20. Arghi Sialan

13 2 3
                                    

Wendy turun dari boncengan Jean ketika motor yang dikendarai Jean sudah benar-benar berhenti. Ia langsung pergi tanpa mau membantu Jean yang sibuk mengambil plastik belanjaan yang terletak di bagian depan motornya, tentengan di tangannya sudah cukup untuk sekedar pencitraan. Jean pun tidak protes walau tidak dibantu oleh Wendy.

"Je, cepet!" titah Wendy.

Awalnya Jean memang ingin memaklumi. Barang-barang di bagian depan motornya lumayan berat untuk Wendy bawa. Tapi, setelah mendengar perintah Wendy, Jean malah merasa kesal dan tidak terima. Prinsip Jean, ia akan melakukan apapun dengan tenang dan diam, tapi jangan disuruh-suruh. Jean sangat kesal mendengar kalimat perintah daro orang yang bukan orang tuanya.

"Bantuin kek, apa kek," dumel Jean sambil mengambil satu persatu tumpukan plastik.

"Buta lo?" Wendy menunjukkan 2 tentengan kecil di tangannya.

"Lo nggak liat ini masih banyak?"

Wendy hanya mencibir, kemudian berbalik badan dan melangkahkan kaki masuk ke rumah. Tapi, belum jadi ia masuk, ia malah hampir bertabrakan dengan Juwi.

"Hai, Kak," sapa Wendy ramah.

Walaupun Juwi statusnya pacar Arghi, cowok yang dulu ia kagumi, Wendy tidak menaruh rasa benci sedikitpun. Ia malah bersyukur, berkat tahu Arghi memiliki pujaan hatinya sendiri, Wendy tahu harus bagaimana selanjutnya, tidak berharap terlalu lama pada Arghi. Tapi, malah oleng ke Jean, gila.

Juwi hanya menatap Wendy sejenak dengan tatapan yang membuat orang yang ditatap langsung merasa tidak enak dan langsung memutar otak memikirkan apa kesalahan yang sudah mereka lakukan. Wendy yang tidak tahu apa-apa hanya bisa berhenti tersenyum saat Juwi melewatinya.

Wendy melirik Jean, kemudian bertanya melalui telepati perihal apa yang merasuki calon kakak ipar Jean itu. Jean hanya mengangkat bahu acu sebagai jawaban.

"Bang, Kak Juwi kenapa?" tanya Wendy saat Arghi lewat hendak mengejar Juwi.

Arghi berhenti kemudian memejamkan mata sambil mengepalkan tangannya. Sebenarnya, ia kesal pada Wendy saat ini hingga tidak ingin melihat wajah gadis itu. Tapi, Arghi malah bertemu Wendy di sini, Juwi juga.

"Bisa berhenti caper, nggak?!" hardik Arghi. "Iya, lo cantik, lo dari keluarga baik-baik, tapi bisa nggak, lo berhenti caper? Gue nggak pernah suka sama lo, jadi berhenti ngejar-ngejar gue. Masih punya harga diri, kan?"

Wendy terkejut saat Arghi mengomel dengan nada tinggi. Refleks, ia langsung mundur beberapa langkah dengan mata yang mulai memerah dan berlinang air mata.

"Kenapa ngomong kayak gitu?"

"Berhenti sok baik, gue muak sama lo yang selalu caper sana-sini. Iya, lo dari keluarga baik-baik, terus apa? Gini cara keluarga lo besarin lo? Dengan caper sana-sini?! Berhenti caper ke bunda sampai'-sampai dia bandingin lo sama Juwi. Berhenti sok cantik dan sok baik. Gara-gara lo, Juwi malah dibanding-bandingin sama cewek caper kayak lo!"

Entah mendapat keberanian dari mana, Wendy maju, melepaskan tentengan plastik yang sedari tadi ia pegang kemudian meninju wajah Arghi tepat sebelum Jean berhasil melayangkan tinju ke wajah kakaknya.

Arghi terhuyung, kemudian menatap Wendy tajam. Kepalanya saat ini hanya diisi dengan kebencian pada Wendy.

"Iya! Gue cantik, gue dari keluarga baik-baik, mau apa lo!? Lo pikir gue setuju dibanding-bandingin sama cewek lo? Nggak, Bang! Cewek lo bukan lawan yang tepat buat gue, karena dia jauh di bawah gue!" teriak Wendy membalas semua ucapan Arghi tadi. "Apa? Nggak terima lo gue ngatain cewek lo?"

Wendy balas menatap mata Arghi dengan tidak kalah tajam. Jangan mentang-mentang selama ini Wendy menyukainya, Arghi jadi semena-mena.

Tante Tania dan Om Satria keluar karena mendengar suara ribut. Pemandangan Wendy dengan tangan terkepal dan bendungan air mata di kelopak matanya membuat Tante Tania dan Om Satria bertanya pada Jean lewat mata pada Jean yang berdiri di belakang Wendy.

Wendy segera menyeka air mata yang mulai berjatuhan ke pipinya. "Dasar cowok mulut sampah!" Wendy menendang tulang kering Arghi hingga membuat cowok itu merintih kesakitan, tak peduli dengan keberadaan orang tua Arghi yang sedang menontonnya.

"Om, Tante, aku pulang dulu," pamit Wendy. "Nanti aku bantuin lagi."

Wendy lantas berbalik dan berjalN menuju rumahnya diikuti dengan Jean yang mengabaikan tatapan bertanya-tanya kedua orang tuanya. Itu bisa dijelaskan nanti. Lagi pula, masih ada Arghi disana.

Sambil berjalan, Wendy terua mengusap air matanya. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Arghi tadi benar-benar membuat hatinya terasa sakit. Ini sudah sangat keterlaluan bagi Wendy yang dibesarkan dengan baik tanpa pernah mendapat bentakan penuh emosi seperti yang dilakukan Jean tadi.

Saat memasuki rumah, tanpa menutup pintu, Wendy langsung terduduk menangis dan menyandarkan punggungnya di sofa ruang tamu. Tidak ada orang tuanya saat ini, Wendy bisa menangis bebas dimana pun.

"Wendy," panggil Jean sambil mengusap kepala Wendy.

"Jangan larang gue nangis."

Jean tak bersuara lagi, ia membiarkan Wendy menangis sambil menenggalamkan wajah ke antara lututnya. Sepertinya bentakan-bentakan dari Arghi sangat memengaruhi Wendy, semua orang juga bisa tahu dari tangis Wendy yang diiringi isakan.

Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, Jean terus menemani Wendy sambil mengusap kepala gadis itu dengan lembut. Sampai Wendy berhenti menangis dan isakannya mulai reda, Jean pun bangkit. Meninggalkan Wendy tanpa sepatah katapun.

Sementara Wendy, masih duduk sambil memeluk lututnya dan menatap kosong kaki sofa.

Tak lama, Jean kembali dengan membawa kotak p3k dan menarik tangan kanan Wendy yang tadi meninju wajah Arghi. Dengan telaten, ia mengobati tangan Wendy yang terluka dan memar.

"Yang tadi, lo keren," puji Jean.

Wendy menangis lagi saat sadar ada luka di tangannya. Kali ini tangisnya berbeda dari yang tadi. Jika tadi ia memang menangis karena sakit hati, kali ini Wendy menangis lebay karena luka di tangannya. Kali ini, Jean tertawa melihat Wendy yang menangis bombay.

"Sakit tau, Jee," rengek Wendy saat Jean memberi obat merah di sekelilimg lukanya.

Jean tak membalas rengekan Wendy. Ia fokus dengan aktifitasnya kemudian menghembus tangan Wendy. Diakhir kegiatannya, Jean mencium tangan Wendy yang sudah diberi plester.

"Apa-apaan?!" Wendy segera melepaskam tangannya dengan histeris.

Jean tertawa. "Simulasi Wen."

"Modus."

Jean tertawa lagi, kali ini sambil mengacak rambut gadis yang duduk di hadapannya dengan gemas.

"Lo nggak mau bantu Bunda lagi?"

"Bentar," jawab Wendy sambil membersihkan wajah dan hidungnya dengan baju. "Jelek, nggak?"

"Jelek."

Wendy merungut, kemudian memukul Jean. "Lo lebih jelek."

"Ya udah, sesama manusia jelek, mau nggak lo menghabiskan waktu bersama cowok jelek ini, sampai wajah kita makin jelek?"

Wendy berhenti bernapas sejenak. Ingin histeris, tapi malu di hadapan Jean.

"Nggak mau, ntar anak gue juga jelek."

Blush OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang