"Aku menyesal! Seharusnya aku bisa mengendalikan egoku! Semua terlambat! Semuanya sia-sia!"
.
.
.
.
.Sudah beberapa hari ini Sungchan termenung di rooftop sekolah. Satu minggu yang lalu setelah keluar dari rumah sakit, pria Jung itu sudah tak memiliki semangat hidup.
Kabar yang disampaikan oleh Jeno beberapa waktu yang lalu terus mengguncang mental Sungchan. Kabar kematian Zhong Chenle serta kepergian Zhong Xia Hui benar-benar membuatnya terpukul. Terlebih, Yangyang memutuskan untuk keluar dari SIHS dan melanjutkan studinya di Taiwan ― negeri asalnya.
"Aku bodoh! Aku benar-benar sangat bodoh!" Sungchan terus menerus mengutuk dirinya.
Takdir memang tak bisa dirubah dan Zhong Chenle tak berhasil diselamatkan oleh putrinya yang berasal dari masa depan.
Gempa yang menimbulkan longsoran salju berhasil mengubur banyak korban dan jasadnya cukup susah ditemukan dan diidentifikasi. Ledakan di pabrik akibat runtuhnya bangunan membakar beberapa korban yang tertindih puing-puing bangunan.
"Jika saja malam itu aku berpikiran jernih dan dapat membantu mencairkan suasana, pasti Chenle dapat berdiri sekarang disini. Seandainya aku mengejar Chenle lebih awal saat di pabrik, pasti Chenle bisa selamat." Sungchan memandang kosong para siswa yang berjalan di bawahnya. Ia terus menyesali perbuatannya.
Sungchan kembali mengingat informasi yang diberikan Jeno saat di rumah sakit. Seorang mayat yang tak bisa dikenali di bawah reruntuhan bangunan, berhasil dikonfirmasi. Makhluk tak bernyawa itu sudah dipastikan Zhong Chenle yang dibuktikan melalui tas gendong yang dikenakannya dan identitas diri yang berada di dalamnya.
Beberapa korban yang lain tak ditemukan keberadaannya seperti Xia Hui dan William. Pria Jung itu tahu bahwa sang mantan kekasih menghilang karena kembali ke masa depan. William dan siswa yang lainnya masih dalam pencarian tim SAR karena keluarga mereka memintanya.
Setelah ditemukannya jasad Chenle, keluarga Zhong membawa tubuh tak bernyawa yang wujudnya sudah tak bisa didefinisikan lagi ke Shanghai untuk dimakamkan disana.
"Buat apa aku hidup seperti ini? Bahkan aku gagal menyelamatkan Chenle. Daripada luka ini, akan lebih baik jika aku mati saja!" Sungchan meratapi nasibnya seraya memandang tangan kanannya yang dibalut Arm Sling karena patah tulang.
Pria Jung itu segera menaiki pembatas rooftop. Sudah tak ada harapan lagi ia hidup.
"Temui aku di masa depan. Aku mencintaimu, Jung Sungchan."
Ucapan Xia Hui seketika terlintas di pikiran Sungchan. Hal itu dapat menghentikan aksi bunuh dirinya.
"Mengapa waktu kita harus berbeda?! Mengapa kau datang ke masa ku dan membuatku jatuh cinta padamu?! Mengapa luka ini begitu sakit setelah mengetahui kita tak bisa bersama?! Mengapa kau datang jika akhirnya kau pergi meninggalkanku?!"
Sungchan semakin tidak karuan. Perasaannya kacau kembali mengingat kepergian Xia Hui. Teriakan serta tangisannya sudah tak bisa terkontrol lagi.
"Kau juga, Zhong Chenle! Kau berkata akan tetap bersamaku! Mengapa kau pergi dengan gampangnya meninggalkanku?! Seharusnya kita tetap bersama!" tangisannya benar-benar kacau. Teriakannya semakin kencang.
"Dan kau dengan mudahnya juga akan mengakhiri hidup?" Suara seorang pria tiba-tiba menginterupsi keadaan dan berhasil membuat Sungchan menolehkan kepalanya.
Jeno muncul dari pilar setengah jadi yang berada di rooftop. Tampilannya sedikit kacau dan matanya terlihat sembab. Ia berjalan mendekat ke arah Sungchan.
"Jen."
"Bukan hanya kau yang bersedih. Semua yang menyayangi Chenle juga merasa demikian. Setelah Chenle, kau akan meninggalkanku sendirian disini?" Terlintas tatapan kebencian terpancar di mata Jeno.
Sungchan terduduk di tempatnya. Kepalanya tertunduk tak kuasa menahan rasa sakit yang ia rasakan.
"Aku bahkan tak sempat melihat jasad Chenle." rintihan tangis Sungchan mulai terdengar kembali.
"Tak ada yang melihat jasadnya selain keluarga Zhong sendiri. Memang lebih baik kita tak melihatnya karena itu akan semakin menyiksa." Jeno mulai memeluk tubuh jangkung yang terduduk di depannya. Air matanya terus mengalir di atas pipinya.
❆❆❆
Di kamar, Sungchan terus menerus memandang playstation pemberian Chenle saat ulang tahunnya. Ia mengusap lembut benda itu. Pikirannya kosong.
Bingkai foto yang berdiri di atas nakas putihnya, Sungchan menatap benda itu dengan perasaan sedih. Sebuah foto menunjukkan para bujang berjejer bersama saat mereka bermain ski tahun lalu.
"Seharusnya liburan semester kemarin, kita bermain ski bersama." Sungchan menatap kosong foto itu.
Tok! Tok!
Pintu kamar Sungchan diketuk pelan. Jaehyun muncul dari sana dan membawakan nampan yang berisi makanan untuk adiknya.
"Aku membawakan makan malam mu. Kau melewatkannya. Kau juga harus meminum obatmu agar lekas sembuh." ucap Jaehyun lembut. Nampannya ia letakkan di atas meja belajar sang adik.
Tak ada jawaban. Sungchan masih menatap foto yang kini sudah berada di tangan kirinya.
"Kau belum membasuh tubuhmu, Chan. Selagi belum terlalu malam, kau sebaiknya mandi dulu." Jaehyun menyarankan.
Lagi-lagi tak ada jawaban. Jaehyun mendekatkan diri pada adiknya. Tangannya mulai menyentuh bahu Sungchan dengan lembut.
"Berat memang jika sahabat sendiri meninggalkan kita, tapi kau juga harus ikhlas. Chenle tak akan senang jika kau terus bersedih." Jaehyun mencoba menghibur. Sesekali tangannya mengelus punggung sang adik.
"Aku harus apa hyeong? Rasanya sakit sekali." Kali ini Sungchan menatap Jaehyun dengan tatapan sedih.
"Teruslah hidup dan jalani semuanya dengan bahagia. Aku yakin dia akan bahagia juga." Jaehyun menyemangati.
"Apa aku bisa?"
"Tak ada yang tak bisa jika kita terus berusaha. Percayalah, kau mampu melewati semua ini. Jangan biarkan Chenle bersedih disana." Jaehyun semakin menyemangati. Ia harus bisa tersenyum disaat Sungchan masih terpuruk dengan kepergian Zhong Chenle.
"Baiklah. Akan ku coba. Gomawo, hyeong." Sungchan mengambil makan malamnya dan menghabiskannya perlahan. Tak lupa, obatnya juga ia minum agar kondisinya semakin membaik.
Jaehyun tersenyum lega sekaligus senang melihat Sungchan mulai bangkit dari kesedihannya. Ia berjanji akan selalu menghibur sang adik agar terus merasa bahagia.
"Hyeong."
"Ada apa?"
"Saranghae." ucap Sungchan lirih.
"Apa katamu? Aku tak mendengarnya." Jaehyun berpura-pura.
"Aniya." Sungchan mengelak.
Dengan pergerakan yang cepat, Jaehyun mendekap tubuh jangkung Sungchan. Ia memeluknya dengan penuh cinta. "Nado saranghae, uri dongsaengie."
To be continue~
»»oOo««
Don't forget to vote and comment, if you like it.
Thank you (감사합니다) 🌈🌈
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Past to Present || [Jung Sungchan]
Novela Juvenil"Seandainya waktu itu aku mengejarnya lebih awal, pasti hal itu tak akan terjadi." Jung Sungchan - seorang pria yang selalu terjebak oleh masa lalunya. Rasa bersalah dan penyesalannya selalu menyelimuti. Segala usaha untuk mengobati itu semua tak me...