Bagian Tiga Puluh Dua

143 8 0
                                    


Jidan tertegun, ia terdiam sebentar menatap ke depan apa ia salah lihat? Namun beberapa kali mencoba membenarkan pandangannya, ia tetap melihat objek yang sama. Perempuan dengan gaun putih selutut yang berjalan ke arahnya, semakin perempuan itu mendekat, Jidan bisa mengenalinya, Hana Mahadeeva tersenyum menatap Jidan yang hanya berdiam diri di depannya dengan bibir terkatup rapat.

"Hai." Suara lembut itu menjadi satu-satunya tamparan, membuat Jidan tersadar dari realita. Itu benar Hana? Bukannya Hana ... Pertanyaan itu langsung ia tanyakan di dalam hati, bibirnya seperti kelu, suaranya hanya sampai ke tenggorokan.

"Aku di sini." Perempuan di depan Jidan mendekat semakin mengikis jarak di antara mereka, sehingga Jidan bisa merasakan tangan yang menyentuh pipinya.

"Hana." Jidan berucap lirih, ia masih tidak menyangka dapat kembali melihat Hana, sementara Hana tertawa kecil lalu mengangguk beberapa kali.

"Iya ini aku."

Jidan tersenyum, ia meraih tangan Hana yang ada di pipinya lalu mengenggam erat, matanya tak lepas memandangi perempuan itu, tidak ingin melewatkan satu detik dengan tidak melihat Hana Mahadeeva.

"Aku di sini Jidan." bisik Hana lagi, lalu tanpa membalas ia merengkuh tubuh Hana, membawa Hana ke dalam pelukannya, laki-laki itu mendekap erat tubuh Hana, seperti tak ada hari esok, ia tak melepaskan pelukannya, menikmati ketenangan dengan memeluk perempuan yang di sayanginya. Begitu lama ia mendekap Hana, menghirup aroma buah leci dari perempuan tersebut, matanya terpejam menikmati pelukan hingga di rasanya tangan kosong, mata laki-laki itu terbuka. Ia menatap ke depan, tidak ada lagi Hana yang berdiri di depannya, kepala Jidan menggeledah ke sekitar taman, barangkali ia menemukan Hana di sana, kakinya bergerak cepat berlari kian kemari agar bisa menemukan Hana-nya. Namun nihil, perempuan itu hilang, dan Jidan tak berhasil menemukannya.

Laki-laki itu akhirnya terduduk lesu, ia memukul pelan tanah basah sambil berteriak memanggil nama Hana.

Nafas tersenggal dan bulir keringat menemani Jidan yang terbangun dari tidurnya, laki-laki itu meringis, menghela nafas panjang, tangannya merogoh segelas air mineral yang berada di atas meja samping tempat tidur.

Setelah meminum cairan bening itu hingga habis, ia bersandar di tumpukan bantal, masih mencerna dengan apa yang baru saja terjadi. Ternyata mimpi, hanya bunga tidur tentang Hana yang kembali hadir, setelah Hana pergi, laki-laki itu kerap bermimpi tentang Hana, dan berakhir dengan terbangun dipenuhi keringat atau air mata.

Kepala Jidan menoleh ke depan, ia menatap lukisan bergambar wajah Hana yang ia pasang di dinding kamarnya, barangkali jika sewaktu-waktu laki-laki itu rindu pada Hana, ia bisa memandangi lukisan dengan wajah Hana, barangkali jika ke depannya Jidan akan melupakan sosok Hana, lukisan itu akan kembali membuatnya teringat, hingga Hana bisa abadi di sana, di sebagian tempat, di hati Jidan. Setelah ini ia harus terbiasa hidup tanpa ada Hana, membiasakan diri tanpa kehadiran perempuan itu. Rasa ikhlas masih belum sepenuhnya bisa Jidan berikan, ia masih belum terima, marah akan takdir yang lagi-lagi tidak berpihak padanya, takdir yang malah membawa pergi orang yang Jidan sayangi.

Harus berapakali ia merasa kehilangan, harus berapa orang lagi yang pergi meninggalkan Jidan, lagipula ia benci kehilangan, ia benci ditinggalkan.

Jika kemarin bisa Jidan lakukan, mungkin ia akan menukarkan nyawa untuk Hana, setidaknya ia saja yang pergi agar tidak merasakan luka akibat dari kehilangan.

Bukankah semua manusia juga tidak siap dengan kehilangan?

🍁

Sudah hampir satu jam Jidan berada di sini, duduk di depan tempat peristirahatan Hana untuk yang terakhir kali. Laki-laki itu meletakan bunga mawar bersamaan dengan bunga-bunga lainnya. Tangannya menyentuh lembut batu nisan dan mengelusnya secara perlahan.

Kadang ia masih merasa jika ini mimpi, belum terima jika Hana memang benar-benar sudah tidak ada di bumi, kebersamaannya yang kemarin adalah kenangan terakhir, dan ia tak bisa memutar waktu untuk mengulanginya lagi. Sebab kesempatan itu tidak ada, sisa kenangan dari orang yang pergi meninggalkan, hanya berisi rentetan memori yang Jidan coba pertahankan, agar Hana tak terhapus dari memorinya.

"Hana," Jidan memanggil nama itu lirih, menatap gundukan tanah dengan tatapan nanar, ia mengulum senyumnya. "Lo bahagia di sana ya? Sekarang udah enggak sakit lagi," kata Jidan sendu.

Alasan lain Hana pergi adalah karena Tuhan tau jika Hana menahan sakit, di atas sana perempuan itu tidak lagi merasakan sakit luar biasa, tidak lagi mengeluh dengan keadaan tubuhnya, Hana bebas sekarang dan bisa sembuh.

"Gue sendirian di sini, ternyata gak ada lo rasanya berat."

Tidak ada Hana membuat Jidan kesepian, tidak ada lagi suara berisik dari perempuan itu, atau sifat ceroboh Hana yang kerap membuatnya kesal. Tidak ada lagi suara tawa Hana yang lucu, atau wajah yang sering menampilkan raut cemberut ketika Jidan berhasil membuat Hana kesal. Kehilangan membuat ia tersadar bahwa sesuatu akan sangat berharga ketika tidak menemukannya lagi.

Kepergian Hana juga memberikan luka pada Jidan, Hana mengobati lukanya agar sembuh, namun perempuan itu pergi meninggalkan luka baru, dan luka yang Jidan miliki masih menganga. Ia tak menyalahkan Hana, sungguh, bukannya ketika kita mencintai kita juga harus siap melepaskan, dan Jidan melepaskan Hana, meski penuh dengan usaha yang mati-matian, ia coba untuk rela, padahal hatinya berteriak tak sanggup.

Pada akhirnya waktu menariknya pergi, membawa separuh perasaan yang masih tertinggal, sedangkan yang di sini mencoba untuk mati-matian bertahan.

🍁

Terimakasih yang sudah baca, sorry kalo ada typo. Jadi gimana part ini?

Setelah BerpisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang