Lingkungan sekolah tidaklah seluas itu sampai bisa membuat Satria dan kawan kawan kesulitan hanya untuk mencari seorang anak. Tiga hari berlalu, ditambah duapuluh menit setelah insiden telepon tadi dan mereka masih belum menemukan adik Andra yang bernama Jinan itu.
"Buset, lo bawa makanan sebanyak ini buat apa sih? Pegel sial" Gerutu Andra. Mereka telah berhasil mengambil tasnya masing masing karena kebetulan melewati kelas Satria dan Chenle, dan saat itu juga andra memerintahkan mereka untuk segera memindahkan makanan yang mereka titipkan kepadanya.
"Ya buat nyetok lah, lagian di kantin gada makanan instan. Makanan sehat semua bosen." Jawab Chenle kemudian menggendong tasnya. Belum sempat mereka mengambil langkah untuk melanjutkan perjalanan, sebuah suara menghentikan mereka.
'cklek'
'dor'
"Eh ayam!" Kaget Satria saat sebuah peluru melesat menggores lengan kirinya begitu saja. Dia segera mengambil kuda kuda untuk bertahan. Sementara itu dia memerintahkan Andra dan Chenle untuk bersembunyi.
Pemuda yang menjulang tinggi itu mengangkat tongkat baseball milik Andra saat ia melihat siluet orang mendekat. Ia tidak melihatnya dengan jelas karena orang itu hanya disinari cahaya bulan yang masuk melalui jendela.
"SIAPA LO?!"
Siluet itu berhenti sejenak. Kemudian melempar sesuatu yang ternyata seseorang ke dinding. Jujur saja satria tidak menyadari bahwa siluet itu menyeret seseorang bersamanya.
"Ugh uhuk!" Seseorang yang baru saja dia lempar itu terjatuh dan terbatuk darah di dekat Satria. Pemuda itu memegangi perutnya dan berusaha untuk bangkit.
Satria sedikit meringis saat melihat anak itu. Sungguh, kondisinya sangat memprihatikan. Tapi dirinya tidak sempat menolong karena pemuda di depannya semakin mendekat.
"Oh? Satria?"
"Eric?" Satria menurunkan tongkat baseball nya saat mendengar suara yang sedikit familiar di telinganya. Ditambah wajah sosok itu telah terlihat oleh cahaya lampu yang berada tak jauh dari tempat satria berdiri.
Eric van Zoldyck. Teman satria sedari SMP. Satria bahkan tidak ingat ia berada satu sekolah menengah atas dengan Eric, mungkin karena gedung mereka yang terpisah. Tetapi memang dari dulu dia tidak terlalu dekat dengan Eric. Hanya sebatas teman sekelas.
Dari tempatnya, satria bisa melihat Eric tersenyum sangat lebar dan mendekati anak yang tersungkur tadi.
"Nah satria, Chenle mana? Mumpung mainan kita udah balik, Gue mau ngajak dia main kaya dulu lagi. Kangen tau..." ujar Eric dengan nada sedih.
"Ahk!"
"Eric!"
"Apa?" Tanya Eric tak berdosa. Menatap polos kepada satria selagi tangan kanan nya menarik rambut pemuda itu dengan kuat. Tak dipedulikannya ringisan anak itu. Justru senyum Eric semakin lebar melihat darah yang menetes dari hidungnya.
"Lo apa apaan anjing?! Lepas ga!" Satria kembali mengangkat tongkat baseball nya.
Eric hanya tersenyum miring dengan alis terangkat satu. Dia melepaskan tangannya dari rambut anak itu dan membawanya bersandar ke dinding.
Eric merapikan seragam anak itu yang kusut, mengusap darah yang menetes kemudian menepuk pipi sang korban pelan. Eric membisikkan sesuatu yang membuat anak itu mengepalkan tangannya kuat dengan tatapan tajam menatap Eric.
Pemuda berdarah Eropa itu berdiri lalu berbalik menghadap Satria.
"Jadi-" Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya. Eric merasa sebuah benda tajam menembus dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Main Character
Random𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐭𝐮𝐠𝐚𝐬 𝐢𝐧𝐢 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡... 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐬𝐢 𝐩𝐞𝐦𝐞𝐫𝐚𝐧 𝐮𝐭𝐚𝐦𝐚. Warning! - Local - Semi baku (?) - Harsh word - Upload ulang. Enjoy!