Bagian Empat Belas

65 6 0
                                    


Bunda tersenyum lebar, menyambut hangat kedatangan teman-teman Hana. Senang rasanya melihat Hana mempunyai banyak teman, pertama kalinya Hana mengajak teman sekelasnya selain Jidan. Ia tau betul bagaimana anaknya sulit untuk berbaur hingga Keke terus menyuruh Hana untuk bersosialisasi. Tetapi Hana yang cenderung selalu menutup diri membuat orang-orang segan untuk mendekatinya, menurut mereka Hana terlalu pendiam.

Teman-teman Hana menyalimi Bunda satu persatu termasuk Jidan. Bunda tersenyum lembut menatap laki-laki tersebut.

"Gimana kabarnya?" tanya Bunda, matanya tak sedikitpun melepas pandangan dari Jidan.

"Baik Bun," jawab Jidan singkat.

"Sering-sering main kesini, sekalian temenin Aifel," jawab Bunda.

"Iya Bun."

Akhirnya Hana dan yang lainnya langsung menuju ruang tamu. Duduk lesehan di atas karpet berudu berwarna hijau tua. Mereka berkumpul mengelilingi meja berbentuk persegi panjang yang berada di tengah ruangan.

"Mau bunda bawain apa?" tanya Keke lembut.

"Cemilan sama jus jeruk ya Bun," pinta Hana setelah itu Bunda melenggang ke dapur.

"Lo sering ke sini Dan?" tanya Tristan. Laki-laki tersebut duduk di sebelah Jidan, matanya memperhatikan bangunan yang didominasi warna krem dan cokelat.

Jidan menoleh lalu mengangguk setelahnya.

"Ciee udah deket dong kalian berdua, udah ngapain aja?" tanya Tristan lagi.

Orin memukul kepala Tristan dengan tepak pensilnya. "Pertanyaan lo ambigu," ucap Orin.

Sementara Hana duduk canggung di sebelah Yasmin, Yasmin ikut menggoda Hana.

"Ternyata di kelas ada yang cinlok ni uhuy."

Hana menunduk pipinya merah karena malu.

Yasmin terkekeh melihat respon Hana yang tampak lucu, ternyata gadis pemalu dan pendiam seperti Hana juga bisa salah tingkah akibat godaan teman-temannya. "Na pipi lo merah!" ucap Yasmin berseru senang.

Hana mendongak, memegang kedua pipinya. "Emang merah ya?" tanyanya polos.

Sontak hal tersebut mengundang tawa mereka. Mereka tertawa karena kepolosan Hana. Tidak termasuk Jidan, laki-laki tersebut duduk anteng. Namun siapa sangka senyuman tipis terpatri di wajahnya.

"Assalamualaikum," ucapan salam dari arah pintu menghentikan tawa mereka. Semua memandang ke arah pintu di mana Aifel baru saja pulang dari kampusnya. Berdiri di depan  pintu sambil menyampirkan kemeja biru di pundaknya. Sementara ia hanya mengenakan celana jeans hitam dan kaos polos, juga menenteng tas ransel berwarna putih gading.

Aifel tersenyum menatap teman-teman Hana. Begitu melihat Jidan senyuman Aifel makin melebar. "Lo di sini juga?" tanya Aifel.

Jidan mengangguk lalu ikut tersenyum.

"Kemaren pas ada tanding futsal lo kemana?" tanya Aifel sambil berjalan mendekati Jidan.

"Ada urusan."

Aifel mendengus. "Lusa ada tanding lagi lo harus ikut," ucapnya tegas, dari nadanya ada kesan ingin sekali Jidan ikut bersamanya. Seperti memaksa.

"Gue usahain, bang."

Aifel mengangkat jempolnya lalu berlalu meninggalkan ruang tamu menuju ke arah dapur.

"Bunda sayang," teriak Aifel yang masih dapat didengar hingga ruang tamu. Membuat Yasmin terkikik geli mendengar suara Aifel.

Yasmin mendekat ke arah Hana. "Na itu Abang lo?" tanya Yasmin penasaran.

"Iya," balas Hana.

"Sumpah ganteng banget, kok lo gak pernah cerita."

"Ye kambing terus Hana harus cerita gitu ke elo, eh guys gue punya abang ganteng banget sumpah. Keliatan gak ada otaknya 'kan." kali ini Orin menimpali sambil mencubit gemas lengan Yasmin.

"Gak gitu juga, ah males gue ngomong sama lo."

"Woy! Udah dong niat ke sini 'kan kerja kelompok bukan dengerin gosip lo pada. heran deh gue sama betina macem kalian," ucap Tristan sambil memukul meja pelan.

"Betina-betina lo pikir kambing!" ucap Orin sengit. Tak lupa seraya menjulurkan jari tengahnya di depan wajah Tristan.

🍁

Sepulang dari rumah Hana, Jidan pergi membeli bunga. Buket mawar lebih tepatnya. Jidan berhenti di toko bunga pinggir jalan. Setelah membeli bunga yang dicarinya. Barulah Jidan kembali melanjutkan perjalanannya.

Menempuh waktu 20 menit hingga Jidan sampai di tempat tujuan. Jidan menuruni motornya. Lalu memasuki area tersebut.

Sebuah pemakaman. Tempat yang sudah sering Jidan kunjungi. Jidan berlutut di sebuah gundukan tanah tersenyum menatap nisan yang bertuliskan nama orang yang paling disayanginya.

Dalam hati ada rasa rindu ketika Jidan menginjakan kaki ke tempat tersebut. Ada perasaan sedih karena harus kehilangan sosok yang begitu berarti dalam hidupnya.

"Mah Jidan balik lagi, maaf kalo Jidan jarang kesini." Jidan berkata lirih sambil memaksa senyum.

Tangannya bergerak mengelus lembut nisan tersebut. "Selamat ulang tahun Mamah. Jidan bawain Mamah bunga mawar kaya biasannya."

Jidan meletakan Bunga tersebut. Lalu tangannya mengangkat, merapalkan doa untuk Mamahnya. Juga menyampaikan perasan rindu yang tertanam di hatinya, setelah puas menghabiskan waktu di tempat itu. Jidan beranjak dari sana. Meninggalkan area pemakaman tersebut.

Sepasang mata beriris cokelat sudah menatapnya sedari tadi, memandang Jidan dengan pandangan tak terbaca.

Laki-laki paruh baya tersebut baru mendekati makam Ratih-Mamah Jidan. Sembari membawa bunga mawar laki-laki tersebut berlutut.

Ia tersenyum lebar. "Maaf Ratih karena saya belum becus menjadi sosok Ayah yang baik untuk Jidan."

"Barangkali Jidan masih membenci saya."

Iris mata gelap tersebut dengan perlahan mengeluarkan air mata. Rasa sedih lebih mendominasi dalam dirinya. Selama bertahun-tahun hidup dengan Jidan namun tak ada perubahan.

Jidan semakin dingin tak tersentuh, Jidan semakin menjauh, Jidan semakin menaruh kebencian dalam dirinya.

Padahal dalam lubuk hatinya, ingin sekali memperbaiki hubungannya dengan Jidan yang kian merenggang.

Vito sungguh rindu akan sosok Jidan yang dulu, Jidan yang ceria dan penuh tawa.

🍁

Next

Makasih yang udah mau baca sorry kalo ada typo ❤️

Setelah BerpisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang