kembali dipikiran membuatku terkejut dan terbangun. "Oh astaga, aku harus turun" Kataku pada diri sendiri begitu mengingat perkataan bi Inah tadi mengenai makan Siang. Dengan terburu-buru aku menyiris rambut dengan seadanya dan berlari turun. Tampak Om Indra dan Rama sudah duduk di meja makan dengan semua hidangan di atas meja. Om Indra yang melihatku melambaikan tangan memintaku mendekat. Aku duduk berada tepat di depan Rama. Ia tampak tidak memperdulikan kedatanganku dan sibuk memainkan ponselnya.

"Ah Zera, om baru ingat kalau kami tidak punya pakaian untuk anak remaja seusiamu. Bagaimana jika kamu membeli beberapa perlengkapanmu bersama Rama?" tanya Om Indra setelah memperhatikan pakaianku. 

"T-tapi nggak"

"Nanti kalau Rama ketemu temen-temen gimana pah" tanya Rama sambil menuangkan air di gelasnya.

"Ya pinter-pinter kamu lah. Kamu kan dah dewasa, mau bilang Zera pacar kamu juga gapapa" jawab Om Indra membuat Rama tersedak dengan minumannya.

"Apaan sih papa" jawab Rama setelah tersedak.

"Lah kamu itu juga, kenapa nanya gitu. Temen temenmu juga pasti bilang ah pacar Rama yang itu kali" Balas Om Indra dengan tawa kecil di bibirnya.

Aku merasa heran melihat ayah dan juga anak dihadapanku ini. Belum beberapa lama mereka bertengkar tapi sudah saling menggoda saat makan. Ada untungnya mereka melakukan ini, karena dengan begitu aku tidak merasa canggung duduk di meja makan ini. 

"Yok dimakan yang banyak. Oh iya dimana Dwi?" tanya Om Indra saat menyadari bahwa Dwi tidak ikut turun bersamaku.

"Ah iya, sepertinya Dwi ingin menemani ibu di kamar" jawabku saat hendak menyantap makanan di depanku.

"Ahhh rupanya dia sama seperti Rama saat kecil." goda Om Indra sambil menyantap makanannya.


Kira-kira gimana ya nasib Zera dan Rama setelah ini? apa mereka akan tetap melanjutkan pertengkaran mereka?

Rumah [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang