19. Lamaran Kedua

8 2 0
                                    

Wendy memperhatikan bunda Jean yang bekerja dengan sangat gesit. Untuk sesaat, ia hanya bisa melongo dan terus memperhatikan setiap pergerakan Tante Anita dengan sangat khidmat. Ini memang bukan kali pertama ia melihat cara bekerja Tante Anita, tapi Wendy tetap dibuat terpukau.

"Tan, aku bisa bantu apa?" tanya Wendy.

"Ah iya, Tante lupa kalau kamu ada di sini," ucap Tante Anita sambil mencuci tangan. "Kamu bantu Tante beli bahan-bahan yang kurang, ternyata ada banyak yang Tante kelupaan. Entah kenapa sejak hamil ini Tante jadi pelupa."

"Boleh, mau beli apa aja, Tan? Ada catatan, nggak?"

Tante Anita berjalan menuju kulkas. Mencari sesuatu yang ia letakkan di atas kulkas. Setelah ketemu, ia langsung memberika selembar kertas hvs pada Wendy.

Wendy menerima kertas yang diberi Tante Anita, kemudian membacanya satu persatu. Awalnya ia biasa saja, tapi semakin dibaca, mata Wendy semakin terbuka lebar. Sedikit tak percaya dengan apa yang ada di kertas ini.

"Tan, ini kelupaan, atau emang Tante belum belanja sama sekali? Kenapa banyak banget?" tanya Wendy dengan kening sedikit berkerut.

"Lupa, Wendy. Waktu ke pasar, Tante ingat beli bawang, habis itu beli perlengkapan bayi, lucu-lucu tau, Wen."

Wendy tersenyum kecil sambil meringis. Emang ibu hamil itu serandom ini ya, biasanya? Wendy jadi tidak habis pikir, bisa-bisanya Tante Anita lupa pada tujuan utamanya ke pasar.

"Emang di supermarket di depan, ini ada semua, Tan?"

Tante Anita menggeleng. "Ada beberapa yang nggak ada di sana. Kamu belinya ke pasar modern aja."

Wendy mengangguk sambil tetap membaca tulisan Tante anita satu persatu. Sesekali ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Masalahnya, Wendy tidak tahu bagaimana ia akan pergi ke pasar modern.

"Terus aku perginya gimana, Tan? Kan lumayan jauh," keluh Wendy.

"Jean!" Tante Anita berteriak memanggil Jean yang sedang ada di kamarnya seolah ini jawaban dari pertanyaan Wendy barusan.

"Sama Jean, Tan?" tanya Wendy sedikit keberatan.

"Iya, kalau sendiri, nanti kamu malah repot. Sama Jean aja," putus Tante Anita. "Nanti, kalau berantem, beli tomat aja terus saling lempar, nanti Tante lebihin uangnya."

"Tante, ah," decak Wendy sambil mengacak poninya. "Nggak ada alternatif lain?"

"Mau sama Arghi?" goda Tante Anita sambil menaik-naikkan kedua alisnya. "Arghi lagi nggak di rumah, heran Tante, belakangan ini dia kayaknya sibuk banget," curhat Tante Anita melanjutkan.

"Nggak Bang Arghi juga, Tan," ucap Wendy lemah.

"Apa, Bun?" tanya Jean yang baru datang dan mencoba mengabaikan keberadaan Wendy.

"BantuinWendy belanja, ada banyak banget itu, ke pasar modern, ya. Bunda tunggu," titahnya mutlak dan tak bisa dibantah.

Jean menarik napasnya panjang, kemudian dihembuskan dengan keras. "Ya udah, Bunda istirahat dulu aja," ucap Jean sambil pergi mengambil kunci motor maticnya.

"Aku pergi dulu deh, Tan," pamit Wendy sambil mengejar Jean.

Sesampainya di teras rumah, saat Wendy melihat Jean memakai helm dan hendak mengendarai sepeda motor, ia langsung protes. "Pake motor banget, nih?"

"Terus?"

"Mobil kek, lo nggak liat list belanjaannya banyak banget?" Wendy menunjukkan kertas hvs yang sedari tadi ia pegang.

Jean turun dari motornya, mengambil alih kertas yang ditunjukkan Wendy dan membacanya satu persatu. "Masih bisa pakai motor, nggak usah manja." Jean lantas memberikan kertas itu kepada Wendy dan memasangkan helm milik bunda di kepala Wendy.

"Ish!" Wendy merapikan rambut yang menghalangi wajahnya dan segera naik ke boncengan Jean. "Jangan ngebut-ngebut, lo! Nggak usah modus!"

Jean tak menanggapi Wendy lagi. Kemudian memutar gas dan melajukan motornya melalui jalan komplek untuk pergi ke pasar. Hening, tak ada yang berbicara, canggung juga karena sebelumnya mereka tidak pernah boncengan. Ini pertama kalinya dan jantung Wendy langsung berdebar tidak karuan. Begitu juga dengan Jean.

Wendy memperhatikan jalan di kiri dan kanan bergantian. Canggung ini tetap terasa sangat kuat walaupun Wendy sudah duduk di ujung motor dan memberi jarak antara dirinya dan Jean.

"Je, emang harus sepelan ini, ya?" tanya Wendy memecah keheningan dan sedikit memajukan wajahnya agar Jean bisa terdengar oleh Jean.

"Loh? Lo kan tadi yang minta jangan ngebut?"

"Tapi nggak duapuluh kilometer per jam juga, Jean! Panas tau!" kesal Wendy sambil memukul helm Jean.

Sesekali Wendy mengusap kulit tangannya yang terbakar karena sinar matahari. Memang sih, bukan Jean namanya kalau tidak membuat Wendy kesal. Tapi, skincare mahal, bro!

Tak membalas rutukan Wendy, Jean tiba-tiba memutar gas untuk menambah laju motornya. Wendy yang dudum di ujung motor hampir terjungkal jika tidak melingkarkan tangannya ke perut Jean.

"Sialan!" teriak Wendy kesal dan hanya dibalas suara tawa Jean yang kembali menurunkan kecepatan. "Sekali lagi lo kayak gitu, gue lompat," ancam Wendy.

"Lepas perut gue dulu coba," ucap Jean sambil tetap tertawa.

"Argh!" Wendy memukul-mukul punggung Jean. "Dasar tukang modus!"

"Lo yang meluk gue padahal."

Wendy memukul Jean dengan membabi buta.

"Jatuh, nih," ancam Jean sambil menggerak-gerakkan stang motornya.

"Jeaaan," rengek Wendy kemudian menggigit bahu cowok yang ada di depannya hingga si pemilik bahu meringis kesakitan.

"Nggak usah ngerengek, gue jadi makin pengen nikahin lo."

"Apasih!"

"Nikah sama gue yuk, Wen?"

"Dasar gila."

"Lo mau apa? Mau candi juga biar kayak Roro Jonggrang?"

Wendy mengangkat sebelah bibirnya. Ini Jean kenapa lagi, sih. Kebelet banget pengen nikah, udah kayak gerdesak umur aja. Padahal lulus sekolah aja belum.

"Apasih lo, ah." Wendy mendorong bahu Jean.

"Wen, kalau kita nikah, kita bisa motoran sambil hujan-hujanan."

Ekspresi Wendy langsung berubah senang saat mendengar hujan-hujanan. Boleh juga, sepertinya seru kalau hujan-hujanan sambil motoran. Wendy belum pernah mencobanya, tapi ini layak untuk Wendy coba. Tapi ya, nggak harus nikah juga kali!

"Heh, gue masih muda ya, masih banyak cobaan yang belum gue cobain. Ya kali, main nikah aja."

"Ya udah, kita nyobain cobaannya berdua aja, biar lebih seru," jawab Jean.

"Gue masih pengen kuliah, walaupun otak gue nggak pintar-pintar amat."

"Kalau gitu, lo bisa belajar tiap hari di rumah sama gue, kalau kita nikah."

"Gue juga mau kerja."

"Kita bisa kerja sama-sama."

"Gue masih muda Jean, masih ada banyak hal yang harus gue lakuin. Gue nggak mau, kalau misalnya gue nikah, langkah gue jadi terbatas dan terhambat."

"Kita bisa nyoba lakuin hal yang lo mau sama-sama. Gue nggak akan menghambat, selama itu nggak ada dampak negatif. Kita lewatin sama-sama. Lo mau kuliah? Ayo. Mau kerja? Ayo. Gue bakal nemenin lo. Bahkan, gue bisa ada buat lo dua puluh empay jam dalam seminggu, sebulan, setahun, sewindu, seabad bahkan."

Wendy terdiam, tak bisa membalas ucapan Jean. Jujur saja, ia sedikit terbuai dengan ucapan-ucapan Jean barusan. Sepertinya seru juga kalau dilakukan bersama-sama. Tapi, Wendy segera menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran seperti itu.

"Lo ngomong nikah sekali lagi, gue beneran pulang."

Blush OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang