Wendy menatap kesal Jean yang tak kunjung bersuara. Sedari tadi, ia hanya duduk memeluk lutut sambil memperhatikan tetangga yang berlalu-lalang. Jam sembilan pagi, waktu yang cocok untuk berjemur di bawah sinar matahari, tapi tidak cocok untuk membahas hubungannya dengan Wendy. Jean rasanya hanya ingin menjauh, membiarkan hubungannya dan Wendy kembali seperti sedia kala, saling bermusuhan.
Tapi sepertinya tidak semudah itu Jean mengembalikan keadaan seperti semula. Wendy sudah terlanjur baper dengan perlakuan Jean selama di Jogja. Sepertinya gadis itu akan terus mengejarnya seperti yang selama ini ia lakukan pada Arghi.
"Lo nggak mau jelasin sesuatu?" Akhirnya Wendy angkat bicara.
"Jelasin apa?"
Wendy yang kesabarannya setipis tisu yang dibagi dua langsung kesal. Tidakkah Jean merasa bersalah karena menghilang beberapa hari ini? Lagi pula, apa sebenarnya salah Wendy hingga membuat Jean seolah ingin menjauhinya. Setelah semua love bombing yang diterimanya, lantas ia ditinggalkan begitu saja. Wendy sangat tidak bisa menerima ini.
Wendy tipe orang yang akan membicarakan hal yang mengganjal di hatinya. Dan Jean membuat perasaannya terasa ganjal.
"Maksud lo apa tiba-tiba menghindar gini?" tanya Wendy. "Setelah semua perhatian yang lo kasih ke gue selama di Jogja, lo tiba-tiba menghindar, maksudnya apa?"
"Nggak ada maksud apa-apa."
"Terus kenapa? Jadi lo nggak beneran suka gue?"
Jean tak mampu menjawab pertanyaan Wendy. Ia memilih untuk menatap langit yang cerah seolah pertanyaam barusan tak pernah Wendy lontarkan.
"Jawab, Je, jelasin! Jangan kayak gini, biar gue tau, gue harus apa setelah ini." Wendy menggoyang-goyangkan tangan Jean sedikit memaksa cowok itu.
Jean kali ini terasa aneh menurut Wendy. Ini bukan Jean yang menyebalkan seperti sebelum mereka liburan ke Jogja dan bukan juga seperti Jean yang di Jogja. Tiba-tiba Jean mendadak banyak diam dan lebih memilih untuk menghindar.
"Gue nggak bisa," lirih Jean.
Wendy memutar mata sambil mencoba memikirkan hal apa yang Jean tidak bisa. Apakah Wendy meminta sesuatu yang aneh saat di Jogja? Rasanya tidak, Wendy tidak pernah meminta apapun pada Jean.
"Nggak bisa apa?"
"Nggak bisa lanjutin ini."
Wendy paham betul apa yang dimaksud Jean. "Tapi, kenapa? Setelah lo bikin gue baper, sekarang lo bilang nggak bisa?" Wendy frontal saja, karena memang itu yang ia rasakan.
"Udah Wen, anggap aja yang kemaren di Jogja nggak pernah terjadi. Kita musuhan lagi aja."
Wendy sedikit terperangah, semudah itu Jean berbicara? Lalu bagaimana dengan perasaan Wendy? Apakan terlalu sepele bagi Jean? Kalau memang tidak mau, kenapa malah mendekati Wendy dengan gencar selama di Jogja? Ia benar-benar tak habis pikir, ada ya, cowok yang sangat plin-plan seperti Jean ini.
"Kasih tau alasannya." Kali ini Wendy mencengkram tangan Jean dengan geram.
Jean meringis, tapi tidak melawan sedikitpun, ia maklum jika Wendy marah padanya.
Jean dan Wendy sedang membahas masalah serius, tapi yang ditangkap tetangga adalah Jean dan Wendy sedang berpacaran. Wendy yang memegang tangan Jean membuat para tetangga jadi penasaran karena nama yang selalu dipanggil Wendy subuh-subuh itu Arghi, kenapa pacarannya malah sama Jean. Terlebih lagi saat ingat track record pertengkaran mereka, tetangga sampai dibuat gonjang-ganjing melihat Wendy yang duduk berdampingan dengan Jean memegang tangan laki-laki itu. Sip, bahan gosip baru satu komplek sudah ditemukan.
