Jidan berjalan menuruni anak tangga. Namun langkahnya terhenti akibat Vito yang memanggilnya."Jidan sini makan malem bareng."
Jidan berhenti, tersenyum sinis. "Saya gak lapar."
Vito menghela nafas panjang. Lalu beranjak menghampiri Jidan. "Mau sampai kapan kamu kayak gini?"
Jidan diam tak merespon. Laki-laki tersebut membuang muka, enggan untuk melihat laki-laki paruh baya yang ada di hadapannya.
"Jidan Ayah cuma punya kamu sekarang. Ayah gak mau kamu kayak gini terus. Tolong mengerti Ayah sayang sama kamu."
Jidan masih tak bergeming. Vito menepuk pundak Jidan, mau tak mau Jidan menatap Vito.
"Ayah akui kalo Ayah emang banyak salah. Tapi tolong maafin Ayah. Kamu pernah bilang bahwa seseorang berhak diberi kesempatan."
Semua orang berhak mempunyai kesempatan kedua untuk menebus segala dosanya, dan akan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Harusnya Jidan bisa memberikan kesempatan itu, membiarkan Ayahnya menebus kesalahannya dulu. Memperbaiki keadaan dengan mencoba membuang jarak di antara mereka. Tapi rasa sakit bercampur kecewa membuat Jidan tak memberikan kesempatan pada Vito.
"Percuma anda ngomong panjang lebar, itu gak akan ngaruh ke saya." Jidan berucap ketus dan langsung pergi keluar dari rumah. Laki-laki tersebut tak ingin mendengar penjelasan Vito lagi.
Mengingat apa yang telah Vito lakukan di masa lalu, semakin dirinya tidak percaya dan sulit untuk kembali memaafkannya.
Terlalu muak karena sampai kapanpun Jidan tidak bisa menerima Vito seperti dulu. Rasa sakit hatinya terlalu kuat membuat Jidan membenci Vito. Menutupi rasa yang mungkin ia tolak, jika sebenarnya Jidan begitu menyayangi Ayahnya. Dan ia pun sama rindunya.
Jidan terima jika Vito menyakitinya. Namun jika itu menyangkut Mamahnya Jidan yang harus turun tangan. Karena bagaimana pun Mamahnya adalah hal yang utama. Perempuan yang bersusah payah menjaga Jidan dan merawatnya.
Perempuan yang menerima, memeluk, dan selalu ada untuknya. Di saat seperti ini Jidan merasa amat merindukan sosok Mamahnya.
Jidan rindu belaian tangannya. Jidan rindu pelukan hangatnya. Jidan rindu suara lembutnya. Jidan rindu bagaimana tertawa bersama, mengobrol bersama.
Jika tau akhirnya akan seperti ini Jidan ingin menghabiskan lebih banyak waktu lagi bersama Mamahnya. Jidan akan melakukan hal apapun agar Mamahnya tidak pergi. Sekalipun menukar dengan nyawanya sendiri.
Tak terasa air mata turun perlahan di pipi. Jidan tersenyum. Tangannya mengusap air mata tersebut. Sementara langkah kakinya semakin lambat. Kepalanya menunduk menatap kedua kakinya yang bergerak.
Ternyata benar kehilangan yang paling menyakitkan adalah ketika kehilangan seseorang karena kematian. Dan itu yang saat ini sedang Jidan rasakan.
Tak dapat bertemu, menyentuh, apalagi memeluk. Ia rindu sangat rindu, dalam hatinya berteriak ingin bertemu, namun keadaan memang tidak berpihak, bagaimana ia berusaha tidak akan pernah bisa bertemu dengan Mamahnya lagi. Tidak bisa lagi memutar waktu.
🍁🍁🍁
"Bun."
Keke menoleh ke arah Hana. "Kenapa sayang?"
"Temen-temen Hana udah tau kalo Hana sakit." Cerita Hana.
Keke tersenyum lembut. "Terus mereka gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Berpisah
Novela Juvenil[Lengkap] "Berhak rindu tapi tak pantas kembali." Hana pernah merasakan begitu beruntung, hidupnya diliputi warna kebahagiaan karena hadirnya sosok laki-laki bernama Jidan Rajendra Ilalang. Sebelum Hana divonis sakit, semuanya masih terasa sempurna...