Jean bergerak kesana kemari, mendribble bola basket untuk kemudian ia lempar ke arah ring. Keringatnya mulai mengalir di pelipisnya, ia merasa lelah, sekaligus lebih tenang disaat yang bersamaan. Saat ini Jean tidak sedang berada di sekolah untuk mengikuti ekskul, tidak juga sedang dalam pertandingan. Saat ini, ia hanya bermain asal di lapangan basket yang tersedia di dekat rumahnya. Bukan lapangan basket milik keluarganya, ini fasilitas umum.
Jean menghela napas sambil mengusap keringat di dahinya. Walaupun cuaca saat ini mendung, yang namanya olahraga tetap mengeluarkan keringat. Bukan karena rajin berolahraga, Jean hanya sedang mencoba mengalihkan pikiran dari Wendy.
"Ngapain lo main basket?" Suara Wendy yang baru saja tiba dan mengambil bolah mengalihkan atensi Jean. "Anak futsal kok main basket."
"Udah sembuh lo?" tanya Jean.
"Udah dong, gue kan anak kuat," jawab Wendy sambil melempar bola ke ring dan berhasil masuk. "Ah, nggak sia-sia gue belajar basket sama Bara."
"Di luar dingin, ntar lo sakit lagi."
"Nggak usah sok baik, kita musuhan kalau lo lupa." Kali ini Wendy melempar bola basket di tangannya ke arah Jean. Untungnya, Jean memiliki refleks yang cukup bagus hingga kepalanya tak jadi sasaran bola basket.
"Terserah lo."
"Lah? Kok ngamok? Kan lo sendiri yang bilang."
"Ter se rah." Jean menekankam setiap kata. "Lo kenapa ke sini, sih, ah?" rutuk Jean sambil melemlar bola ke ring.
Bagaimana tidak merutuk, objek yang sedari tempo hari menjadi bahan pikirannya muncul. Tapi, Jean masih belum bisa menemukan solusi yang tepat. Atau lebih tepatnya, Jean tidak tahu opsi mana yang harus ia jadikan solusi. Entah opsi pertama yang membuat dirinya dan Wendy kembali bermusuhan atau opsi kedua yang sangat gila, menikah muda.
"Suka-suka gue, dong! Emang lapangan ini punya bapak lo?"
"Besok gue minta bapak gue beli lapangan ini."
"Idih." Wendy melempar bola basket sekali lagi ke arah Jean.
Entah hilang fokus atau apa, kali ini Jean tidak berhasil menangkap bola itu. Lemparan yang cukup keras dari jarak yang dekat langsung membuat Jean merasa pusing seketika. Bisa-bisanya tenaga gadis itu sudah pulih saat baru sembuh.
"Lah, si goblok, malah bengong," maki Wendh. "Mikirin apa sih, lo?"
Jean terduduk di lantai. Pusing yang menyerang kepalanya tidak bisa ia tahan saat ini. "Argh," lenguhnya.
"Je, sakit, ya?" Wendy yang tadinya tidak peduli langsung menghampiri Jean yang sudah terduduk di lantai.
"Ya, lo pikir?" jawab Jean nyolot. "Mau coba?" Jean yang hendak mengambil bola basket dan melemparnya pada Wendy langsung mengurungkan niat saat gadis itu menahan tangannya.
"Enggak, nggak perlu, makasih."
Tak peduli dengan kotornya lantai, Jean malah berbaring sambil memegangi kepalanya.
"Eh, Je, jangan mati dulu!" Wendy menggoyang lengan Jean dengan sangat lebay. "Salah lo ke gue masih banyak, woi! Nggak mau minta maaf dulu?"
Jean menyerah. Kepalanya benar-benar pusing untuk meladeni Wendy saat ini. Gadis itu, diamnya hanya saat sakit, itu pun hanya diam dua puluh persen dari biasanya.
Malas meladeni Wendy, Jean kini menatap langit yang mendung. Jean tebak, sebentar lagi akan turun hujan atau sekedar gerimis.
"Berisik, lo, ah!" decak Jean.
"Oh, nggak jadi mati, lo?"
"Sialan."
"Ih, kasar."
Wendy kini ikut berbaring di lantai. Mengikuti Jean yang sudah fokus menatap langit yang tidak ada bagus-bagusnya saat ini. Terlihat suram seperti masa depan Wendy.
Tak ada obrolan untuk beberapa saat. Mereka berdua malah fokus menatap langit. Sampai beberapa tetes air mulai jatuh di wajah mereka, barulah Jean bangkit.
"Ih, hujan," ucap Wendy sambil tersenyum senang tak memedulikan Jean yang sudah duduk.
"Bangun." Jean mencoba menarik Wendy agar segera bangkit. "Nanti lo malah sakit lagi."
Wendy menolak untuk bangun. "Ya udah, berarti libur sekolah lagi."
"Bangun, nggak?" Kali ini Jean berdiri dan menarik kedua tangan Wendy agar bangun dan segera pergi dari sini sebelum hujan semakin deras.
Wendy merungut saat dirinya dengan mudah ditarik Jean untuk bangun. Setelah mengambil bola basket, Jean segera menarik Wendy pergi dari lapangan dan mencari tempat untuk berteduh. Dalam hatinya, Wendy sangat merutuki sikap Jean yang tiba-tiba peduli padanya. Tentu saja itu membuat Wendy baper, lagi.
Untungnya, saat hujan turun lebih deras, Jean dan Wendy bisa berteduh di salah satu minimarket. Tak kehilangan akal untuk menunggu hujan reda, Wendy malah membeli mantel plastik untuk mendukung kegiatannya bermain hujan. Wendy tidak akan menyia-nyiakan hujan kali ini.
"Nih, pake," ucap Wendy sambil melempar mantel bewarna kuning neon pada Jean.
"Nggak usah aneh-aneh." Jean mencoba untuk memperingati Wendy yang sedang mencoba memasang mantel warna hijau di neon. "Lo belum sembuh total, Wendy."
"Nggak usah cerewet kayak mama deh, lo. Kalau nggak mau, gue tinggal, bye."
Sepersekian detik berikutnya, Wendy sudah berlari kesana kemari di bawah hujan. Tapi, berkat lindungan dari mantel hijau neonnya, Wendy tidak basah kuyup kali ini. Tubuhnya terlindungi. Dan entah mendapat dorongan dari mana, Jean juga memasang mantel kuning neonnya dan berlari menyusul Wendy.
"Tungguin!"
"Loh? Katanya nggak mau?" Wendy mencoba membenarkan posisi penutup kepalanya.
"Kapan gue bilang?"
Wendy mencibir, kemudian melanjutkan aktivitasnya berlariang kesana-kemari di bawah hujan. Ia menikmatinya, seolah kemarin bukan dirinya yang sakit sampai merengek hingga membuat mama dan papanya pusing sendiri.
Sudah Jean bilang kan sebelumnya, bahwa Wendy itu aneh. Saat orang lain menikmati hujan dengan konteks galau atau ada sendu dibaliknya, Wendy hanya menikmati hujan sebagai air yang jatuh ke bumi dan mengguyur tubuhnya. Sesederhana itj. Ia menikmati hujan dengan caranya sendiri, tentu saja ini menambah daya tariknya sendiri di mata Jean yang pada dasarnya sudah jatuh cinta pada Wendy.
Bisa dibilang, Jean jatuh cinta dengan cara yang aneh. Dan Jean merasa beruntung karena jarang orang lain yang bisa jatuh cinta dengan cara yang aneh seperti dirinya. Setidaknya, itu yang Jean pikir tentang perasaannya. Ya, walaupun setiap yang namanya jatuh cinta itu aneh, Jean tetap ingin menyebut dirinya beruntung, karena jatuh cinta dengan perempuan sesederhana Wendy.
Jangan tanya sederhana dalam konteks apa. Jean pun tidak tahu, hanya saja dimatanya Wendy sangat sederhana. Walaupun di mata Arghi, gadis itu ribet dan terlalu ruwet. Selera orang beda-beda kan?
Walaupun kulitnya terasa dingin karena udara yang cukup lembap, Jean malah merasakan hatinya menghangat saat melihat Wendy yang tertawa sambil melompat-lompat melewati genangan air.
"Je, ayo! Lelet lo, ah!" ucap Wendy sambil merungut. "Gue tinggal, bye!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Blush On
Teen FictionWendy pikir, blush on miliknya sekarang adaah yang paling cocok. Namun, ternyata ada blush on lain yang lebih cocok untuk pipinya. Tapi, ini bukan sekedar tentang blush on.