"Gue nggak bisa, gue takut," jawab Jean.
"Takut apa?"
"Gue takut bakal ngelakuin hal yang sama kayak Bang Arghi, gue ini cowok, Wen."
"Cuma itu?" tanya Wendy sedikit tak percaya.
Masalah sepele seperti itu? Jean memikirkannya sampa sana? Wendy menarik sudut bibir kirinya, kesal dengan Jean yang berpikiran sedangkal itu.
"Lo pikir gue mau-mau aja kalau lo cium? Ya kali!"
"Bukan lo, tapi gue, masalahnya ada di gue, pacaran gitu cuma bikin terjerumus hal yang enggak-enggak."
Kali ini kening Wendy berkerut. Ucapan Jean ada benarnya juga, pacaran memang akan selalu mengarah ke sana. Tidak ada yang namanya pacaran sehat, semua pasti menjerumuskan. Apalagi kalau sampai kebablasan.
"Terus gimana? Lo ninggalin gue pas gue lagi baper-bapernya," ucap Wendy.
"Ya udah, nggak gimana-gimana," enteng Jean. "Nggak usah dilanjutin, lo bisa anggap gue cowok brengsek yang cuma ngasih harapan palsu."
Semua ucapan Jean tadi memang benar, tapi tetap saja Wendy tidak terima diperlakukan seperti ini. Wendy kesal, terlebih pada dirinya yang sangat mudah baper pada Jean. Penyakit baper dalam dirinya sepertinya harus dikurangi besok-besok. Tentu saja agar kejadian seperti ini tak terulang lagi.
"Oke, gue hargai keputusan lo, kita bisa musuhan kayak biasa lagi." Wendy menjulurkan tangan untuk bersalaman dengan Jean tanda sepakat dengan keputusan ini.
Bukannya menyambut uluran tangan Wendy, Jean hanya menatap tangan gadis itu cukup lama. "Cuih."
Oke, Wendy anggap respon Jean barusan adalah sinyal perang. Ia menarik tangannya kembali dan bangkit, tidak baik berlama-lama ada di dekat musuh.
Sebelum benar-benar pergi, tentulah Wendy mencari masalah terlebih dahulu. Ia membungkuk dan meraih sendal swallow Jean dan melemparnya dengan sekuat tenaga membuat swallow itu berputar-putar di udara.
"Wendy!"
Gadis yang diteriaki Jean itu segera berlari masuk ke dalam rumah yang merupakan tempat teraman. Ia tertawa puas untuk sementara, kemudian setelah ia benar-benar memasuki rumah, senyumnya hilang. Ia benar-benar sakit hati karena harapan palsu yang Jean beri.
"Kenapa murung gitu?" tanya Papa yang yang berjalan dari arah dapur.
"Nggak pa-pa," ucap Wendy sambil menggeleng lemah dan menapaki satu persatu anak tangga menuju ke kamarnya.
Wendy sedih, dalam kurun waktu yang singkat, secara tidak langsung ia ditolak oleh dua orang sekaligus, mereka bersaudara pula. Kenapa masib Wendy tidak baik seperti ini? Padahal, ia tidak terlalu jelek jika bersanding dengan salah satu dari dua bersaudara itu. Ah, mungkin masalahnya ada di kelakuannya.
"Takut terjerumus ke hal yang enggak-enggak?" tanya Wendy pada dirinya sendiri sambil tertawa remeh. "Lo pikir gue percaya?"
Ayolah, Wendy tahu Jean bukan tipe yang seperti itu. Cowok yang sangat menyebalkan itu, mana mungkin berpikir sampai sana. Wendy menganggap alasan Jean sangat klise. Kenapa tidak sekalian saja bilang karena sebentar lagi mereka akan ujian akhir, jadi Jean mau fokus belajar.
"Ck," decak Wendy yang mulai kesal dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya baper pada Jean bisa separah ini. "Arggh!"
Wendy melompat ke tempat tidur sambil menendang kakinya tidak jelas. Ia kesal pada Jean, tapi lebih kesal pada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blush On
Teen FictionWendy pikir, blush on miliknya sekarang adaah yang paling cocok. Namun, ternyata ada blush on lain yang lebih cocok untuk pipinya. Tapi, ini bukan sekedar tentang blush on.