Bagian Tiga

125 15 0
                                    


Hana berjalan memasuki kelasnya, 12 IPA 5, kelasnya sepi hanya diisi oleh segelintir murid saja. Sapaan langsung Hana dapat begitu memasuki kelas, dan ia hanya membalas sekenanya.

"Pagi Hana."

Hana tersenyum canggung. "Pagi," sapannya kembali hanya seadanya ketika membalas sapaan dari temannya tersebut.

Yasmin Almeera—ketua kelas tadi yang menyapa Hana, murid berprestasi, ramah, sopan dan pandai dalam bergaul.

Hana duduk di bangkunya namun berdiri ketika melihat Yasmin kesusahan membawa kardus-kardus di ujung kelas. Kardus yang berisi botol plastik bekas yang akan ditaruh di bank sampah, iuran wajib setiap kelas. Setiap kelas akan menyumbang sampah botol plastik yang berhasil mereka kumpulkan, nantinya sampah itu akan diitung dan ditukar dengan uang sesuai dengan jumlah botol yang berhasil mereka bawa ke bank sampah. Uang itu biasanya akan ditaruh sebagai uang kas kelas.

Dengan sigap Hana membantu Yasmin, gadis tersebut tersenyum senang. "Makasih," katanya dengan suara riang ketika Hana membantu mengangkat bagian bawah kardus.

Hana mengangguk, mengekori Yasmin keluar dari kelas, menuju bank sampah yang letaknya dekat dengan ruang anak Bahasa.

Tak lama mereka sampai, Yamin maupun Hana menaruh kardus tersebut, yang diterima oleh Pak Bakri.

Setalah acara hitung menghitung mereka kembali ke kelas, di perjalanan diisi dengan obrolan ringan, meskipun hanya Yasmin yang lebih dominan, menanyakan hal apa saja kepada Hana. Sesekali Hana hanya menjawab seperlunya. Tak buruk sebenarnya jika mengobrol seperti ini, namun karena mereka yang sebelumnya tidak pernah dekat, rasa canggung masih menyelimuti diri Hana, dirinya masih belum terbiasa mengobrol dengan bebas.

"Kalo diliat-liat lo itu sebenarnya baik Na, tapi kenapa sih jarang banget ngobrol sama temen sekelas."

Hana menggaruk rambutnya yang tak gatal, bingung mau menjawab apa. "Gak tau tapi setiap ngobrol aku suka canggung."

"Kalo sama gue jangan gitu santai aja, kita kan temen, kalo butuh apa-apa bilang ya."

"Iya makasih Yasmin." Ada perasaan lega sekaligus senang yang membungkus hatinya, kala mengetahui ada orang yang lebih dahulu mengajaknya bicara, gadis itu tidak pandai membuka obrolan, seringkali diam di kelas dan tidak terlalu akrab dengan teman sekelasnya.

"Sama-sama nanti ke kantin bareng ya. By the way gue mau ke ruang teater dulu. Lo ke kelas duluan gak papa 'kan?"

"Gak papa."

"Gue duluan dadah," teriak Jasmin sambil melambaikan tangan yang hanya dibalas senyuman tipis dari Hana.

🍁

Jidan yang kini duduk anteng di bangkunya ditatap dengan tatapan aneh oleh teman sekelasnya. Namun tampak laki-laki itu tak peduli memilih mengabaikan ke sekitar dengan duduk diam tanpa suara.

Jika biasanya di jam terakhir Jidan akan membolos pelajaran namun laki-laki tersebut duduk, menatap buku kosong di atas meja. Siapapun yang melihat Jidan akan keheranan.

Diawal masuk sekolah pun laki-laki tersebut sudah banyak tingkah, datang jam 08.00 saat upacara, membolos jam seni-yang guru seni sendiri adalah wali kelasnya, merokok di belakang sekolah. Bahkan tidak membawa baju olahraga saat pelajaran olahraga.

Sudah banyak catatan, meski laki-laki tersebut tergolong siswa baru.

Namanya Jidan Rajendra Ilalang—murid pindahan beberapa bulan yang lalu, laki-laki dengan postur tubuh tegap tinggi sekitar 165 cm, berat tubuh 55 kg mata bulan, rambut hitam legam. Bola mata berwarna cokelat tua, Ia menjadi teman sebangku Hana Mahadeeva,

Hana baru saja kembali dari toilet langsung mendapati Jidan duduk di bangkunya. Wajahnya sedikit terkejut namun kembali normal. Kakinya melangkah pelan. Agar tidak mendapat perhatian dari Laki-laki kemarin yang ia pinjami payung miliknya.

Dengan canggung Hana duduk di samping Jidan, menjauhkan kursi untuk memberikan jarak di antara mereka.

Jidan menoleh ketika Hana menatapnya. Namun laki-laki itu kembali menatap ke depan.

Tak lama guru seni pun masuk ke dalam kelas. Membawa alat musik berupa gitar di tanganya.

"Selamat siang," ucap Bu Winni.

"Siang Bu."

"Hari ini kita akan belajar alat musik gitar, dimulai dari chord gitar sendiri, Ibu akan kasih beberapa contohnya."

Bu Winni menulis di papan tulis diikuti oleh semua murid, tak terkecuali Jidan laki-laki tersebut menatap malas papan tulis. Jidan hanya membolak-balikkan bukunya.

Terkadang memainkan ponselnya, ternyata benar mengikuti pelajaran di sekolah sangat membosankan. Meskipun Jidan bisa dibilang menyukai musik, namun lebih suka praktek di bandingkan teori.

Bu Winni selesai menulis, berdiri di depan kelas menatap satu-persatu muridnya, lalu senyumannya mengembang.

"Jidan tumben kamu masuk?" tanya Bu Winni cukup senang melihat anak yang sering membuat ulah duduk di bangkunya, mengikuti pelajaran dengan tenang.

"Masuk salah bolos salah." cibir Jidan pelan dengan suara yang terkesan seperti bisikan.

Menyadari pertanyaannya tidak mendapat respon, lantas Bu Winni kembali membuka suaranya. "ibu harap kamu lebih sering masuk ya, agar tidak mempengaruhi nilai di raport kamu, oke anak-anak untuk sekarang tugas kalian menghapal semua chord gitar lalu memasukannya ke dalam lagu, kalian bebas memilih lagu bergenre apa saja."

"Ibu kasih waktu sebulan sebagai latihan."

Sebagian murid mengeluh karena waktu yang diberikan cukup singkat, apalagi chord gitar banyak, tidak mungkin selama dua minggu bisa menghapal. Jika memang bisa mungkin saja orang yang memiliki kemampuan dalam bermain gitar, atau orang yang memang mahir bermain alat musik.

"Tenang-tenang Ibu kasih bonus untuk kalian, tugas ini Ibu minta untuk mengerjakan secara berkelompok. Cukup dua orang saja, dengan teman sebangku kalian."

Bibir Hana yang mengatup kini terbuka, berkelompok dengan teman sebangku. Bukankah ide buruk?

Hana mengangkat tangannya, sambil memanggil namu Bu Winni.

"Ya Hana? Ada apa?"

"Apa kelompoknya bisa diganti?"

"Ibu rasa kalo kelompoknya diganti semakin ribet."

"Tugas ini ibu bebaskan untuk kalian yang memilih lagu dan alat musiknya, jika kalian memiliki keahlian selain bermain gitar. Kalian bebas menggunakan alat musik apa saja."

Hana kembali menekuk bibirnya, menatap Jidan yang tampak sama sekali tak keberatan. Hana tak ingin satu kelompok dengan Jidan, karena ia tak begitu mengenali laki-laki tersebut, juga Jidan yang dilabeli dengan hal-hal buruk di sekolah, laki-laki itu sudah terkenal dengan ulah dan tingkahnya yang luar biasa.

Hari ini memang benar-benar awal yang buruk untuk Hana!

🍁

Next

Makasih yang udah mau baca sorry kalo ada typo ❤️

Setelah BerpisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang