"Mama," rengek Wendy yang terbaring lemah di atas kasur sambil mengusap hidungnya.
Benar saja, setelah hujan-hujanan kemarin, Wendy langsung jatuh sakit. Tapi kali ini lebih parah dari biasanya karena luka di kakinya ditambah lagi masuk angin, sakit kepala, dan pilek. Rengekan Wendy sudah membuat seisi rumah repot seharian ini.
Tak hanya repot, semua orang di tumah ini juga khawatir. Papanya sampai izin kerja untuk membantu mama merawat Wendy. Sarah juga mampir ke rumah untuk melihat bagaimana keadaan adik bungsunya itu. Memang agak lebay sih, keluarga ini, Wendy sakit dikit aja langsung pada ngumpul. Wendy kayak berasa lagi mau meregang nyawa sekarang.
"Makanya, udah tau nggak bisa kena hujan dikit, malah hujan-hujanan. Kalau gini siapa yang repot?" omel Mama Wendy sambil membasahi handuk kompresan di dahinya. "Papa kamu sampai izin kerja hari ini," lanjutnya.
"Sayang Papa banyak-banyak," ucap Wendy lemah sambil bersandar pada papa. "Sama mama juga sayang," lanjut Wendy sebelum mamanya protes.
"Lagian, ngapain sih, sok ngide hujan-hujanan?" tanya Sarah yang duduk di ujung tempat tidur sambil mengobati luka di kaki Wendy.
"Bukan hujan-hujanan, tapi kehujanan," jawab Wendy sambil mencoba menghirup udara sebanyak yang ia bisa melalui hidung. Sayangnya, tak ada udara hang berhasil lolos, hidungnya tersumbat.
"Kalau hujan itu, neduh Wendy. Bukannya malah hujan-hujanan. Itu mah, kamu aja yang kegirangan mau hujan-hujanan," dumel mama lagi.
"Ma, aku pusing," rengek Wendy.
Tentu saja Wendy sengaja merengek agar mama berhenti mengomelinya. Percuma mama mengomel, toh besok-besok, kalau hujan lagi, Wendy akan hujan-hujanan lagi. Omelan mama tidak akan berpengaruh sedikitpun selain membuat kepala Wendy semakin terasa sakit.
"Ma, Pa, aku mau jemput Dino dulu," pamit Sarah sambil bangkit dari posisinya.
"Loh? Kenapa nggak Cakra?" tanya papa.
"Mas Cakra lagi ada tamu penting, jadi nggak sempat jemput," jawab Sarah.
Mama dan Papa hanya mengangguk sebagai jawaban. Sarah langsung melangkahkan kaki keluar dari kamar Wendy untuk menjemput anaknya di sekolah. Sekarang, tinggallah Wendy dan papa mamanya di sini.
"Aku rasanya pengen makan bubur jagung," ucap Wendy lemah. "Tapi Papa yang bikin."
Papa sangat paham dengan kebiasaan Wendy jika sakit. Ada saja yang ia minta. Wendy yang manja akan semakin manja jika sedang sakit dan Mama Papa Wendy bisa memaklumi anak bungsunya itu.
"Oke, tunggu sebentar, Papa masakin dulu," ucap papa menyanggupi keinginan Wendy dan memindahkan kepala Wendy yang bersandar padanya ke bantal dengan hati-hati.
"Makasih Papa," ucap Wendy.
Papa hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian keluar meninggalkan kamar Wendy dan berjalan menuju dapur untuk memenuhi keinginan si bungsu.
"Kemarin mama liat, kamu pulangnya barengan sama Jean," kata mama menjeda kalimatnya. "Kamu hujan-hujanan bareng Jean?"
"Nggak, kok."
"Terus kenapa bareng Jean? Mama perhatiin, akhir-akhir ini kamu udah jarang berantem sama Jean. Udah bisa damai kalian?"
Wendy terdiam sejenak. Kalau diingat-ingat lagi, ia belum menceritakan apapun yang terjadi antara dirinya dan Jean pada mama. Ah, tapi nanti saja ceritanya, Wendy tidak memiliki tenaga yang cukup untuk berbicara banyak saat ini.
"Ma, kepala aku sakit," rengek Wendy sambil mencoba bernapas melalui hidungnya yang tersumbat.
Mama langsung berangsur maju agar lebih dekat dengan Wendy dan mengusap puncak kepala anaknya. Seiring dengan usapan di kepalanya, Wendy yang mulai merasa nyaman mulai memejamkan mata, sepertinya ini juga pengaruh obat yang ia minum. Wendy jadi merasa ngantuk saat ini.
Wendy benar-benar tidak sanggup menaha rasa kantuknya saat ini. Perlahan, seiring dengan usapan di kepalanya, Wendy mulai tertidur, melupakan bubur jagung yang ia minta pada papa.
***
Wendy yang setengah sadar dari tidurnya mencoba bernapas melalui mulutnya karena hidungnya masih teraumbat. Tapi, nihil, ia malah kesukitan bernapas. Dalam pikirannya yang belum sadar seutuhnya, Wendy malah mengira ia sedang bermimpi atau apapun itu hingga rasa sesak yang ia rasa saat ini benar-benar terasa nyata.
Tak ada yang bisa Wendy lakukan selain menangis. Ia juga berusaha membuka matanya agar mimpi yang membuat napasnya terasa sesak ini berakhir.
"Jangan, No," ucap Wendy lemah saat matanya sudah terbuka dan tahu siapa dalang di balik sesak napasnya. Ia juga mencoba mengenyahkan tangan Dino yang menutup mulutnya.
Sedangkan Dino, si tersangka malah tertawa cekikikan saat Wendy lagi-lagi membuka mulutnya untuk bernapas. Wendy kembali tidur karena kepalanya masih terasa sakit. Tapi, tak lama kemudian, gangguan dari Dino kembali mengusik tidurnya. Keponakannya itu lagi-lagi menutup mulut Wendy dengan tangannya.
Sambil menangis kesal, Wendy mengenyahkan tangan mungil yang mencoba membunuhnya itu. Sekarang, ia tak memiliki tenaga untuk meladeni kenakalan Dino. Wendy saag ini hanya ingin tidur dengan tenang.
Tak mempan dengan larangan kecil dari Wendy, Dino lagi-lagi mengganggu tantenya itu. Saat Wendy mulai tertidur lagi, Dino kembali meluncurkan aksinya menutup mulut Wendy.
Kepalang kesal, Wendy memaksakan dirinya bangun dan berjalan mencari mama dan papanya karena tenggorokannya terlalu sakit untuk berteriak saat ini. Wendy langsung saja melangkahkan kaki ke arah dapur yang sedikit bising dengan suara obrolan dan bunyi alat-alat masak.
"Mama, Dino ganggu aku," rengek Wendy kemudian terduduk di lantai dapur sambil menangis.
Sarah yang mendengar nama Dino yang menjadi alasan adiknya menangis seperti ini, langsung bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Dino yang berjalan dengan santai menuju dapur, mengikuti sang tante.
"Dino nutup mulut aku, sesak nafas jadinya," racau Wendy sambil merebahkan tubuhnya di lantai.
Papa yang sedang memasak bubur jagung, langsung menghampiri Wendy dan menarik tangan Wendy agar tidak tiduran di lantai. "Jangan tiduran di lantai, nanti malah tambah masuk angin."
Mama juga menghampiri Wendy, mencoba membantu Papa untuk memapah Wendy kembali ke kamar. "Dino, nggak boleh gitu, Tante lagi sakit," tegur mama pada cucu pertamanya itu.
Bukannya merasa bersalah, Dino malah tertawa senang, menampilkan rentetan giginya yang kosong di bagian depan. Andai saja Wendy sehat sekarang, sudah pasti ia akan menembak keponakannya itu dengan karet gelang. Tapi, apa daya, Wendy lemah tak berdaya sekarang.
"Dino, Tante lagi sakit, jangan diganggu," tegur Sarah. "Kita pulang aja kalau Dino gangguin Tante," ancam Sarah.
"Nggak mau pulang!" teriak Dino membuat kepala Wendy semakin terasa sakit.
"Mama, kepala aku sakit," rengek Wendy lagi, kali ini ia benar-benar menangis.
Hanya menangis yang bisa Wendy lakukan sekarang meskipun ia sangat kesal pada Dino yang mencoba membunuhnya. Seolah tak bersalah sedikitpun, Dino berlari keluar rumah sambil tertawa keras yang membuat Wendy semakin kesal saat mendengarnya.
"Om Jeaaan!" teriak Dino memanggil tetangga. "Tante Wendy tidurnya ngok-ngok kayak babii," teriak Dino sangat keras hingga terdengar sampai ke rumah dan tertangkap dengan jelas oleh indra pendengaran Wendy.
"Mamaa," rengek Wendy lagi sambil melepaskan tangannya dari pundak papa mama dan memilih untuk berbaring di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blush On
Teen FictionWendy pikir, blush on miliknya sekarang adaah yang paling cocok. Namun, ternyata ada blush on lain yang lebih cocok untuk pipinya. Tapi, ini bukan sekedar tentang blush on.