"sat"
"Heh setan. Gue udah bilang jangan panggil pake nama yang depan ye"
"Halah udah mau mati aja lagak lo"
"Cangkeme hemm!" Andra yang semula menatap langit ala anak galau pun menoleh saat mendengar keributan yang berasal dari sepasang sahabat yang lebih terlihat seperti anak kembar itu. Mereka berdua saat ini tengah berdebat mengenai nama Satria yang ketika dia di panggil dengan suku kata terdepannya, itu akan terdengar seperti umpatan.
Chenle dari dulu memang suka sekali mengejek Satria perkara nama depannya. Sampai pernah suatu ketika Satria menangis sesengukan saat pulang dari rumah Chenle.
Masih dengan tangisnya yang pilu dengan polosnya Satria mengganti namanya di kartu keluara dengan nama Prince Eric lantaran Chenle selalu mengejek namanya itu. Dan berakhir dengan keduanya dimarahi habis habisan oleh sang ibunda tercinta.
Melihat mereka berdua, Andra menjadi teringat dengan adik satu satunya. Adiknya yang selalu menemani Andra di saat kesepian menyerang setelah kepergian ibunda tercinta.
Meskipun Andra sering usil kepada adiknya, tak pernah sekalipun terpikirkan di kepala andra untuk membenci adik laki lakinya itu. Andra dengan senang hati akan menjahili adiknya demi melihat wajah Jinan yang lucu ketika sedang marah hingga wajahnya memerah.
Adiknya itulah satu satunya hiburan bagi Andra setelah kepergian sang ibunda. Ayah? Hmm sepertinya itu adalah kata yang asing bagi Adinata bersaudara ini.
Andra butuh kasih sayang orang tua. Terlebih lagi Jinan, Andra rasa Jinan jauh lebih membutuhkan itu semua. Apa yang kalian harapkan ketika seorang anak yang bahkan belum genap berusia tiga belas tahun ditinggal sang ibunda untuk selamanya, dan disusul ayahnya dengan alasan yang tidak mereka ketahui sama sekali?
"Sst, tu bocah kenapa dah?" Satria awalnya merasa kesal karena Chenle mengalihkan topik pembicaraan di tengah perdebatan mereka, tetapi segera menoleh setelah Chenle menunjuk ke tempat Andra duduk menatap lagit.
"Ya lo kira gue Tau? Samperin jangan?" Tanya Satria. Tanpa ada percakapan lagi chenle dan satria menghampiri Andra.
Mereka menatap satu sama lain saat melihat air mata di pipi Andra.
"Bah. Nangis kau?"
Andra tersentak. Dia menatap satria dan Chenle yang juga menatap ke arahnya. Pemuda tampan itu menggeleng kemudian turun dari bingkai jendela yang sudah tidak berkaca, tempatnya duduk menikmati langit malam tadi.
"Jeje gasuka gelap" Gumam Andra sambil lalu. Tentu saja satria dan Chenle mendengarnya. Tapi mereka tidak paham apa yang dimaksud oleh teman yang baru mereka temui dua hari yang lalu itu. Well, mungkin lebih bisa disebut kenalan.
Gudang adalah tempat persembunyian yang bagus. Bukan gudang basecamp chenle dan Satria. Tetapi gudang sekolah yang benar benar gudang. Hanya berisi perlengkapan olahraga yang sudah tidak terpakai dan beberapa kursi yang tertata tidak terlalu rapi di bagian pojok.
"Kalau gue mati di sini gimana ya?" Celetuk Chenle tiba tiba. Mengundang tatapan tidak suka satria dan tatapan datar Andra.
"Pa maksud?"
"Ya, kalo gue mati disini gimana?" Ulang Chenle tanpa beban.
"Gue sukuran sambil ngundang red pelpet" Jawab Satria sengit. Dibalas decakan malas oleh Chenle.
"Kek mampu aja lo samsul. Btw, kalo gue mati beneran bilangin sama mamah jangan ngeliatin mas Al mulu ye"
"Ck. Gausah goblok deh. Kita pasti bakal hidup kok. Gue gaakan mati sebelum ketemu teteh Seulgi."
"Emang kita bisa keluar dari sini?" Satria mendengus, dan Andra menoleh ke arah Chenle.
"Heh bujang. Kalo lo ngomong mati mati lagi gue ambil bola basket lo" Ancam Satria.
Chenle merengut tidak suka mendengar ucapan satria. Sampai kapanpun dia tidak akan sudi bola basket kesayangannya di sentuh oleh tangan kotor Satria.
Bola basket bertanda tangan Stephen Curry itu Chenle dapatkan dengan bersusah payah. Dan ia tidak akan pernah membiarkan siapapun itu menyentuh bola basketnya, sekalipun itu Satria.
"Lo berani nyentuh Sofia gue betot lo anying!"
Lihat? Bahkan bola itu diberi nama olehnya.
"Halah udah mau mati aja lagak lo" Satria melemparkan ucapan chenle tadi, mengakibatkan jidat mulusnya memerah terkena sentilan seorang Alexander Zhong.
Lagi lagi perdebatan yang tidak berfaedah. Andra menghela nafas melihatnya, kemudian membuka handphone nya untuk menghubungi adiknya sekali lagi.
"DEK!" Satria dan Chenle yang tengah piting memiting pun sontak mengalihkan pandangannya kepada Andra yang terlihat tersenyum antusias sambil meletakkan handphone di samping telinganya.
"Dek? Ini Abang! Lo dimana?" Andra sempat was-was saat tidak mendengar suara apapun. Tapi wajahnya kembali cerah saat mendengar suara meskipun tidak terlalu jelas.
"Je?"
"To- long..."
"Hah?" Andra menutup telinga kirinya dan memfokuskan pendengarannya. Berharap bisa mendengar lebih jelas.
"Tolong bang...."
"Dek?! Lo dimana? jawab abang!!"
"...."
"Ananda Jinan Adinata!" Andra mengusap wajahnya frustasi karna yang ia dengar hanyalah erangan kesakitan.
"Ketemu."
"LO SIAPA ANJING?! ADEK GUA DIMANA HAH?!! WOY! ARGH SIALAN!"
Dengan perasaan panik luar biasa Andra mencari barang yang sekiranya bisa ia jadikan senjata.
Dia sudah tahu pasti jika adiknya masih hidup. Dan dia tidak bisa menjamin akan tetap seperti itu jika dirinya tidak bergerak.
Andra menoleh dengan kesal saat merasa ada yang menggenggam lengannya. Dan ternyata itu adalah Satria.
"Lo harus tenang ndra"
"Tenang? Lo bilang tenang? Gue baru aja tahu kalo adek gue masih hidup tapi dia lagi dalam bahaya. DAN LO MINTA GUA TENANG?!!" Emosi Andra memuncak. Sementara Satria menghela nafas.
"Oke oke kita cari adek lo. Tapi lo harus tenang dulu ndra. Lo gamau kan mati sebelum ketemu adek lo cuma gara gara gegabah?"
Emosi Andra surut perlahan. Ucapan Satria memang ada benarnya. Tidak akan bagus jika dia mati dibunuh orang lain sebelum bertemu adiknya.
"Tapi kalo adek gua yang pergi duluan gimana sat?"
Satria menahan kesal karena Andra ikut ikutan memanggilnya dengan nama itu. Kemudian mengambil tas abu abu dan tongkat baseball milik Andra.
"Gue tau ndra. Kita emang harus cepet, tapi jangan gegabah. Dengan lo emosi kaya tadi, tanpa sadar lo bisa bahayain diri sendiri tau ga?"
Setelah melemparkan tas abu abu itu kepada pemiliknya, satria membuka pintu gudang dan memberi isyarat Andra dan Chenle untuk pergi.
Satria dan Andra segera berlari. Sementara Chenle berjalan di belakang mereka dengan seringai kecil tersemat di bibir nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Main Character
Acak𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐭𝐮𝐠𝐚𝐬 𝐢𝐧𝐢 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡... 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐬𝐢 𝐩𝐞𝐦𝐞𝐫𝐚𝐧 𝐮𝐭𝐚𝐦𝐚. Warning! - Local - Semi baku (?) - Harsh word - Upload ulang. Enjoy!