Saatnya memulai pertempuran

8 3 0
                                    


"Kenapa harus gue? Kenapa dunia ini nggak pernah adil sama gue zer! Kasih tau gue kenapa harus kaya gini" Vino jatuh terhuyung ke lantai dan menangis. Ini adalah sisi lain dari Vino yang aku kenal.

"Kenapa harus gue yang nyimpen semua rasa bersalah ini setelah gue berusaha berbuat baik sama dia! Jelasin ke gue." Vino menangis terisak dan nadanya sesekali meninggi memenuhi ruangan ini.

Aku berbalik dan mendekatinya terduduk dilantai marmer yang tampak indah ini. Vino dengan cepat menyandarkan kepalanya di bahuku dan menangis lebih kencang.

"Lo tau, apa yang gue alamin selama ini setalah jadi anak terlantar yang nggak pernah dapet kasih sayang orang tua? Sakit zer! Sakit!" Aku membiarkannya meluapkan semua emosi itu karena, hanya dengan begini aku dapat memahami situasi yang terjadi dan tidak menghakiminya begitu saja.

"Bokapnya rama itu bokap gue juga zer" Satu kebenaran lagi yang terungkap membuatku semakin terkejut, tapi aku menahan semua itu untuk saat ini.

Vino melepaskan wajahnya dari pundakku dan berbicara menatapku saat ini. Wajahnya tampak sedih dan frustasi, aku bisa memahaminya. "Bokap nyokap gue dulu terikat kontrak pernikahan. Keluarga bokap gue dulu punya hutang sama keluarga nyokap. Akhirnya kedua keluarga sepakat menikahkan mereka untuk melunasi hutang itu karena nyokap gue cinta sama bokap. Saat itu, mama belum tau kalo papa mencintai perempuan lain. Setelah usia kandungan mama 6 bulan papa dapat kabar kalau cewe yang di cintainya mengandung anak mereka. Disaat itulah keluarga gue hancur." Betapa terkejutnya aku mengetahui kebenaran keluarga ini. Aku tidak menyangka jika Vino dan Rama adalah saudara satu Ayah. Aku memeluk Vino dan menepuk nepuk pundaknya untuk memberi ketenangan sementara.

"Setelah mama ngelahirin gue, papa jadi bingung karena sebentar lagi anak yang dikandung wanita itu juga lahir. Ia tidak bisa menyimpan rasa bersalahnya dan membiarkan anak itu terlahir dan hidup tanpa memiliki ayah. Akhirnya setelah perjalanan panjang yang berat, papa mutusin buat cerai sama mama di umur gue 6 tahun. Mama yang nggak mau cerai terlibat perkelahian sama papa malam itu dan gue kehilangan mama dimalam itu juga." Aku bisa merasakan luka yang vino rasakan saat ini.

"Gue milih ikut tinggal sama saudara dan papa mengiyakannya begitu saja. Dia milih tinggal melembawa wanita itu ke rumah yang dulu mengukir kenangan indah gue." Betapa menyakitkannya menjadi Vino setelah selama ini menahan semua rasa sakit itu.

"Dan wanita itu, ya! Dia memang wanita yang dicintai papa gue. Tapi gue nggak pernah punya niat jahat buat nyelakain dia ataupun misahin mereka, karena gue tau rasanya kehilangan orang yang paling berharga itu sakitnya kaya apa." Vino masih terus menerus berbicara dan menangis menceritakan semuanya.

"lalu apa setelah ini? Gue nggak mau kehilangan lo cuma gara gara cowo sialan itu!" Vino mulai geram dan menjadi lebih emosional.

"Lo inget Vanesha? Dia, dia yang udah buat keadaan jadi seperti ini. Nggak seharusnya Rama bersikap gegabah waktu mengambil keputusan saat itu! Lo lihat? Wanita itu udah hampir dibunuh sama keluarga Vanesha gara gara Rama dan sekarang mereka nargetin lo buat jadi korban berikutnya. Dasar sialan, untung gue denger percakapan mereka di ruang backstage" aku semakin terkejut mengetahui banyak hal yang selama ini tampak baik baik saja di depanku.

"Kamu harus tenang vin, aku tau kamu cemas tapi kamu tetep harus tenang ya. Gapapa kamu hebat, kamu udah bisa laluin semua itu sendirian aku tau kamu kuat." Aku mengikuti alurnya dan membuat vino menjadi lebih tenang.

Tiba tiba saja ponsel Vino berdering, ia segera mengeluarkan ponsel itu dan mengangkat telponnya. "Lo bawa kemana zera pergi?"

"Lo nggak perlu cemas tentang itu, pikirin dulu masalah hidup lo baru lo bisa pikirin zera" Vino menutup telpon itu sepihak dan meletakkan ponselnya di lantai begitu saja dan kembali menyesali perbuatannya.

"Itu rama?" Tanyaku memastikan panggilan tadi. Vino hanya mengangguk dan menjambak rambutnya frustasi.

Kalin ini ponsel kembali berdering, tapi ini ponselku. Dwi yang menelpon," Hallo mbak, mbak dimana? Ini temen mbak ada yang kerumah katanya nitipin pesanan buat mbak, dia juga mau nungguin mbak pulang." aku menaruh rasa curiga kali ini. Aku menatap vino sesaat dan memutuskan mempercayai perkataannya.

"Bilangin mbak ada janji sama temen lain jadi mungkin pulangnya terlambat gitu" Aku memberi tau dwi dan segera menutup telpon itu sepihak.

"Kalau kamu bisa nyelamatin bundanya Rama bararti kamu juga bisa nyelamatin aku. Vino, dengerin aku kali ini. Kita harus kerja sama buat mengungkap semuanya meskipun butuh waktu yang panjang. Aku yakin kita pasti bisa mengungkap semuanya." Aku memberi semangat pada Vino untuk lebih tegar.

"Tapi, lo bisa aja diakuin udah mati zer. Itu bakal ngerugiin hidup lo. Lo udah siap berpisah sama keluarga lo?" Vino mempertimbangkan saranku.

"Lo yakin lo siap kehilangan Rama?" Tanya Vino telak membungkamku.

"Pikir sekali lagi Zer" Kata Vino meyakinkanku.

"Nggak apa apa yang penting semuanya jadi aman dan terkendali sampai kita bisa mengungkap kejahatan keluarga Vanesha." aku tersenyum memberinya semangat, meskipun di dalam hati aku merasa cemas dan takut harus kehilangan semua yang aku miliki saat ini.

Vino mulai berdiri dan mempersiapkan semua rencananya. Setelah merasa lebih baik, dia membuka pintu rahasia dibalik rak buku di ruang kerja ini. Aku melihat beberapa orang sedang bekerja mengahadap layar komputer dengan headphone di kepala mereka. Aku masuk bersama Vino dan melihat semuanya. Akses jalan dan rumah ini semua terekam jelas dilayar layar yang terpasang di tembok ini. Aku sungguh tidak menyangka jika dibalik ruang kerja ini ada ruang kerja sungguhan yang lebih mirip dengan ruangan agen detektif rahasia.

"Kenapa kamu nggak langsung mengungkap semua kejahatan Keluarga Vanesha vin? Kamu punya mereka dan aku yakin mereka perkerja yang handal." tanyaku penasaran

"Keluarganya selalu nutupin kesalahan yang mereka lakukan dengan membungkam korban menggunakan uang" kata Vino memberi penjelasan.

"Pak An, sepertinya aku membutuhkan mayat lagi untuk rencana kali ini." Vino mengataknnya pada seorang pria yang berdiri di sampingnya.

"Rencana apa kali ini tuan?" Tanyanya kembali pada Vino.

"Mengelabuhi kadal sialan itu." Aku yang mendengar dan melihatnya merasa ngeri sendiri saat mendengar kata mayat.

Setelah kami menyusun Rencana akhirnya kami memutuskan untuk mereka adegan terlebih dahulu dan mengelabuhi lawan dengan melacak pergerakannya. Vino memang memperkerjakan beberapa hacker dan ahli ITE lainnya di ruangan ini. Diusianya yang terbilang muda menurutku ini adalah pencapaian terbesar dalam hidupnya setelah semua hal buruk itu terjadi.

"Oke pak An, aku setuju dengan rencana itu. Pastikan semua berjalan lancar baik plan A maupun plan E. Aku tidak mau membahayakan nyawanya hanya untuk mengungkap kadal buta itu" Vino menjetujui rencana yang dibuat oleh pria bernama pak An itu.

Rumah [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang