10. What The...

13 2 0
                                    

Wendy memegang kening saaat baru terbangun dari tidurnya. Sejenak, ia menggaruk kepala kemudian mengusap mata. Kemudian ia bangun dari posisi tidur dan bersandar di sandaran tempat tidur lalu mencoba meraih tumblr yang berisi air putih. Ia mendengus saat menyadari tumblr itu kosong karena tadi malam ia lupa mengisinya.

Tak mau terlalu mempermasalahkannya, Wendy segera berdiri dan memutuskan mengambil air walaupun jalannya masih sempoyongan, ia sangat haus saat ini. Ia berjalan dengan mata yang masih setengah tertutup, rambut berantakan, dan menggaruk lehernya yang terasa gatal karena tertusuk rambut yang berantakan.

Sekarang sebenarnya sudah pagi, sinar matahari juga sudah sempurna menyinari kamarnya. Memang dasarnya saja Wendy pemalas, mentang-mentang sedang liburan, ia tidak mau bangun pagi. Anak gadis macam apa.

Langkah Wendy terhenti, tumblr yang ditangannya terjun bebas ke lantai dan memantul beberapa kali ke lantai hingga menimbulkan bunyu yang cukup berisik. Dalam sekejap, mata Wendy terbuka lebar, tubuhnya berdiri tegak, dia sudah sepenuhnya sadar sekarang.

"What the...," gumam Wendy dengan ekspresi terkejut, apa-apaan ini. Mata sucinya ternodai saat masih pagi begini.

Arghi dan Juwi sebagai pelaku atas keterkejutan Wendy sampai membuat tumblrnya memantul-mantul di lantai hanya berdiri dengan canggung dan membuang pandangan dari Wendy. Mendadak ini terasa canggung untuk mereka.

Sambil menatap tajam dua anak manusia itu, Wendy mumungut tumblrnya kemudian berjalan ke dapur. Ia akan minum terlebih dahulu, rasa hausnya sudah tidak tertolong lagi, setelah minum, Wendy akan pastikan untuk menyidak dua anak manusia yang sedang tersesat itu.

"Tunggu di sini, gue minum bentar," titah Wendy sambil berlalu melewati dua sejoli itu. "Eh, tunggu di ruang depan, gue panggil Jean dulu."

Wendy berjalan ke dapur dan segera menuntaskan dahaganya. Setelah selesai, ia berjalan ke depa , singgak di depan pintu kamar Jean dan Arghi sebentar dan menggedor-gedor pintu kamar itu sambil berteriak memanggil Jean untuk keluar.

"Jean! Keluar bentar! Ada yang harus gue omongin!"

Tak perlu menggedor sampai tangan Wendy memerah, Jean menyaut dari dalam dan tak lama kemudian muncul di hadapan Wendy setelah pintu terbuka. Keadaannya tak jauh berbeda dengan Wendy saat ini, rambut acak-acakan dengan mata yang masih setengah terpejam.

"Apa?" tanya Jean dengan suara serak khas bangun tidur sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Lo harus ikut gue." Tanpa babibu, Wendy langsung menarik tangan Jean menuju ruang depan untuk menghampiri Arghi dan Juwi yang sudah ada di sana.

Awalnya Jean bingung melihat Arghi dan Juwi yang duduk dengan salah tingkah. Dalam otaknya yang masih belum bekerja normal, ia hanya berpikir ini menyebalkan karena mengganggu tidurnya. Ini sangat tidak penting.

"Lo tebak, gue tadi liat apa?" tanya Wendy sambil menatap tajam dua orang yang baru menginjak usia dewasa itu bergentian.

"Hm?" Jean menguap tak peduli.

"Mereka berdua," Wendy menunjuk Arghi dan Juwi. "Mereka...." Wendy tidak tahu harus melanjutkannya bagaimana, ia sebenarnya agak jijik menyebutkan kata ini.

"Apa?" Jean lagi-lagi menguap. "Kalau nggak penting, gue tidur lagi."

"Bang Arghi sama Kak Juwi ciuman, di depan pintu kamar lo!" ucap Wendy cepat tepat saat Jean hendak pergi kembali ke kamarnya. "Bibir," cicit Wendy melanjutkan. Kemudian Wendy mengusap bibirnya kasar karena merasa jijik setelah menyebutkan kata itu.

Baru satu langkah, kaki Jean benar-benar berhenti. Ia sudah sadar sepenuhnya sekarang. Ia menoleh dan menatap Arghi. Awalnya Arghi tidak percaya dengan pengaduan Wendy, tapi setelah melihat Arghi yang tertunduk membuat Jean mempercayai ucapan Wendy.

