Jidan berjalan di koridor rumah sakit dengan langkah tergesa-gesa, perasaannya kalut ketika mengetahui fakta bahwa Hana masuk ke rumah sakit, perasaannya campur aduk, ia takut, khawatir, semuanya berkumpul menjadi satu. Ia terus bergerak menyusuri koridor dengan berlari. Begitu sampai di depan ruangan kamar Hana Jidan langsung menerobos masuk.Di dalam terdapat dua orang, sang dokter dan satu suster yang sedang menyuntikkan cairan ke lengan Hana.
Hana menoleh ke arah pintu mendapati Jidan yang berjalan ke arahnya dengan langkah perlahan. Wajah Jidan dipenuhi keringat, nafasnya terengah-engah.
"Na lo gak papa?" Suara Jidan serak dengan tangan yang berusaha menggapai wajah Hana.
"Halo, apa anda wali dari pasien bernama Hana Mahadeva?" tanya sang dokter yang sedang merapihkan alat medisnya.
Jidan hanya bisa mengangguk pelan. "Iya."
"Hana menderita varises esofagus," kata sang dokter memberitahu. Namun laporan itu sama sekali tidak membuat Jidan terkejut, ia tahu mengenai penyakit Hana.
"Namun kali ini sepertinya saat melakukan pemeriksaan ulang, ada kelainan di tubuh Hana, Hana mengidap kanker esofagus." Penjelasan sang dokter membuat Jidan lemas. Matanya kembali berair menatap sosok gadis yang terbaring di brankar rumah sakit.
"Kanker esofagus adalah pertumbuhan sel ganas yang terjadi di kerongkongan, sel kanker ini biasanya berawal dari sel yang berada di bagian dalam kerongkongan. Karena sebelumnya Hana mengidap kelainan esofagus, tidak dipungkiri juga bahwa itu menjadi sumber peningkatan kanker esofagus."
Hana kemarin harus operasi hati namun sekarang gadis itu mengidap penyakit kanker esofagus, setelah ini gadis itu akan memikul beban apa lagi?
Air muka Jidan tak terbaca, wajahnya merah padam, Jidan menghembuskan nafas kasar. "Apa ada cara lain untuk menyembuhkan penyakitnya?" tanya Jidan dengan suara keras.
Dokter Fera menjelaskan. "Sebenarnya ada, yaitu dengan esofagogastrektomi, operasi pengangkatan dari kerongkongan dan perut. Tetapi dampak dari operasi mungkin saja bisa fatal, ditambah kondisi Hana yang melemah dan kanker yang semakin menjalar."
Jidan mengusap wajahnya kasar. "Apa dampaknya?"
"Kematian."
Tangan Jidan mengepal, ia marah dan sedih secara bersamaan, tatapannya kosong dengan bulir air mata yang jatuh mengaliri pipinya, ia hancur, hatinya terluka terasa seperti tertusuk benda tajam. Ia marah kepada keadaan, marah kepada kondisi Hana sekarang. Harapannya semakin menipis, bahkan nyaris hancur, sekarang ia bisa apa? Lututnya lemas, ia frustasi sekarang, perasaannya berkecamuk, kecewa pada sang pencipta yang telah membuat garis takdir menyakitkan untuk Hana.
Lututnya lemas, nyaris saja Jidan terjatuh dari posisinya berdiri. Air matanya tak mau berhenti menambah kesan menyedihkan dari seorang Jidan. Yang bisanya datar tanpa ekspresi kini mengeluarkan apa yang ia rasakan, menangisi seorang yang begitu amat ia peduli. Lalu sekarang bagaimana? Ia masih ingin mengharapkan Hana. Bagaimana tentang mereka? Bagaimana impian Jidan yang sangat menginginkan hidup bersama Hana. Bagaimana perasaannya? Ia sungguh mencintai Hana.
Hana yang merubah Jidan, mengembalikan senyum Jidan yang nyaris hilang, Hana yang menemaninya, mengubah semua pandangan Jidan.
"Tolong jangan nangis," lirih Hana dengan suara serak.
Jidan menoleh. "Na, bilang ke gue kalo ini cuma mimpi."
Hana menggeleng. "Sadar Jidan, dan berhenti untuk sedih!" Hana berbicara dengan suara kesal bercampur sedih. Air matanya ikut mengalir menatap sosok Jidan yang berusaha meredam isak tangisnya.
"Gimana gue gak sedih, orang yang gue cinta sekarat Hana, gue gak tau apa besok gue masih bisa sama lo, gue gak tau apa gue masih bisa liat wajah lo, gue gak tau sampai kapan lo bisa bertahan Hana."
"Aku masih di sini Jidan."
"Tapi gak dalam waktu yang lama, gue mau lo selamanya." Jidan berteriak pelan, ia jatuh terduduk di kursi dengan tangan yang mengepal.
"Masih ada banyak waktu, aku yakin bisa sembuh, tolong jangan begini, aku juga mau bisa terus bareng kamu." Hana bergumam pelan meyakinkan orang di sampingnya untuk tidak lagi menangis. Menyakinkan Jidan bahwa Hana bisa kembali seperti dahulu, meskipun ia ragu apa bisa sembuh, meski ia tak percaya bisa bersama dengan Jidan untuk waktu yang lama.
🍁
Setelah berita itu Hana hanya bisa meringis ketika mengatakan apa yang dokter Fera katakan, semuanya tampak khawatir dan sangat terpukul, terlebih keluarganya, mati-matian Hana untuk menjaga air matanya agar tidak jatuh melihat bagaimana sang Bunda yang menangis tersedu-sedu, begitupun dengan Aifel yang ikut meneteskan air matanya. Mungkin Erlan juga sama terpukulnya tetapi sayangnya Erlan berusaha untuk tetap kuat di depan semua meski hatinya hancur berkeping-keping. Ia tahan untuk tidak langsung menubruk tubuh Hana dan memeluk putrinya sambil menangis, sama seperti yang Keke lakukan, menangis dengan kencang menatap Hana dengan tatapan terluka. Keke marah kepada dirinya sendiri yang telah lalai menjaga Hana, marah kepada semua yang telah membuat Hana menjadi seperti ini.
Marah karena kemarin sempat membiarkan Hana pergi ke luar rumah berakhir dengan Hana yang pingsan di pinggir jalan. Butuh waktu yang lama untuk membuat Keke berhenti, butuh waktu yang lama untuk menenangkan sang Bunda dan meyakinkan bahwa Hana tidak apa-apa. Meskipun dirinya sendiri sama kacaunya, dunianya seakan runtuh, lebih parah dari kemarin, harapan-harapan kecil yang Hana pikirkan langsung menghilang karena satu fakta yang begitu sulit untuk ia terima.
Orin dan Yasmin juga ikut menangis, memeluk Hana dengan mengatakan ikut bersedih atas apa yang Hana alami. Ternyata mereka begitu menyayangi dirinya sehingga takut ditinggalkan. Banyak sekali tangisan hari ini, banyak hati yang telah Hana patahkan, banyak orang yang terluka karena dirinya.
Keluarga, sahabat, termasuk Jidan yang masih menatapnya datar dengan jejak air mata di pipi. Ia berdiri di sudut ruangan menatap Hana dengan tatapan terluka. Hana menatap balik mata Jidan, cairan bening lolos dari sudut matanya, ia juga memergoki Jidan yang diam-diam menangis sambil terus memperhatikan Hana. Baru kali ini Hana merasa penting, baru kali ini ada orang yang begitu menyayanginya, hingga terbesit sekecil harapan untuk Hana bisa kembali pulih. Ia jadi punya alasan untuk tetap terus hidup.
Tuhan
Jika kali ini aku boleh egois, aku ingin menjadi egois, jika kali ini aku bisa meminta waktu yang lebih lama berada di sini, aku inginkan hal itu, semoga waktu berbaik hati memberikan kesempatan agar aku bisa bertahan di sini, semoga takdir berbaik hati dengan mengabulkan hal yang mustahil terjadi. Jika diberikan kesempatan, aku ingin hidup normal dengan tubuh sehat, ingin menghabiskan banyak waktu melakukan hal yang aku sukai, juga aku ingin tetap bersama Jidan Rajendra Ilalang. Aku ingin tetap ada di bumi bersama dengannya.
Apa kesempatan itu masih ada?
🍁
Gak pandai bikin yang sedih-sedih, jadi tolong maklum kalo dirasa kurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Berpisah
Roman pour Adolescents[Lengkap] "Berhak rindu tapi tak pantas kembali." Hana pernah merasakan begitu beruntung, hidupnya diliputi warna kebahagiaan karena hadirnya sosok laki-laki bernama Jidan Rajendra Ilalang. Sebelum Hana divonis sakit, semuanya masih terasa sempurna...