"Tumben ga di ruang pribadinya Jeff?" Tanya seseorang kepada Diza. Biasanya saat mereka mempunyai masalah, mereka akan membicarakan nya baik baik di ruangan pribadi milik Jeffrey.
Dan karena itulah beberapa orang mempertanyakan tentang kedekatan hubungan mereka.
Yang tentu saja hanya sebatas sahabat.
Diza yang tengah duduk di bawah pohon besar menoleh ke atas. Dan yang ia temukan adalah Tian, salah satu bawahan Jeffrey yang juga temannya.
"Males" jawab Diza singkat.
Tian menggeleng pelan kemudian ikut duduk di samping Diza.
"Gue turut berduka soal Ezra"
"Ezra masih hidup."
"Diza..."
"Ezra masih hidup Tian!!" Bentak Diza tanpa menoleh ke arah Tian.
Ezra masih hidup. Adiknya masih hidup. Dan tidak akan ada yang bisa mengubah status itu kecuali dirinya melihat dengan mata kepalanya sendiri jasad sang adik.
"Jeffrey brengsek." Celetuk Diza tiba tiba.
"Baru tahu lo?" Tanya Tian tidak percaya. 23 tahun Jeffrey dan Diza hidup bersama, dan Diza baru sadar sahabatnya se-berengsek itu?
Bahkan Tian yang baru bertemu Jeffrey kurang dari tiga tahun sudah bisa merasakan betapa brengseknya pria itu hanya dari auranya.
Oke, itu sedikit berlebihan. Tapi hey! Tian berkata jujur!
"Gue gaakan biarin dia korbanin Jay..."
"Apa?! Jay??!!" Tanya Tian terkejut. Mengapa Jay? Apa hubungannya? Atau jangan jangan...
"Iya. Jay ketahuan. And- they torture him" Cicit Diza di akhir kalimat.
"Sialan" Geram Tian. Merasa marah kepada Jeffrey, tetapi juga merasa marah kepada perusahaan sialan itu.
"Emm permisi?"
Keduanya menoleh bersamaan kepada seorang gadis yang datang menghampiri mereka.
"Kak maaf, tapi apa saya boleh tanya soal simulasi ini?" Tanya gadis itu sedikit canggung.
"Oh, kalo itu tanya Diza aja nih dek" Ujar Tian dan menepuk punggung Diza keras kemudian melenggang pergi begitu saja.
"Jadi emm, kak?"
"Panggil bang aja kalo sama gue mah"
"Okelah bang"
"Jadi?" Tanya Karina, menanyakan ulang pertanyaan yang sangat ingin ia ketahui jawabannya.
"Oh soal simulasi ya. Setahu gue Main Character ini dibuat untuk menggantikan UN, dan yang kalian lalui ini baru simulasi. Haha, gila kan?"
Saking terkejutnya Karina, gadis itu tidak mampu berkata kata dengan mulutnya yang terbuka lebar.
"Lo tahu berapa jumlah murid yang bunuh diri dalam kurun waktu 3 tahun terakhir?"
"Lebih dari dua ratus..." Gumam Karina mengingat ingat berita yang dibicarakan oleh kakaknya sebulan yang lalu di ruang keluarga.
"Iya, dan karena itu. Ada orang gila yang seenaknya nyeletuk 'Daripada murid dibunuh perlahan oleh pelajaran. Bagaimana kalau kita mengadakan ajang pembunuhan untuk menggantikan sistem UN sekalian?' gue gatau apa yang ada dipikiran orang orang diperusahaan itu, karena kurang dari satu bulan ide gila itu diusulkan dan-"
"Mereka menyetujuinya" tebakan Karina seratus persen benar.
Diza mengangguk pelan "Dan pengen denger ga apa yang lebih parah?"
Karina mengangguk pelan. Enggan sebenarnya untuk mengetahui alasan yang lebih parah dari ini. Karena dirinya sudah memiliki bayangan tentang hal itu.
"Kepala sekolah kalian setuju untuk mengorbankan muridnya"
Ah. Seperti dugaan.
Melihat gadis disampingnya tidak merasa terkejut, Diza tertawa kecil. Tawa sarkas yang membuat siapa saja yang mendengarnya merasa tidak nyaman.
"Daripada mengubah sistem pendidikan di negara ini. Mereka lebih memilih mengorbankan nyawa muridnya. Funny, isn't it?"
"Yeah. Very funny."
"Lo pasti udah menduga kan. Kenapa mereka lebih memilih opsi yang ekstrim?"
"Money?"
"Exactly!"
Karina memijat dahinya frustasi. Ada apa dengan orang orang berdasi itu? Ada apa dengan negaranya? Apa yang terjadi dengan kepala sekolah yang berkedok pahlawan tanpa tanda jasa ini?
Menghilangkan rasa kemanusiaan demi uang dan kekuasaan. Sungguh mengesankan.
---
"Kenapa lo kesini? Kangen kita ha?"
"Matamu! Gue bosen jir dikamar sendiri" Jawab satu satunya gadis yang tengah terduduk di ambang pintu. Menolak masuk lebih dalam karena hanya ada makhluk halus di sana, katanya.
"Ngaku lu kangen sama gue kan?!" Tunjuk Ben tanpa rasa malu sama sekali.
"Nyeyeye bicit. Btw, udah tahu alasan dibalik simulasi itu ada?"
Seketika satu ruangan itu hening. Suasana bersahabat yang terbentuk tadi hilang seketika.
Mereka semua teringat tentang perkataan Giska, yang menjelaskan asal usul simulasi sialan ini. Dan apa yang akan terjadi kedepannya jika simulasi ini sukses dan Main Character menjadi ujian tetap di di Indonesia.
"Iya"
"Udah gila emang"
"Yeah. Fckn crazy"
"Sinting"
"Apa kita bakalan mati?"
Hening.
"Engga Ris. Selama kita bisa mencegah projek ini sebelum seratus persen" Ujar Satria menanggapi pertanyaan Haris yang terdengar menggelikan di telinganya.
"Daripada itu, apa temen temen gue bisa diselamatkan ya?" Satria menerawang ke langit langit. Berandai bahwa ia aka bertemu dengan Chenle lagi.
Benar juga. Dari sekolah yang lain, yang mengalami kerusakan sistem hanya SMA Mahardika. Sekolah milik Satria.
"Pasti bisa lah, positif thinking aja dulu" Randi menenangkan Satria masih dengan pandangannya yang fokus dengan handphone nya.
"Main apasi? Epep?" Tanya Setya dengan senyum mengejek nya ke arah Randi.
Yang ditanya menatap sinis Setya. Menutup ponselnya dan duduk tegak menghadap Setya.
"Gue ga main game njir. Gue cuma mastiin kalo kita ga lagi ada di simulasi. Kan ga lucu kalau ternyata kita ada di simulasi dalam simulasi"
"Caranya?"
"Chat temen lah. Gitu aja kok repot" Jawab Randi kelewat santai. Tidak seperti Randi yang sebelumnya.
Faktor kenyang kah?
Sementara Satria masih dengan lamunannya, tertawa kecil saat mengingat betapa konyol dirinya yang menangisi chenle dalam sebuah simulasi.
Satria berani bertaruh sahabatnya itu tengah tertawa dengan tawa khasnya yang seperti lumba lumba, menertawakan Satria yang menangisinya waktu itu.
"Tunggu gue le, gue bakalan nyelamatin lo secepat mungkin"
KAMU SEDANG MEMBACA
Main Character
Random𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐭𝐮𝐠𝐚𝐬 𝐢𝐧𝐢 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡... 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐬𝐢 𝐩𝐞𝐦𝐞𝐫𝐚𝐧 𝐮𝐭𝐚𝐦𝐚. Warning! - Local - Semi baku (?) - Harsh word - Upload ulang. Enjoy!