"Ini yang keberapa?" tanya Jean dingin, ia memutar tubuhnya langsung menghadap Arghi.

Arghi makin tertunduk, tidak berani menjawab pertanyaan Jean. Ya, walaupun Arghi yang lebih tua di sini, ia tidak bisa berkutik karena dirinya memang bersalah.

J

ean mengapalkan tangan, maju beberapa langkah kemudian meninju wajah Arghi. Karena serangan mendadak, Arghi tak bisa mengelak dan tidak bisa mempersiapkan pertahanan, ia langsung tersungkur ke lantai.

Wendy dan Juwi terpekik melihat aksi Jean barusan. Juwi segera menghampiri Arghi yang tersungkur dan Wendy segera meletakkan tumblr yang ia pegang kemudian menahan tangan Jean yang hendak memukul Arghi lagi. Seketika, Wendy jadi merada bersalah karena pengaduannya lah Arghi sampai dipukul seperti ini.

"Pacaran aja udah salah, sekerang lo ciuman? Dan bukan pertama kalinya?" Jean tertawa kecil tak percaya, Arghi yang ia kenal harusnya tidak begini. "Apa kata ayah kalau misalnya dia tau? Lo udah lewatin batas, tau nggak?!"

Arghi hanya terdiam sambil meringis mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Ia sangat sadar kalau ia bersalah. Mereka memang tumbuh di keluarga yang sedikit agamis. Tapi, karena sudah dewasa, ayah tidak lagi melarang mereka ini itu dan membiarkan mereka menelaah sendiri perbuatan mana yang benar dan perbuatan mana yang salah. Ayah tau, zaman sudah berubah dan cara mendidik anak zaman sekarang berbeda dengan didikan orang tuanya dulu.

Saat tahu Arghi dan Juwi pacaran, jujur Jean bisa melihat raut kecewa ayahnya. Ia tahu, ayahnya menasehati Arghi diam-diam, tapi sepertinya tidak ada pengaruh apapun. Karena Arghi sudah dewasa untuk berpikir dan ayah memilih untuk diam, membiarkan Arghi melakukan apa yang ia mau. Tak terbayang oleh Jean bagaimana kecewanya ayah jika tahu Arghi ternyata sudah bertindak sejauh ini.

"Kita pulang sekarang!" Keputusan Jean mutlak.

Wendy membelalakkan mata tak percaya. Sebenarnya tangannya sedikit gemetar saat mencoba menahan Jean agar tidak memukul Arghi untuk yang kedua kalinya. Ini kali pertama Wendy melihat Jean se emosi ini.

Jean melepas tangan Wendy yang mencoba menahannya dan melangkahkan kaki menuju kamarnya. Wendy mengikuti Jean untuk membujuk cowok itu. Ayolah, seharusnya mereka pulang tiga hari lagi, masih banyak tempat yang belum Wendy datangi.

"Je, nggak bisa diomongin baik-baik dulu?" cicit Wendy sedikit takut. "

Jean berhenti melangkah dan menatap Wendy. "Nggak, ini nggak bisa dibiarin, kalau lama-lama tinggal serumah, bisa terjadi hal yang enggak-enggak."

Wendy menipiskan bibir, benar juga apa kata Jean. Tapi sebenarnya Wendy masih sedikit tidak menyangka jika Arghi adalah orang yang seperti itu. Arghi yang selama ini ia tahu ternyata tidak begitu kenyataannya. Mendadak nilai Arghi di matanya jadi minus. Mungkin ini juga kenapa ada pepatah jangan nilai buku dari sampulnya.

"Lo bakal bilang ini ke Om Satria?" tanya Wendy.

Jean hanya diam, sekarang ia tak memiliki jawaban untuk pertanyaan Wendy. Ia sangat ingin ayahnya tahu kejadian ini, tapi Jean tidak sanggup melihat raut kecewa ayahnya jika tahu ini.

"Nggak tau, liat nanti aja."

"Udahan emosinya, nggak baik emosi lama-lama," ucap Wendy kecil, ia sebenarnya masih gemetar setelah melihat Jean memukul Arghi.

Jean mengangguk. "Lo beres-beres, kita pulang hari ini." Setelah itu Jean benar-benar meninggalkan Wendy.

Sekarang, pikiran Jean berkecamuk, ia jadi terpikirkan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Wendy. Ia tahu pacaran itu salah dan ia tak mau menjadi orang munafik yang sok menggurui Arghi padahal ia sama saja dengan Arghi.

Satu hal yang Jean pikirkan saat ini, ia harus mencari jalan keluar untum hubungannya dengan Wendy.

Blush OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang